SMK Harus Ikuti Perkembangan Industri

Kamis, 20 Juni 2019 - 08:11 WIB
SMK Harus Ikuti Perkembangan Industri
SMK Harus Ikuti Perkembangan Industri
A A A
JAKARTA - Sekolah menengah kejuruan (SMK) harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan industri. Dengan demikian lulusannya bisa terserap industri.

Pandangan itu disampaikan kalangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) merespons fakta bahwa angka pengangguran lulusan SMK lebih tinggi bila dibandingkan dengan lulusan sekolah menengah atas (SMA).

Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Agustus 2018 sebanyak 7 juta orang menganggur. Dari jumlah tersebut, lulusan SMK mendominasi, yakni sebesar 11,24%, sedangkan lulusan SMA 7,95%. Kondisi ini dianggap ironis karena semestinya lulusan SMK lebih terserap lapangan pekerjaan formal karena secara teoretis mereka telah dibekali keterampilan.

"Tantangan utama bagi tenaga kerja Indonesia adalah ketidaksesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan industri. Untuk itu program link and match sangat membantu sehingga lulusan SMK bisa bekerja sesuai dengan yang dibutuhkan industri," ujar Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani di Jakarta.

Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan SDM, pihaknya sudah membuat pelatihan vokasi di kawasan industri yang sesuai dengan industri yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan demi meningkatkan pengembangan sumber daya manusia dengan lebih banyak skilled labor.

“Saat ini ada perubahan dari jenis pekerjaan karena faktor teknologi. Untuk itu diperlukan insentif bagi dunia usaha untuk pengembangan kapasitas SDM. Kami menyambut baik pemerintah yang mengeluarkan super-deductible tax untuk pelatihan. Ini akan sangat membantu untuk mendorong perusahaan melakukan lebih banyak lagi pelatihan, khususnya vokasi," kata Shinta.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto meyakinkan bahwa industri masih membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Hanya saja dia menekankan pentingnya kualitas SDM sesuai dengan kebutuhan industri. “Tapi itu tadi, kualitas SMK-nya, didikannya (mesti) mengikuti perkembangan kebutuhan tenaga kerja. Jangan sampai kurikulumnya ketinggalan jauh dengan kebutuhan setiap perusahaan,” ujarnya.

Pengamat pendidikan dari UPI Said Hamid Hasan sepakat, banyaknya angka pengangguran tingkat SMK ini karena banyak program SMK yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri di sekitarnya. Selain itu karena banyak program SMK yang tidak memiliki peralatan yang tidak lagi digunakan dunia industri.

“Sehingga mereka terampil, tapi bukan menguasai keterampilan yang diperlukan dunia industri. Kondisi ini juga terjadi karena SMK tidak lagi dalam program kerja sama dengan dunia industri sehingga jumlah lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan industri,” ujar dia.

Solusi yang bisa dilakukan pemerintah, lanjutnya, ialah jika mau membuka suatu program SMK, terlebih dulu harus ada pernyataan dunia industri mengenai kebutuhan tenaga yang akan dihasilkan. Selain itu kurikulum SMK yang dibuat haruslah model market driven curriculum yang dikembangkan bersama dengan dunia industri.

Pengamat pendidikan Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta Alif Muarifah menganggap banyaknya pengangguran lulusan SMK memang berdasar. Dia menyebut pihaknya sudah melakukan riset di sekolah-sekolah berkaitan dengan hal tersebut. "Hasil riset kami ternyata anak-anak masih bisa berubah minat setelah duduk di bangku kelas 11 atau kelas 2 SLTA," terangnya kepada KORAN SINDO tadi malam.

Dijelaskannya, tes minat bakat yang diberikan di SMP saat kelas akhir masih terlalu dini. Seharusnya di usia 16 tahun tes minat bakat baru diberikan. "Namun bisa juga persoalan lulusan SMK ini karena proses pembelajaran di sekolah yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia usaha. Seharusnya SMK melihat kebutuhan pasar dan akan berubah mengikuti pasar," tandanya.

Di sisi lain peran guru juga sangat penting. Begitu juga dengan kurikulum dan laboratorium yang harus siap. "Kompetensi guru harus selalu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pasar. Jangan sampai ketika siswa dituntut mengelas yang baik, tapi mereka tidak diajari cara mengelas yang baik. Ini persoalan kompetensi guru," beber pengajar Fakultas Psikologi UAD ini.

Selain itu dia juga menyinggung soft skill anak dan peran orang tua untuk mendukung mereka menjadi pribadi tangguh dan siap kerja. Hal itu lantaran saat ini generasi milenial menjadi generasi yang cenderung manja.

Sebelumnya temuan BPS tentang besarnya pengangguran dari kalangan lulusan SMK memicu keprihatinan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro. "Indonesia memang ada logika yang terbalik. Tingkat pengangguran lulusan SMK mendominasi pengangguran nasional. Tingkat pengangguran SMK lebih tinggi daripada (pengangguran tingkat) SMA. Ini terbalik," kata Bambang saat ditemui di JIExpo Kemayoran, Jakarta, (3/4).

Dalam pandangannya, lulusan SMK seharusnya memiliki peluang kerja yang lebih besar daripada lulusan SMA. Sebab pendidikan SMK merupakan pendidikan vokasi, yakni mempersiapkan siswa untuk bekerja ketika lulus. Berdasar data tersebut, dia menilai ada kesalahan dari sistem pendidikan vokasi. Hal ini yang membuat pemerintah sedang mendorong perbaikan pendidikan vokasi.

Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menandaskan, kalau merujuk pada laporan BPS per Februari 2019, di sana dinyatakan bahwa jumlah pengangguran SMK telah mengalami penurunan cukup tajam. “Saya kira hal tersebut merupakan dampak dari implementasi Inpres No 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK yang mulai digulirkan 2 tahun terakhir ini. Justru (dari laporan BPS) tamatan diploma dan universitas mengalami kenaikan (tingkat penganggurannya),” katanya kepada KORAN SINDO.

Mendikbud menyampaikan, kalaupun ada data yang menunjukkan angka pengangguran SMK paling tinggi bila dibandingkan dengan pengangguran pada jenjang pendidikan yang lain, hal itu dikarenakan jumlah tamatan SMK memang paling besar bila dibandingkan dengan tamatan dari jenis dan jenjang pendidikan yang lain.

Dari data Kemendikbud, berdasarkan Instruksi Presiden No 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi SMK dalam rangka peningkatan sumber daya manusia Indonesia, pemerintah melalui Kemendikbud menerapkan lima langkah strategi revitalisasi SMK.

Lima langkah tersebut adalah membuat peta jalan pengembangan SMK, mengembangkan dan menyelaraskan kurikulum, memberikan pemenuhan guru kejuruan dengan pelaksanaan Program Keahlian Ganda, meningkatkan kerja sama sekolah dengan dunia usaha, industri, serta perguruan tinggi, dan meningkatkan akses sertifikasi lulusan SMK dan akreditasi SMK.

Mengingat revitalisasi SMK sebagai salah satu program prioritas pemerintah, Kemendikbud telah merevitalisasi sebanyak 147 SMK Pariwisata, 312 SMK Pertanian, dan 219 SMK Kemaritiman. Selain itu saat ini terdapat 2.700 SMK yang telah bekerja sama dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) serta 870 SMK telah melakukan teaching factory dan technopark.

Guru besar Universitas Negeri Malang itu menjelaskan, fokus program revitalisasi SMK tahun ini ialah pemerintah akan mengurangi program-program keterampilan yang sudah jenuh. Selain itu prioritas revitalisasi SMK juga akan dikembangkan untuk wilayah pengembangan industri atau kawasan khusus yang saat ini sedang gencar dibangun pemerintah.

“Khususnya kawasan industri khusus yang baru, kawasan destinasi wisata, sentra-sentra pertanian pangan industri dan hortikultura, lalu pusat budi daya dan pengolahan hasil laut,” sebutnya.

Belajar dari Negara Maju
Pendidikan kejuruan di Finlandia dapat menjadi contoh sukses dalam mengurangi jumlah pengangguran pemuda. Sejumlah negara telah berhasil menjadikan pendidikan kejuruan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Finlandia selama dekade terakhir telah membuat sekolah kejuruan semakin populer.

Menurut Direktur Kemitraan Pendidikan Omnia Mervi Jansson, lembaga pendidikan kejuruan dengan 10.000 pelajar menjadi cara sistematis Finlandia memperbaiki kualitas pendidikan kejuruan. Saat ini lebih dari 50% pemuda Finlandia memiliki program kejuruan dan lebih kompetitif bila dibandingkan dengan pendidikan umum. “Musim semi lalu, 70% pendaftar pendidikan kejuruan telah sukses bila dibandingkan dengan 94% pendidikan umum,” ungkap Jansson.

Salah satu alasan tingginya pengangguran pemuda di berbagai penjuru dunia adalah semakin tidak sesuainya antara suplai dan permintaan untuk skill. Di banyak negara Afrika, ada kelebihan suplai lulusan ilmu sosial dan bisnis, tapi kekurangan suplai lulusan teknik, sains, dan teknisi. Kurangnya skill itu di dalam negeri membuat sejumlah negara tergantung pada buruh asing untuk mengisi permintaan tenaga kerja dengan skill teknik.

Pendidikan kejuruan menghasilkan transisi lebih cepat ke tempat kerja. Sejumlah negara telah memiliki target itu dalam kurikulum pendidikan kejuruannya seperti Jerman, Swiss, Austria, Belanda. Empat negara itu berhasil menjaga tingkat pengangguran pemuda tetap rendah dengan pendidikan kejuruan yang berorientasi kerja.

“Di Jerman, sebanyak 80% tenaga kerja memiliki pelatihan skill resmi. Adapun di India, hanya 2,3% tenaga kerja yang memiliki pelatihan skill resmi. Kondisi itu menunjukkan tantangan yang dihadapi India karena kekurangan jumlah tenaga kerja dengan skill kejuruan,” papar laporan yang dirilis grup City and Guilds itu.

Di Amerika Serikat, pemerintah menggelar National Apprenticeship Week yang bertujuan meningkatkan citra pelatihan kejuruan. Saat ini ada sekitar 410.000 pelajar kejuruan di AS, kurang dari setengah di Inggris. Di Inggris, citra pendidikan kejuruan semakin baik sehingga peminatnya sangat banyak. Inggris menargetkan memiliki 3 juta pelajar kejuruan dengan sejumlah skill yang bermanfaat bagi ekonomi Inggris dalam jangka panjang, termasuk memangkas pengangguran dan mendorong produktivitas.

Austria menjadi negara terbagus di Eropa yang mendorong pemuda menempuh pendidikan kejuruan. Studi menunjukkan langkah ini menjadi kunci mengurangi pengangguran pemuda di Austria.

Austria dan Jerman yang sangat tinggi jumlah siswa kejuruannya memiliki angka pengangguran terendah untuk pemuda berumur di bawah 25 tahun. Ini menunjukkan program pendidikan kejuruan di negara itu telah sukses.

“Di berbagai penjuru dunia, pemerintah dan bisnis sadar tentang pentingnya pendidikan kejuruan sesuai lapangan kerja. Meski demikian ada stigma lama yang menolak pendidikan kejuruan. Untuk menjadi kompetitif di masa depan, pemerintah perlu berpikir tentang strategi pendidikan mereka dalam konteks gambar lebih besar. Mereka perlu berpikir tentang ke mana ekonomi mereka bergerak dan siapa yang mereka perlukan untuk membantu ke sana dan bagaimana memenuhi kebutuhan masa depan dengan suplai tenaga kerja sekarang,” ungkap Chief Executive City and Guilds Group Chris Jones. (Neneng Zubaidah/Syarifuddin/Oktiani Endarwati/Ichsan Amin/Suharjono)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6727 seconds (0.1#10.140)