Survei KPAI-FSGI: Guru Masih Mengejar Penuntasan Kurikulum dalam Pelaksanaan PJJ
Selasa, 28 April 2020 - 15:50 WIB
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melakukan survei terhadap guru terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hasilnya, guru masih berorientasi pada pemberian tugas dan penuntasan kurikulum.
Survei melibatkan 602 guru yang tersebar di 14 provinsi, antara lain, DKI Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Timur, pada 16-21 April. KPAI dan FSGI mengklaim margin eror survei ini 0,5%. Responden mayoritas guru dengan masa bakti di atas 10 tahun dengan porsi 65,8%. Sisanya, masa kerja 1-5 tahun sekitar 20,4% dan masa kerja 5-10 tahun sebanyak 13,8%.
Responden untuk guru tingkat sekolah menengah atas (SMA) merupakan yang paling banyak, yakni 52,8%. Selanjutnya guru sekolah menengah pertama (SMP) 35,7% dan sekolah dasar (SD) itu sebesar 11,5%. Sebanyak 60,8% responden berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Wasekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung memaparkan hanya 8% guru yang konsisten melaksanakan pembelajaran daring sebelum pandemi COVID-19. Menariknya, sebanyak 52,8% menyatakan pernah melakukan pembelajaran daring.
“Ini sangat sedikit guru yang terbiasa mengajar daring. “Pernah” itu kami asumsikan satu dan dua kali saja mengajar daring,” ujarnya dalam video conference bertajuk Survei Persepsi dan Evaluasi Guru Terhadap Pelaksanaan PJJ, Selasa (28/04/2020).
Dalam pelaksanaan PJJ, banyak guru mengandalan media sosial dan aplikasi yang ada di ponsel, seperti WhatsApp, line, dan Instagram. Padahal aplikasi itu peruntukan utamanya bukan untuk pembelajaran daring.
Masalah utama PJJ ini, guru lebih suka memberikan penugasan dan evaluasi. Responden yang mengakui ini sebanyak 77,6%. Ada 70,4% yang memilih aplikasi daring yang sesuai dengan materi yang ingin disampaikan.
“Dapat diartikan guru lebih menekankan kegiatan penilaian pada PJJ dibandingkan denga kegiatan pembelajaran bermakna. Boleh jadi ini terpaksa dilakukan guru akibat kurangnya penguasaan terhadap aplikasi pembelajaran daring,” tutur Fahriza.
Metode yang menjejali siswa dengan penugasan inilah yang membuat PJJ tidak menarik. Dari survei ditemukan penilaian dilakukan dengan mengukur kedisiplinan dan tanggung jawab dalam pengumpulan tugas.
Wasekjsen FSGI lainnya, Satriwan Salim mengungkapkan guru masih mengejar ketercapaian kurikulum. Ini sangat kontradiktif dengan semangat dan aturan dari pusat, yakni surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
“Kami meminta kepada kepala sekolah untuk mengarahkan. Guru itu tergantung kepala sekolah. Keadaan darurat, maka PJJ memerlukan perlakuan khusus. Diperlukan ketegasan kepala sekolah agar tidak mengejar ketuntasan kurikulum,” pungkasnya.
Survei melibatkan 602 guru yang tersebar di 14 provinsi, antara lain, DKI Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, dan Jawa Timur, pada 16-21 April. KPAI dan FSGI mengklaim margin eror survei ini 0,5%. Responden mayoritas guru dengan masa bakti di atas 10 tahun dengan porsi 65,8%. Sisanya, masa kerja 1-5 tahun sekitar 20,4% dan masa kerja 5-10 tahun sebanyak 13,8%.
Responden untuk guru tingkat sekolah menengah atas (SMA) merupakan yang paling banyak, yakni 52,8%. Selanjutnya guru sekolah menengah pertama (SMP) 35,7% dan sekolah dasar (SD) itu sebesar 11,5%. Sebanyak 60,8% responden berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Wasekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung memaparkan hanya 8% guru yang konsisten melaksanakan pembelajaran daring sebelum pandemi COVID-19. Menariknya, sebanyak 52,8% menyatakan pernah melakukan pembelajaran daring.
“Ini sangat sedikit guru yang terbiasa mengajar daring. “Pernah” itu kami asumsikan satu dan dua kali saja mengajar daring,” ujarnya dalam video conference bertajuk Survei Persepsi dan Evaluasi Guru Terhadap Pelaksanaan PJJ, Selasa (28/04/2020).
Dalam pelaksanaan PJJ, banyak guru mengandalan media sosial dan aplikasi yang ada di ponsel, seperti WhatsApp, line, dan Instagram. Padahal aplikasi itu peruntukan utamanya bukan untuk pembelajaran daring.
Masalah utama PJJ ini, guru lebih suka memberikan penugasan dan evaluasi. Responden yang mengakui ini sebanyak 77,6%. Ada 70,4% yang memilih aplikasi daring yang sesuai dengan materi yang ingin disampaikan.
“Dapat diartikan guru lebih menekankan kegiatan penilaian pada PJJ dibandingkan denga kegiatan pembelajaran bermakna. Boleh jadi ini terpaksa dilakukan guru akibat kurangnya penguasaan terhadap aplikasi pembelajaran daring,” tutur Fahriza.
Metode yang menjejali siswa dengan penugasan inilah yang membuat PJJ tidak menarik. Dari survei ditemukan penilaian dilakukan dengan mengukur kedisiplinan dan tanggung jawab dalam pengumpulan tugas.
Wasekjsen FSGI lainnya, Satriwan Salim mengungkapkan guru masih mengejar ketercapaian kurikulum. Ini sangat kontradiktif dengan semangat dan aturan dari pusat, yakni surat edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.
“Kami meminta kepada kepala sekolah untuk mengarahkan. Guru itu tergantung kepala sekolah. Keadaan darurat, maka PJJ memerlukan perlakuan khusus. Diperlukan ketegasan kepala sekolah agar tidak mengejar ketuntasan kurikulum,” pungkasnya.
(kri)
tulis komentar anda