Dosen Paramadina: Kerja Sama Negara ASEAN Redam Aksi Agresif China di Laut China Selatan
Jum'at, 26 Juli 2024 - 13:32 WIB
Pandangan Riza diamini koleganya dosen dari Universitas Indonesia (UI) Ristian Atriandi Suprianto. Menurut Ristian, negara ASEAN tak bisa bertindak sendirian dan harus mengedapankan kerja sama dalam menghadapi sikap agresif China di Laut China Selatan.
Menurut pemerhati isu keamanan yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Australian National University (ANU) itu, isu dengan China, seperti yang sedang dihadapi Filipina saat ini, bukan hanya relevan bagi Filipina, tetapi juga bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan dalam pandangan Ketua FSI, Johanes Herlijanto, strategi yang diterapkan Filipina saat ini dalam menghadapi aksi-aksi agresif dari China patut untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa.
Menurutnya, sikap agresif China itu terlihat dari penerapan taktik yang dikenal sebagai taktik ‘zona abu-abu’ (grey zone) terhadap negara-negara yang memiliki kedaulatan maupun hak berdaulat di perairan yang oleh China diakui sebagai miliknya.
“Padahal, pengakuan kepemilikan RRC yang hanya berdasarkan klaim sejarah itu bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh Cina sendiri,” tutur Johanes.
Menurut Johanes, alih-alih mematuhi UNCLOS, RRC malah berupaya meralisasikan pengakuan kepemilikannya itu dengan menjalankan taktik grey zone melibatkan tiga komponen yang sebenarnya masih berada di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan langsung Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, penjaga Pantai (Coast Guard) China, dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat
Menurut Johanes, pengakuan sepihak China yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya telah disanggah oleh putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016.
Namun, negara itu bukan hanya bersikeras bahwa sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) adalah miliknya, tetapi juga melanjutkan taktik greyzone di atas.
Filipina menjadi salah satu sasaran, khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Namun Johanes mengingatkan bahwa selain Filipina, Vietnam dan bahkan Indonesia pun kerap menjadi sasaran dari aktivitas greyzone China itu.
Menurut pemerhati isu keamanan yang sedang menyelesaikan studi doktoral di Australian National University (ANU) itu, isu dengan China, seperti yang sedang dihadapi Filipina saat ini, bukan hanya relevan bagi Filipina, tetapi juga bagi negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Sedangkan dalam pandangan Ketua FSI, Johanes Herlijanto, strategi yang diterapkan Filipina saat ini dalam menghadapi aksi-aksi agresif dari China patut untuk dijadikan sebagai pelajaran bagi negara-negara lain yang menghadapi pengalaman serupa.
Menurutnya, sikap agresif China itu terlihat dari penerapan taktik yang dikenal sebagai taktik ‘zona abu-abu’ (grey zone) terhadap negara-negara yang memiliki kedaulatan maupun hak berdaulat di perairan yang oleh China diakui sebagai miliknya.
“Padahal, pengakuan kepemilikan RRC yang hanya berdasarkan klaim sejarah itu bertentangan dengan hukum laut internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang telah diratifikasi oleh Cina sendiri,” tutur Johanes.
Menurut Johanes, alih-alih mematuhi UNCLOS, RRC malah berupaya meralisasikan pengakuan kepemilikannya itu dengan menjalankan taktik grey zone melibatkan tiga komponen yang sebenarnya masih berada di bawah kendali Komite Militer Pusat (CMC) pimpinan langsung Presiden Xi Jinping, yaitu milisi maritim yang beroperasi sebagai nelayan-nelayan sipil, penjaga Pantai (Coast Guard) China, dan Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat
Menurut Johanes, pengakuan sepihak China yang ditandai dengan sembilan garis putus-putus itu sebenarnya telah disanggah oleh putusan Mahkamah Arbitrase Internasional yang diajukan Filipina pada tahun 2016.
Namun, negara itu bukan hanya bersikeras bahwa sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS) adalah miliknya, tetapi juga melanjutkan taktik greyzone di atas.
Filipina menjadi salah satu sasaran, khususnya dalam dua atau tiga tahun terakhir ini. Namun Johanes mengingatkan bahwa selain Filipina, Vietnam dan bahkan Indonesia pun kerap menjadi sasaran dari aktivitas greyzone China itu.
tulis komentar anda