Ditantang Benahi Pendidikan, Nadiem Sodor 4 Program Prioritas
A
A
A
Tantangan datang dari Presiden Joko Widodo untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Dalam tiga bulan ke depan, Kemendikbud diminta sudah memiliki sistem aplikasi untuk pendidikan nasional. “Dari apa yang disampaikan, saya meyakini beliau bisa melakukan itu,” kata Jokowi saat berdialog bersama awak media di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat pekan lalu.
Terpilihnya Nadiem sebagai mendikbud memang di luar dugaan. Dia bukan berasal dari dunia pendidikan. Dia bukan peneliti, pengajar, apalagi pakar bidang pendidikan. Sangat berbeda dibandingkan menteri-menteri sebelumnya yang sudah makan asam garam di kancah pendidikan.
Latar belakang akademiknya pun “kurang meyakinkan”. Nadiem hanya menempuh pendidikan di dalam negeri hingga lulus SMP. Setelah itu, dia berpetualang ke luar negeri. SMA di Singapura, lalu kuliah di Brown University dan Harvard University Amerika Serikat dengan meraih gelar Master of Business Administration (MBA).
Sosok Nadiem melejit sebagai pengusaha muda pendiri rintisan teknologi ride hailing Gojek. Bisnis layanan ojek daring itu sangat moncer. Kurang dari satu dasawarsa sejak berdiri pada 2010, usahanya meroket dari unicorn menjadi decacorn—label prestisius bagi perusahaan dengan nilai valuasi melebihi US$10 miliar.
Nadiem mengakui, salah satu alasan Jokowi memilihnya masuk dalam Kabinet Indonesia Maju adalah penilaian bahwa dia mampu membaca perkembangan zaman. “Saya dianggap lebih mengerti yang akan ada di masa depan karena memang bisnis saya, ya, mengantisipasi masa depan,” katanya setelah dilantik.
Dia bahkan mengungkap sinyal soal tugas penting yang diberikan Presiden Jokowi. Menurut dia, tantangan pendidikan di Indonesia sangat besar. Ada masalah kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Begitu juga tantangan dalam mengelola sekitar 3,5 juta guru, 300 ribu sekolah, 50 juta pelajar, dan 4.600 perguruan tinggi di Indonesia.
“Mau tidak mau peran teknologi akan sangat besar dalam hal peningkatan kualitas, efisiensi, maupun efisiensi,” kata pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1984 ini. Ia mengatakan, ada empat prioritas yang dilakukan kementeriannya. Prioritas pertama, kata Nadiem, adalah pembelajaran anak. Ia akan mengecek apakah yang diberikan oleh kementerian terserap oleh para siswa.
“Satu konsep yang sangat penting itu adalah studi badan-badan. Semua peraturan dan penggunaan dana kita harus dicek,” kata dia saat ditemui Nini Hilaliyah dari SINDO Weekly di Kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kamis pekan lalu. Prioritas kedua yang dibenahi adalah struktur kelembagaan.
Nadiem menilai, struktur kelembagaan, baik internal maupun eksternal, badan-badan akan mendukung tujuan pembelajaran. Struktur kelembagaan ini, kata dia, bisa berdampak positif juga terhadap kualitas pembelajaran. Sesuai arahan Jokowi, regulasi sektor pendidikan harus dibenahi di tahun ini.
Ada berbagai macam aturan, termasuk mencakup beban administrasi, guru, dosen, dan berbagai beban administrasi pendidikan. “Kalau kita ingin sekolah dan perguruan tinggi kita kreatif, inovatif, dan membangun pengertian, kita bisa melakukan itu,” cetusnya.
Berikutnya, menggerakkan revolusi mental di masyarakat. Nadiem menyebut, untuk menyukseskan program revolusi mental Presiden Jokowi, tidak dapat hanya dilakukan di sistem institusi pendidikan saja. “Jadi, pengembangan karakter itu bukan hanya dari kurikulum, bukan hanya pembelajaran dari guru, melainkan masyarakat secara luas. Itu yang akan kami kembangkan,” kata eks pendiri Gojek tersebut.
Prioritas terakhir adalah pengembangan teknologi. Nadiem mengatakan, dalam hal ini banyak yang harus difokuskan. Fokus dari teknologi ini, menurutnya, bisa membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Ia menilai, ada paradigma yang keliru di masyarakat soal pengembangan teknologi ini.
Menurutnya, selama ini teknologi di ranah pendidikan banyak disalahpahami, diartikan akan mengganti peran guru dan menembus batas ruang kelas. Persepsi itu sangat keliru. Gebrakan itu bukan untuk menggantikan kurikulum secara total. “Teknologi itu untuk memperbaiki atau meng-enhance, meningkatkan kapasitas. Bukan untuk menggantikan,” terangnya.
Tantangan Berat
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, yakin Nadiem dapat mendorong pendidikan menjadi lebih maju dan membangun kualitas SDM yang lebih baik. Ia pun menyatakan PGRI siap mendukung kebijakan atau inovasi yang akan diterapkan untuk menyukseskan mimpi besar itu tersebut.
Sama seperti Nadiem, Unifah menyebut teknologi hanyalah alat penunjang. Menurutnya, kunci utama kemajuan terletak pada kualitas pengajar. Namun, ia tetap menantikan sejauh mana gebrakan teknologi yang dikembangkan Mendikbud untuk menunjang kemajuan pendidikan di Indonesia.
Ia menilai digitalisasi memang sebuah kebutuhan saat ini. Hanya saja, di balik itu yang terpenting adalah bagaimana bisa menggerakkan guru dan mengubah budaya kerjanya menjadi lebih bergairah.
“Apakah teknologi itu bisa mendorong kurikulum lebih disederhanakan, tetapi merespons kebutuhan pengembangan pendidikan di masa depan? Ini yang kita nantikan bagaimana inovasi-inovasi itu mendorong kinerja guru dan juga para siswanya,” kata Unifah kepada Efi Susiyanti dari SINDO Weekly.
Kendati sukses di bidang bisnis, tidak menjamin saat menangani masalah pendidikan. Unifah menyebut tantangan pendidikan sangat kompleks. Salah satunya yaitu kultur birokrasi. Kini, kewenangan pendidikan kewenangan tidak lagi milik kementerian, tetapi sudah ada di ranah provinsi dan kabupaten/kota. “Harus bisa koordinasi karena mereka yang paling tahu permasalahannya,” imbuhnya.
Banyaknya aturan yang masih tumpang tindih juga menjadi tantangan Nadiem. Selain itu, Indonesia masih kekurangan guru hingga 700 ribu orang. Sementara, jumlah guru honorer justru malah membludak sekitar 780 ribu orang. Pengangkatan guru kontrak tersebut menjadi persoalan menahun yang tak kunjung selesai.
Unifah menilai, Nadiem juga harus bersinergi agar pendidikan dan dunia kerja saling terintegrasi. Apalagi, jumlah pengangguran saat ini masih relatif tinggi. Hanya saja, kata dia, pendidikan tidak bisa disamakan laiknya pelatihan. “Itu beda. Link and match itu dibutuhkan supaya keterampilan sejalan daya serap kebutuhan tenaga kerja industri, bisa dimengerti, dan universal. Jadi, dua-duanya saling memahami,” katanya.
Pemerhati pendidikan Doni Kusuma mengatakan, pendidikan nasional memang membutuhkan terobosan. Menurutnya, sosok Nadiem memberi warna baru bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Salah satu PR yang harus segera diselesaikan, lanjut Doni, adalah menyederhanakan birokrasi.
Terutama, membuat sistem kerja birokrasi dan guru yang transparan serta akuntabel. “Dengan cara-cara yang lebih maju, dengan dibantu teknologi, saya rasa guru-guru bisa maju lebih baik,” kata dia kepada Nini Hilaliyah dari SINDO Weekly.
Dosen Universitas Multimedia Nusantara itu pun sepakat jika Dikti kembali ke Kemendikbud.
Menurut dia, pendidikan dasar dengan pendidikan tinggi memang harus satu kesatuan. Dengan begitu, pembenahan dan kebijakan yang dilakukan akan menyeluruh. “Jadi, pendidikan tinggi juga akan lebih ringkas dan lebih mempersiapkan orang-orang untuk masuk ke dunia kerja secara langsung. Dia punya pengalaman di bidang itu,” ujar Doni.
Alokasi anggaran pendidikan juga tak lepas dari sorotan Doni. Menurutnya, 20% dari total APBN tidak penuh terserap sampai sekolah. Yang sampai sekolah itu hanya dana pelajar. Paling banyak justru disebar ke kementerian.
Lantaran itu, Doni berharap Nadiem bergerak cepat agar pusat dan daerah bisa memprioritaskan anggaran ini untuk pemerataan pendidikan. Solusi atas beban berat itu menurutnya kembali lagi kepada kinerja sang nakhoda, Nadiem Makarim.
(Faorick Pakpahan)
Terpilihnya Nadiem sebagai mendikbud memang di luar dugaan. Dia bukan berasal dari dunia pendidikan. Dia bukan peneliti, pengajar, apalagi pakar bidang pendidikan. Sangat berbeda dibandingkan menteri-menteri sebelumnya yang sudah makan asam garam di kancah pendidikan.
Latar belakang akademiknya pun “kurang meyakinkan”. Nadiem hanya menempuh pendidikan di dalam negeri hingga lulus SMP. Setelah itu, dia berpetualang ke luar negeri. SMA di Singapura, lalu kuliah di Brown University dan Harvard University Amerika Serikat dengan meraih gelar Master of Business Administration (MBA).
Sosok Nadiem melejit sebagai pengusaha muda pendiri rintisan teknologi ride hailing Gojek. Bisnis layanan ojek daring itu sangat moncer. Kurang dari satu dasawarsa sejak berdiri pada 2010, usahanya meroket dari unicorn menjadi decacorn—label prestisius bagi perusahaan dengan nilai valuasi melebihi US$10 miliar.
Nadiem mengakui, salah satu alasan Jokowi memilihnya masuk dalam Kabinet Indonesia Maju adalah penilaian bahwa dia mampu membaca perkembangan zaman. “Saya dianggap lebih mengerti yang akan ada di masa depan karena memang bisnis saya, ya, mengantisipasi masa depan,” katanya setelah dilantik.
Dia bahkan mengungkap sinyal soal tugas penting yang diberikan Presiden Jokowi. Menurut dia, tantangan pendidikan di Indonesia sangat besar. Ada masalah kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai daerah. Begitu juga tantangan dalam mengelola sekitar 3,5 juta guru, 300 ribu sekolah, 50 juta pelajar, dan 4.600 perguruan tinggi di Indonesia.
“Mau tidak mau peran teknologi akan sangat besar dalam hal peningkatan kualitas, efisiensi, maupun efisiensi,” kata pria kelahiran Jakarta, 4 Juli 1984 ini. Ia mengatakan, ada empat prioritas yang dilakukan kementeriannya. Prioritas pertama, kata Nadiem, adalah pembelajaran anak. Ia akan mengecek apakah yang diberikan oleh kementerian terserap oleh para siswa.
“Satu konsep yang sangat penting itu adalah studi badan-badan. Semua peraturan dan penggunaan dana kita harus dicek,” kata dia saat ditemui Nini Hilaliyah dari SINDO Weekly di Kantor Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kamis pekan lalu. Prioritas kedua yang dibenahi adalah struktur kelembagaan.
Nadiem menilai, struktur kelembagaan, baik internal maupun eksternal, badan-badan akan mendukung tujuan pembelajaran. Struktur kelembagaan ini, kata dia, bisa berdampak positif juga terhadap kualitas pembelajaran. Sesuai arahan Jokowi, regulasi sektor pendidikan harus dibenahi di tahun ini.
Ada berbagai macam aturan, termasuk mencakup beban administrasi, guru, dosen, dan berbagai beban administrasi pendidikan. “Kalau kita ingin sekolah dan perguruan tinggi kita kreatif, inovatif, dan membangun pengertian, kita bisa melakukan itu,” cetusnya.
Berikutnya, menggerakkan revolusi mental di masyarakat. Nadiem menyebut, untuk menyukseskan program revolusi mental Presiden Jokowi, tidak dapat hanya dilakukan di sistem institusi pendidikan saja. “Jadi, pengembangan karakter itu bukan hanya dari kurikulum, bukan hanya pembelajaran dari guru, melainkan masyarakat secara luas. Itu yang akan kami kembangkan,” kata eks pendiri Gojek tersebut.
Prioritas terakhir adalah pengembangan teknologi. Nadiem mengatakan, dalam hal ini banyak yang harus difokuskan. Fokus dari teknologi ini, menurutnya, bisa membantu guru dalam menjalankan kegiatan pendidikan. Ia menilai, ada paradigma yang keliru di masyarakat soal pengembangan teknologi ini.
Menurutnya, selama ini teknologi di ranah pendidikan banyak disalahpahami, diartikan akan mengganti peran guru dan menembus batas ruang kelas. Persepsi itu sangat keliru. Gebrakan itu bukan untuk menggantikan kurikulum secara total. “Teknologi itu untuk memperbaiki atau meng-enhance, meningkatkan kapasitas. Bukan untuk menggantikan,” terangnya.
Tantangan Berat
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi, yakin Nadiem dapat mendorong pendidikan menjadi lebih maju dan membangun kualitas SDM yang lebih baik. Ia pun menyatakan PGRI siap mendukung kebijakan atau inovasi yang akan diterapkan untuk menyukseskan mimpi besar itu tersebut.
Sama seperti Nadiem, Unifah menyebut teknologi hanyalah alat penunjang. Menurutnya, kunci utama kemajuan terletak pada kualitas pengajar. Namun, ia tetap menantikan sejauh mana gebrakan teknologi yang dikembangkan Mendikbud untuk menunjang kemajuan pendidikan di Indonesia.
Ia menilai digitalisasi memang sebuah kebutuhan saat ini. Hanya saja, di balik itu yang terpenting adalah bagaimana bisa menggerakkan guru dan mengubah budaya kerjanya menjadi lebih bergairah.
“Apakah teknologi itu bisa mendorong kurikulum lebih disederhanakan, tetapi merespons kebutuhan pengembangan pendidikan di masa depan? Ini yang kita nantikan bagaimana inovasi-inovasi itu mendorong kinerja guru dan juga para siswanya,” kata Unifah kepada Efi Susiyanti dari SINDO Weekly.
Kendati sukses di bidang bisnis, tidak menjamin saat menangani masalah pendidikan. Unifah menyebut tantangan pendidikan sangat kompleks. Salah satunya yaitu kultur birokrasi. Kini, kewenangan pendidikan kewenangan tidak lagi milik kementerian, tetapi sudah ada di ranah provinsi dan kabupaten/kota. “Harus bisa koordinasi karena mereka yang paling tahu permasalahannya,” imbuhnya.
Banyaknya aturan yang masih tumpang tindih juga menjadi tantangan Nadiem. Selain itu, Indonesia masih kekurangan guru hingga 700 ribu orang. Sementara, jumlah guru honorer justru malah membludak sekitar 780 ribu orang. Pengangkatan guru kontrak tersebut menjadi persoalan menahun yang tak kunjung selesai.
Unifah menilai, Nadiem juga harus bersinergi agar pendidikan dan dunia kerja saling terintegrasi. Apalagi, jumlah pengangguran saat ini masih relatif tinggi. Hanya saja, kata dia, pendidikan tidak bisa disamakan laiknya pelatihan. “Itu beda. Link and match itu dibutuhkan supaya keterampilan sejalan daya serap kebutuhan tenaga kerja industri, bisa dimengerti, dan universal. Jadi, dua-duanya saling memahami,” katanya.
Pemerhati pendidikan Doni Kusuma mengatakan, pendidikan nasional memang membutuhkan terobosan. Menurutnya, sosok Nadiem memberi warna baru bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Salah satu PR yang harus segera diselesaikan, lanjut Doni, adalah menyederhanakan birokrasi.
Terutama, membuat sistem kerja birokrasi dan guru yang transparan serta akuntabel. “Dengan cara-cara yang lebih maju, dengan dibantu teknologi, saya rasa guru-guru bisa maju lebih baik,” kata dia kepada Nini Hilaliyah dari SINDO Weekly.
Dosen Universitas Multimedia Nusantara itu pun sepakat jika Dikti kembali ke Kemendikbud.
Menurut dia, pendidikan dasar dengan pendidikan tinggi memang harus satu kesatuan. Dengan begitu, pembenahan dan kebijakan yang dilakukan akan menyeluruh. “Jadi, pendidikan tinggi juga akan lebih ringkas dan lebih mempersiapkan orang-orang untuk masuk ke dunia kerja secara langsung. Dia punya pengalaman di bidang itu,” ujar Doni.
Alokasi anggaran pendidikan juga tak lepas dari sorotan Doni. Menurutnya, 20% dari total APBN tidak penuh terserap sampai sekolah. Yang sampai sekolah itu hanya dana pelajar. Paling banyak justru disebar ke kementerian.
Lantaran itu, Doni berharap Nadiem bergerak cepat agar pusat dan daerah bisa memprioritaskan anggaran ini untuk pemerataan pendidikan. Solusi atas beban berat itu menurutnya kembali lagi kepada kinerja sang nakhoda, Nadiem Makarim.
(Faorick Pakpahan)
(don)