Memoratorium Dinilai Lebih Tepat daripada Menghapus UN
A
A
A
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI) melalui Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti menyatakan memoratorium Ujian Nasional (UN) lebih tepat daripada menghapusnya. Hal ini terkait adanya wacana penghapusan UN oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadiem Makarim.
Retno menjelaskan, sebaiknya Kemendikbud lebih dulu mematuhi keputusan dan perintah Mahkamah Agung (MA) yang terbit pada 14 September 2009.
"Saat itu, kasasi yang diajukan pemerintah sebagai pihak tergugat terkait kebijakan UN ditolak MA," kata Retno dalam keterangan pers yang diterima SINDO, Selasa (3/12/2019).
Sebelum diputuskan untuk menghapus UN, Retno meminta Negara wajib melakukan pertama, meningkatkan kualitas guru dan menyebarkan guru berkualitas di seluruh Indonesia; kedua, memenuhi sarana prasarana pendidikan merata di seluruh Indonesia; dan ketiga, sistem informasi antarsekolah harus merata di seluruh Indonesia.
"Adapun pihak penggugatnya kala itu adalah warga melalui citizen law suit. Mereka menggugat kebijakan yang menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Ketentuan itu, didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," jelas Retno.
Diketahui, pihak tergugat dalam perkara tersebut adalah presiden, wakil presiden, menteri pendidikan, dan ketua Badan Nasional Standar Pendidikan. Saat itu MA menerima gugatan dan memerintahkan pemerintah memulihkan psikologis anak-anak yang tidak lulus karena kebijakan UN.
Seharusnya, tegas Retno pemerintah saat itu memoratorium atau menghentikan sementara kebijakan UN sampai ketiga perintah MA dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. "Namun, sampai hari ini ketiganya belum sepenuhnya dipenuhi negara," ujarnya.
KPAI, kata Retno bersikap mendukung UN tidak menjadi penentu kelulusan siswa dan bukan parameter murid untuk masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Alasannya, karena sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) saat ini sudah murni zonasi.
Ia juga mengatakan pemerintah masih memerlukan UN sebagai parameter pemetaan kualitas pendidikan. "Ini mengingat kualitas pendidikan antara di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta kota dan desa berbeda sekali. Jadi nantinya pemerintah bisa mengevaluasi dan memberi bantuan," jelas Retno.
"Contohnya, hasil UN sekolah A nilai Bahasa Inggrisnya sangat rendah. Setelah diselidiki ternyata sekolah tersebut tidak memiliki laboratorium bahasa. Maka kemudian pemerintah membangunkan laboratorium bahasa di sekolah tersebut," tambahnya.
Dengan demikian tegas Retno, standarisasi pendidikan nasional melalui UN baru bisa diterapkan jika kualitas pendidikan di setiap daerah sudah sama baiknya. UN sebagai parameter pemetaan kualitas berfungsi bagi pemerintah untuk melakukan intervensi atau membuat kebijakan.
"Kalau kondisi dan kualitas sekolah belum sama kualitasnya, bahkan dari sisi sarana prasarananya saja seperti langit dan bumi antara sekolah-sekolah di Jawa dengan di luar Jawa, maka pemberlakukan kebijakan UN menjadi tidak adil," tutup Retno.
Retno menjelaskan, sebaiknya Kemendikbud lebih dulu mematuhi keputusan dan perintah Mahkamah Agung (MA) yang terbit pada 14 September 2009.
"Saat itu, kasasi yang diajukan pemerintah sebagai pihak tergugat terkait kebijakan UN ditolak MA," kata Retno dalam keterangan pers yang diterima SINDO, Selasa (3/12/2019).
Sebelum diputuskan untuk menghapus UN, Retno meminta Negara wajib melakukan pertama, meningkatkan kualitas guru dan menyebarkan guru berkualitas di seluruh Indonesia; kedua, memenuhi sarana prasarana pendidikan merata di seluruh Indonesia; dan ketiga, sistem informasi antarsekolah harus merata di seluruh Indonesia.
"Adapun pihak penggugatnya kala itu adalah warga melalui citizen law suit. Mereka menggugat kebijakan yang menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Ketentuan itu, didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan," jelas Retno.
Diketahui, pihak tergugat dalam perkara tersebut adalah presiden, wakil presiden, menteri pendidikan, dan ketua Badan Nasional Standar Pendidikan. Saat itu MA menerima gugatan dan memerintahkan pemerintah memulihkan psikologis anak-anak yang tidak lulus karena kebijakan UN.
Seharusnya, tegas Retno pemerintah saat itu memoratorium atau menghentikan sementara kebijakan UN sampai ketiga perintah MA dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. "Namun, sampai hari ini ketiganya belum sepenuhnya dipenuhi negara," ujarnya.
KPAI, kata Retno bersikap mendukung UN tidak menjadi penentu kelulusan siswa dan bukan parameter murid untuk masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Alasannya, karena sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) saat ini sudah murni zonasi.
Ia juga mengatakan pemerintah masih memerlukan UN sebagai parameter pemetaan kualitas pendidikan. "Ini mengingat kualitas pendidikan antara di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa, serta kota dan desa berbeda sekali. Jadi nantinya pemerintah bisa mengevaluasi dan memberi bantuan," jelas Retno.
"Contohnya, hasil UN sekolah A nilai Bahasa Inggrisnya sangat rendah. Setelah diselidiki ternyata sekolah tersebut tidak memiliki laboratorium bahasa. Maka kemudian pemerintah membangunkan laboratorium bahasa di sekolah tersebut," tambahnya.
Dengan demikian tegas Retno, standarisasi pendidikan nasional melalui UN baru bisa diterapkan jika kualitas pendidikan di setiap daerah sudah sama baiknya. UN sebagai parameter pemetaan kualitas berfungsi bagi pemerintah untuk melakukan intervensi atau membuat kebijakan.
"Kalau kondisi dan kualitas sekolah belum sama kualitasnya, bahkan dari sisi sarana prasarananya saja seperti langit dan bumi antara sekolah-sekolah di Jawa dengan di luar Jawa, maka pemberlakukan kebijakan UN menjadi tidak adil," tutup Retno.
(maf)