Pakar Budaya UI: Akulturasi Kebudayaan China Sumbang Keragaman Indonesia
Rabu, 01 Februari 2023 - 15:38 WIB
JAKARTA - Pakar Budaya China, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) Dr. Rahadjeng Pulungsari Hadi, M.Hum, menilai, generasi saat ini lebih terbuka menerima perbedaan budaya, agama, dan etnis.
" Generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat,” ujar Dr. Rahadjeng Pulungsari dalam keterangan pers, Rabu (1/2/2023).
Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora China di Indonesia.
Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.
“Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses ‘menjadi’ atau ‘becoming’, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali,” kata Dr. Rahadjeng.
Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya China dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik karena budaya China berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.
Sebagai contoh, akulturasi budaya China di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim, misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan China yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi.
" Generasi muda etnis China tidak lagi terikat pada trauma-trauma politik, bahkan lebih bebas mengekspresikan diri dan lebur dalam masyarakat. Kondisi ini memungkinkan hilangnya sekat-sekat sosial di masyarakat,” ujar Dr. Rahadjeng Pulungsari dalam keterangan pers, Rabu (1/2/2023).
Menurutnya, yang menjadi tantangan bagi masyarakat diaspora di seluruh dunia adalah ketika datang ke perantauan, mereka tidak memiliki wilayah. Sebagai pendatang, masyarakat diaspora harus mampu beradaptasi, sebagaimana yang dilakukan diaspora China di Indonesia.
Meski tetap memelihara budayanya, pendatang dapat beradaptasi dengan kehidupan setempat. Pada tahap ini, percampuran atau akulturasi budaya terjadi dan identitas nasional terbentuk dengan tetap memperlihatkan identitas budayanya.
“Identitas para perantau terus bergerak, karena tidak bersifat tetap. Mereka perlahan-lahan mengalami proses ‘menjadi’ atau ‘becoming’, tetapi tetap mempertahankan budaya asalnya. Inilah yang menjadi kekhasan dari masyarakat diaspora. Masyarakat diaspora pada umumnya mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari wilayah yang ia tinggali,” kata Dr. Rahadjeng.
Baca Juga
Akulturasi budaya merupakan salah satu strategi para pendatang untuk dapat bertahan. Melalui akulturasi, masyarakat diaspora mengelaborasikan budaya China dengan budaya lokal tanpa menghilangkan identitas masing-masing. Akulturasi budaya ini melahirkan kolaborasi yang unik karena budaya China berpadu dengan budaya Indonesia yang beragam.
Sebagai contoh, akulturasi budaya China di Sumatera melahirkan produk yang berbeda dengan akulturasi di Jawa, begitu juga dengan daerah lain. Kebaya Encim, misalnya, merupakan produk modifikasi pakaian khas peranakan China yang disesuaikan warnanya dengan selera masyarakat Betawi.
tulis komentar anda