Ombudsman Imbau Mendikbud Perhatikan Perbaikan Gedung Sekolah
A
A
A
JAKARTA - Ombudsman meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, untuk memperhatikan perbaikan dan juga pembangunan gedung sekolah yang masih kurang.
Hal ini untuk menjalankan kebijakan zonasi dan melengkapi fasilitas sekolah, seperti komputer dan internet, apalagi untuk daerah terpencil dan desa termasuk juga kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
"Jadi bukan hanya pendidikan digital saja tetapi juga perlu diperhatikan fasilitas dan prasarana sekolah," ujar Anggota Ombudsman, Ahmad Suadi, di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
(Baca juga: Saatnya Melahirkan Generasi yang Gemar Membaca)
Ombudsman selama ini menampung keluhan dari masyarakat, soal kebijakan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Menurut Ahmad Suadi, tiap tahun selalu masuk keluhan masyarakat mengenai sistem zonasi.
Ahmad Suadi menambahkan, tidak hanya sistem zonasi. Masyarakat mengeluh dengan kebijakan pemerintah yang memaksa siswa untuk melakukan ujian nasional menggunakan komputer, pada siswa yang sekolahnya belum punya fasilitas komputer atau di daerah terpencil yang belum ada jaringan internet.
Sehingga menurut Suadi, siswa dari daerah terpencil harus menumpang ke sekolah lain untuk melaksanakan ujian nasional.
"Ada juga daerah yang belum terjangkau internet karena di daerah 3T. Untuk ujian harus menumpang di sekolah lain, ini memprihatinkan ya. Apalagi alokasi dana pendidikan di APBN sudah sedemikian besar," ujarnya.
Sementara itu menurut Prof Emil Salim ahli ekonomi dan mantan Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di masa Presiden Soeharto, pendapatan negara, terutama pendapatan negara yang surplus, harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dirasakan langsung oleh banyak masyarakat. "Bukan hanya asal bangun infrastruktur saja," paparnya.
Emil Salim memberi contoh bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan surplus dari kenaikan neraca minyak bumi yang terjadi pada tahun 70-an untuk pembangunan sekolah-sekolah di desa dan daerah tertinggal.
Menurut dia, Presiden Soeharto pada waktu itu langsung terjun ke lapangan dan Presiden Soeharto mengatakan harus membangun sekolah-sekolah itu supaya terjadi pemerataan pada masyarakat, terutama pemerataan pendidikan sekolah dasar di Indonesia.
"Masyarakat tahu mereka harus sekolah tetapi pada waktu itu belum ada gedung sekolah. Saat gedung-gedung sekolah selesai dibangun, dinamika semangat untuk sekolah tinggi dan tercapailah pemerataan," ujar Emil Salim.
Keberhasilan SD Inpres ini bahkan mengantarkan salah satu dari tiga ekonom asal Amerika meraih nobel mereka adalah Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer.
Penelitian Duflo diterbitkan di Agustus tahun 2000 dengan judul schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment (konsekuensi sekolah dan pasar tenaga kerja dari pembangunan sekolah di Indonesia: bukti dari eksperimen kebijakan yang tidak biasa).
Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978. Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD. Dalam risetnya, dia menunjukkan pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan di Indonesia.
Hal ini untuk menjalankan kebijakan zonasi dan melengkapi fasilitas sekolah, seperti komputer dan internet, apalagi untuk daerah terpencil dan desa termasuk juga kawasan 3T (tertinggal, terdepan dan terluar).
"Jadi bukan hanya pendidikan digital saja tetapi juga perlu diperhatikan fasilitas dan prasarana sekolah," ujar Anggota Ombudsman, Ahmad Suadi, di Jakarta, Kamis (31/10/2019).
(Baca juga: Saatnya Melahirkan Generasi yang Gemar Membaca)
Ombudsman selama ini menampung keluhan dari masyarakat, soal kebijakan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Menurut Ahmad Suadi, tiap tahun selalu masuk keluhan masyarakat mengenai sistem zonasi.
Ahmad Suadi menambahkan, tidak hanya sistem zonasi. Masyarakat mengeluh dengan kebijakan pemerintah yang memaksa siswa untuk melakukan ujian nasional menggunakan komputer, pada siswa yang sekolahnya belum punya fasilitas komputer atau di daerah terpencil yang belum ada jaringan internet.
Sehingga menurut Suadi, siswa dari daerah terpencil harus menumpang ke sekolah lain untuk melaksanakan ujian nasional.
"Ada juga daerah yang belum terjangkau internet karena di daerah 3T. Untuk ujian harus menumpang di sekolah lain, ini memprihatinkan ya. Apalagi alokasi dana pendidikan di APBN sudah sedemikian besar," ujarnya.
Sementara itu menurut Prof Emil Salim ahli ekonomi dan mantan Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup di masa Presiden Soeharto, pendapatan negara, terutama pendapatan negara yang surplus, harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang dirasakan langsung oleh banyak masyarakat. "Bukan hanya asal bangun infrastruktur saja," paparnya.
Emil Salim memberi contoh bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan surplus dari kenaikan neraca minyak bumi yang terjadi pada tahun 70-an untuk pembangunan sekolah-sekolah di desa dan daerah tertinggal.
Menurut dia, Presiden Soeharto pada waktu itu langsung terjun ke lapangan dan Presiden Soeharto mengatakan harus membangun sekolah-sekolah itu supaya terjadi pemerataan pada masyarakat, terutama pemerataan pendidikan sekolah dasar di Indonesia.
"Masyarakat tahu mereka harus sekolah tetapi pada waktu itu belum ada gedung sekolah. Saat gedung-gedung sekolah selesai dibangun, dinamika semangat untuk sekolah tinggi dan tercapailah pemerataan," ujar Emil Salim.
Keberhasilan SD Inpres ini bahkan mengantarkan salah satu dari tiga ekonom asal Amerika meraih nobel mereka adalah Abhijit Banerjee, Esther Duflo dan Michael Kremer.
Penelitian Duflo diterbitkan di Agustus tahun 2000 dengan judul schooling and labor market consequences of school construction in Indonesia: evidence from an unusual policy experiment (konsekuensi sekolah dan pasar tenaga kerja dari pembangunan sekolah di Indonesia: bukti dari eksperimen kebijakan yang tidak biasa).
Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978. Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD. Dalam risetnya, dia menunjukkan pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan di Indonesia.
(maf)