Kenapa Orang Mudah Menyebarkan Hoaks? Ini Jawabannya Menurut Penelitian
Senin, 23 September 2024 - 09:00 WIB
Hasilnya, mereka menemukan bahwa apa yang dilakukan orang-orang saat menyebarkan hoaks berkaitan dengan kebiasaan atau dorongan yang muncul selama bermain media sosial.
Selama ini, tanpa sadar, orang-orang yang bermain media sosial telah kecanduan untuk melakukan like atau menerimanya, berkomentar, mengikuti tren atau isu yang viral, dan menyebarkannya. "Karena sistem pembelajaran berbasis penghargaan di media sosial, pengguna membentuk kebiasaan berbagi informasi yang mendapat pengakuan dari orang lain," tulis para peneliti.
Jadi bisa dikatakan, mengunggah, berbagi, dan berinteraksi dengan orang lain di media sosial dapat menjadi suatu kebiasaan.
Ini yang kemudian banyak orang mudah percaya dan menyebarkan berita palsu atau hoaks. Mereka tidak merespons dengan berpikir atau mempertimbangkan, tetapi langsung berkomentar atau menyebarkan karena sudah terbiasa.
"Kebiasaan pengguna media sosial adalah pendorong penyebaran misinformasi yang lebih besar dibandingkan atribut individu. Kami mengetahui dari penelitian sebelumnya bahwa sebagian orang tidak memproses informasi secara kritis, dan sebagian lainnya membentuk opini berdasarkan bias politik, yang juga memengaruhi kemampuan mereka untuk mengenali berita palsu secara online," ujar Gizem Ceylan, pemimpin penelitian di USC Marshall
Dalam penelitian yang melibatkan 2.476 pengguna aktif Facebook berusia antara 18 hingga 89 tahun ini, para peneliti menemukan bahwa kebiasaan pengguna media sosial meningkat dua kali lipat.
Bahkan dalam beberapa kasus, jumlah berita palsu yang mereka bagikan menjadi tiga kali lipat. Kebiasaan mereka dalam menyebarkan berita palsu lebih berpengaruh dibandingkan faktor lainnya, termasuk keyakinan politik dan kurangnya penalaran kritis.
"Memahami dinamika di balik penyebaran misinformasi adalah hal yang penting mengingat konsekuensi politik, kesehatan, dan sosialnya," tutur Ian A. Anderson, seorang ilmuwan perilaku dan kandidat doktor di USC Dornsife.
Selama ini, tanpa sadar, orang-orang yang bermain media sosial telah kecanduan untuk melakukan like atau menerimanya, berkomentar, mengikuti tren atau isu yang viral, dan menyebarkannya. "Karena sistem pembelajaran berbasis penghargaan di media sosial, pengguna membentuk kebiasaan berbagi informasi yang mendapat pengakuan dari orang lain," tulis para peneliti.
Kebiasaan Bemedia Sosial Picu Mudah Percaya Hoaks
Jadi bisa dikatakan, mengunggah, berbagi, dan berinteraksi dengan orang lain di media sosial dapat menjadi suatu kebiasaan.
Ini yang kemudian banyak orang mudah percaya dan menyebarkan berita palsu atau hoaks. Mereka tidak merespons dengan berpikir atau mempertimbangkan, tetapi langsung berkomentar atau menyebarkan karena sudah terbiasa.
"Kebiasaan pengguna media sosial adalah pendorong penyebaran misinformasi yang lebih besar dibandingkan atribut individu. Kami mengetahui dari penelitian sebelumnya bahwa sebagian orang tidak memproses informasi secara kritis, dan sebagian lainnya membentuk opini berdasarkan bias politik, yang juga memengaruhi kemampuan mereka untuk mengenali berita palsu secara online," ujar Gizem Ceylan, pemimpin penelitian di USC Marshall
Dalam penelitian yang melibatkan 2.476 pengguna aktif Facebook berusia antara 18 hingga 89 tahun ini, para peneliti menemukan bahwa kebiasaan pengguna media sosial meningkat dua kali lipat.
Bahkan dalam beberapa kasus, jumlah berita palsu yang mereka bagikan menjadi tiga kali lipat. Kebiasaan mereka dalam menyebarkan berita palsu lebih berpengaruh dibandingkan faktor lainnya, termasuk keyakinan politik dan kurangnya penalaran kritis.
"Memahami dinamika di balik penyebaran misinformasi adalah hal yang penting mengingat konsekuensi politik, kesehatan, dan sosialnya," tutur Ian A. Anderson, seorang ilmuwan perilaku dan kandidat doktor di USC Dornsife.
(wyn)
Lihat Juga :
tulis komentar anda