Mas Menteri, Ini Alasan Guru Honorer Ingin Jadi PNS Bukan PPPK
Kamis, 18 Maret 2021 - 12:12 WIB
JAKARTA - Nasib guru honorer di Indonesia masih terkatung-katung. Program 1 juta Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPK) belum optimal karena masih menyisakan banyak persoalan.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk 270 juta, jumlah tenaga pendidik Indonesia belum sebanding. Jumlah guru honorer Indonesia cukup banyak, sekitar 1,6 juta orang. Angka terlihat saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan guru penerima bantuan kuota.
Jumlah guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 1,5 juta pada 2019. Namun, angka itu diprediksi terus berkurang karena adanya guru yang pensiun. Pemerintah menawarkan 1 juta PPPK sebagai solusi bagi guru honorer, baik yang terbentur batasan usia 35 tahun maupun yang belum lolos tes calon PNS (CPNS).
Status PPPK akan membuat penghasilan guru honorer menjadi sama dengan PNS. Namun, tidak mendapatkan pensiun. Satu lagi yang membuat was-was, sewaktu-waktu mereka bisa diputus kontrak kerjanya. Sementara ini, PPPK menjadi jalan tengah untuk para guru yang sudah mengabdi puluhan tahun mengingat mereka terbentur Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana batas maksimal jadi PNS 35 tahun.
Berkarir menjadi guru honorer membutuhkan kesiapan mental dan kesabaran karena pendapatannya sangat kecil. Kadang jauh di bawah upah minimum daerah (UMR). Gaji mereka berkisar Rp500.000-1.500.000 per bulan. Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih mengatakan jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah guru honorer, tabungan masalah akan terus bertambah.
Mau bagaimanapun, para guru honorer membutuhkan kepastian status, kesejahteraan, dan jaminan sosial. “Dengan pemerintah mengalokasikan 1 juta PPPK dari guru honorer itu sudah menyelesaikan sebagian masalah. Sayang kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron. Akhirnya hanya terdaftar 513.000. Apalagi tidak merekrut tenaga pendidikan ini malah menjadi masalah baru,” ujarnya kepada SINDONews, Rabu (17/3/2021).
Meski ada slot 1 juta, sampai hari ini kuota itu belum terpenuhi. Padahal, banyak guru honorer yang mengharapkan menjadi PPPK. Hal terjadi diduga karena pemerintah daerah (pemda) masih mempertanyakan siapa yang membiayai gaji para guru PPPK.
“Karena pemda tidak percaya bahwa PPPK akan dibiayai APBN. Sebab, Permendagri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penggajian dan Tunjangan PPPK, di pasal 2 masih menyebut PPPK yang diangkat di daerah dibiayai oleh APBD. Bahkan, Kemenpan RB masih meminta daerah yang mengajukan PPPK kesanggupan APBD untuk membiayai ajuannya,” tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sejumlah stakeholder lainnya, termasuk para guru, Abdul Fikri, banyak menerima keluhan dan keinginan para guru. Menurutnya, para guru honorer itu bukan menjadi PPPK, tetapi CPNS karena PPPK tidak ada kejelasan masa depan. “Komisi X masih membahas di Panja Pengangkatan GTK honorer menjadi ASN,” pungkasnya.
Sebagai negara dengan jumlah penduduk 270 juta, jumlah tenaga pendidik Indonesia belum sebanding. Jumlah guru honorer Indonesia cukup banyak, sekitar 1,6 juta orang. Angka terlihat saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mengumumkan guru penerima bantuan kuota.
Jumlah guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) sekitar 1,5 juta pada 2019. Namun, angka itu diprediksi terus berkurang karena adanya guru yang pensiun. Pemerintah menawarkan 1 juta PPPK sebagai solusi bagi guru honorer, baik yang terbentur batasan usia 35 tahun maupun yang belum lolos tes calon PNS (CPNS).
Status PPPK akan membuat penghasilan guru honorer menjadi sama dengan PNS. Namun, tidak mendapatkan pensiun. Satu lagi yang membuat was-was, sewaktu-waktu mereka bisa diputus kontrak kerjanya. Sementara ini, PPPK menjadi jalan tengah untuk para guru yang sudah mengabdi puluhan tahun mengingat mereka terbentur Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dimana batas maksimal jadi PNS 35 tahun.
Berkarir menjadi guru honorer membutuhkan kesiapan mental dan kesabaran karena pendapatannya sangat kecil. Kadang jauh di bawah upah minimum daerah (UMR). Gaji mereka berkisar Rp500.000-1.500.000 per bulan. Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih mengatakan jika pemerintah tidak menyelesaikan masalah guru honorer, tabungan masalah akan terus bertambah.
Mau bagaimanapun, para guru honorer membutuhkan kepastian status, kesejahteraan, dan jaminan sosial. “Dengan pemerintah mengalokasikan 1 juta PPPK dari guru honorer itu sudah menyelesaikan sebagian masalah. Sayang kebijakan pusat dan daerah tidak sinkron. Akhirnya hanya terdaftar 513.000. Apalagi tidak merekrut tenaga pendidikan ini malah menjadi masalah baru,” ujarnya kepada SINDONews, Rabu (17/3/2021).
Meski ada slot 1 juta, sampai hari ini kuota itu belum terpenuhi. Padahal, banyak guru honorer yang mengharapkan menjadi PPPK. Hal terjadi diduga karena pemerintah daerah (pemda) masih mempertanyakan siapa yang membiayai gaji para guru PPPK.
“Karena pemda tidak percaya bahwa PPPK akan dibiayai APBN. Sebab, Permendagri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penggajian dan Tunjangan PPPK, di pasal 2 masih menyebut PPPK yang diangkat di daerah dibiayai oleh APBD. Bahkan, Kemenpan RB masih meminta daerah yang mengajukan PPPK kesanggupan APBD untuk membiayai ajuannya,” tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan sejumlah stakeholder lainnya, termasuk para guru, Abdul Fikri, banyak menerima keluhan dan keinginan para guru. Menurutnya, para guru honorer itu bukan menjadi PPPK, tetapi CPNS karena PPPK tidak ada kejelasan masa depan. “Komisi X masih membahas di Panja Pengangkatan GTK honorer menjadi ASN,” pungkasnya.
(mpw)
tulis komentar anda