Kasus Intoleransi di Dunia Pendidikan, Pengamat: Komunikasi Mendikbud Buruk
Rabu, 27 Januari 2021 - 11:31 WIB
JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim yang usianya masih muda dapat memposisikan diri sebagai orang tua dari seluruh insan pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan saat ini dihadapkan sejumlah masalah akibat pandemi Covid-19 dan aturan yang bermuatan intoleransi .
Kasus teranyar yang harus diselesaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi nonmuslim. Namun, cara komunikasi dan permintaan penyelesaian masalah yang dilakukan Nadiem dianggap tidak tepat.
Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan jika tak menjaga jarak dengan insan pendidikan, Nadiem seharusnya tahu bahwa para pendidikan di SMKN 2 Padang hanya menjalankan instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-ii/2005.
“Ini bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik yang menjalankan instruksi pemimpinnya, yakni kepala daerah. Alih-alih melindungi para pendidik, mendikbud justru memilih untuk mendorong adanya sanksi berat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Indra menyebut komunikasi yang Nadiem Makarim sangat buruk. Indikatornya, bisa dilihat dari komunikasi dengan media massa. Para pemburu berita kesulitan dalam mendapatkan pernyataan Nadiem.
Bahkan, konferensi pers hampir tidak pernah diadakan. Semua sebatas taklimat media-informasi satu arah dan tidak ada dialog atau percakapan dengan para jurnalis.
“Jika dengan mereka yang tugasnya mencari berita saja sulit berkomunikasi, bisa dibayangkan komunikasi model apa yang terjalin dengan para guru, kepala sekolah, siswa, mahasiswa, dosen, dinas pendidikan, dan pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan,” tutur Indra.
Indra menjelaskan Nadiem seharusnya lebih membimbing dan mengayomi. Bukan mengintimidasi seperti dalam kasus SMKN 2 Padang.
“Beliau bisa menunjukkan posisinya sebagai pemimpin untuk meminta maaf kepada siswa dan orang tua yang merasa dipaksa menggunakan jilbab. Akan tetapi, dengan para pendidik di Padang harusnya ada dialog internal. Sementara itu, dalam rapat kabinet, kasus ini bisa diselesaikan bersama Mendagri, Menag, dan Menkopolhukam karena ini menyangkut instruksi kepala daerah,” paparnya.
Dalam kasus di SMKN 2 Padang, Nadiem seharusnya melakukan penyelidikan mendalam terlebih dahulu. Namun, Nadiem memilih menjadi hakim.
Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia itu menilai Nadiem hanya menanggapi kasus-kasu yang viral. Ada beberapa kasus lain yang luput, seperti dugaan arahan guru untuk memiliki Ketua OSIS di SMAN 58 Jakarta dan pelarangan mengenakan jilbab di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. “Semua itu berada di masa kepemimpinan Nadiem Makarim,” pungkasnya.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
Kasus teranyar yang harus diselesaikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah pemaksaan penggunaan jilbab kepada siswi nonmuslim. Namun, cara komunikasi dan permintaan penyelesaian masalah yang dilakukan Nadiem dianggap tidak tepat.
Pemerhati Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan jika tak menjaga jarak dengan insan pendidikan, Nadiem seharusnya tahu bahwa para pendidikan di SMKN 2 Padang hanya menjalankan instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-ii/2005.
“Ini bukan sepenuhnya kesalahan para pendidik yang menjalankan instruksi pemimpinnya, yakni kepala daerah. Alih-alih melindungi para pendidik, mendikbud justru memilih untuk mendorong adanya sanksi berat,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (27/1/2021).
Indra menyebut komunikasi yang Nadiem Makarim sangat buruk. Indikatornya, bisa dilihat dari komunikasi dengan media massa. Para pemburu berita kesulitan dalam mendapatkan pernyataan Nadiem.
Bahkan, konferensi pers hampir tidak pernah diadakan. Semua sebatas taklimat media-informasi satu arah dan tidak ada dialog atau percakapan dengan para jurnalis.
“Jika dengan mereka yang tugasnya mencari berita saja sulit berkomunikasi, bisa dibayangkan komunikasi model apa yang terjalin dengan para guru, kepala sekolah, siswa, mahasiswa, dosen, dinas pendidikan, dan pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan,” tutur Indra.
Indra menjelaskan Nadiem seharusnya lebih membimbing dan mengayomi. Bukan mengintimidasi seperti dalam kasus SMKN 2 Padang.
Baca Juga
“Beliau bisa menunjukkan posisinya sebagai pemimpin untuk meminta maaf kepada siswa dan orang tua yang merasa dipaksa menggunakan jilbab. Akan tetapi, dengan para pendidik di Padang harusnya ada dialog internal. Sementara itu, dalam rapat kabinet, kasus ini bisa diselesaikan bersama Mendagri, Menag, dan Menkopolhukam karena ini menyangkut instruksi kepala daerah,” paparnya.
Dalam kasus di SMKN 2 Padang, Nadiem seharusnya melakukan penyelidikan mendalam terlebih dahulu. Namun, Nadiem memilih menjadi hakim.
Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia itu menilai Nadiem hanya menanggapi kasus-kasu yang viral. Ada beberapa kasus lain yang luput, seperti dugaan arahan guru untuk memiliki Ketua OSIS di SMAN 58 Jakarta dan pelarangan mengenakan jilbab di SD Inpres 22 Wosi Manokwari. “Semua itu berada di masa kepemimpinan Nadiem Makarim,” pungkasnya.
Lihat Juga: Sekolah Harus Jadi Tempat Nyaman untuk Siswa, Bebas dari Intoleransi, Kekerasan, dan Bullying
(mpw)
tulis komentar anda