Selama Pandemi, Perpusnas Salah Satu Lembaga yang Paling Siap Hadapi Covid-19
Selasa, 18 Mei 2021 - 16:09 WIB
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI Putra Nababan menegaskan dukungan positif pada momen perayaan ulang tahun ke-41 Perpusnas ini. Apalagi pada momen pandemi Covid-19 seperti saat ini, digitalisasi konten Perpustakaan yang digiatkan Perpustakaan sejak 2015 sangat dinikmati pada masa-sama sulit ini.
“Data BPS menunjukkan ada peningkatan literasi, meski sedikit, tapi ini cukup signifikan. Apalagi pada saat pemerintah memberikan bantuan pulsa pada murid, dosen dan guru, fasilitas layanan perpustakaan itu dinikmati,” kata Putra.
Maka itu sebagai seorang legislator, Putra meminta Perpusnas untuk terus mengusahakan gerakan literasi dengan maksimal, meski mengalami pembatasan dan pemotongan anggaran, yang sebagian besar dialifungsikan untuk penanggulangan bencana pandemi Covid-19.
Pada kesempatan ini pula, Kepala Perpusnas membantah anggapan bahwa orang Indonesia malas membaca. Faktanya tidak demikian. Ia menuturkan bahwa budaya literasi di Indonesia sudah jauh tinggi. Salah satu fakta yang bisa menjelaskan adalah bukti peninggalan sejarah pada abad ke-2 di Kerajaan Kutai Kartanegara, lalu berlanjut ke Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan peradaban yang tercipta pembangunan Candi Borobudur pada 724 Masehi.
Sedangkan, di belahan benua lain pada abad ke- 15, Christopher Colombus baru menemukan benua Amerika, lalu Abel Tasman menemukan Selandia Baru abad 16.
“Artinya, negara-negara Eropa selalu mengakui Indonesia sebagai negara tertua seribu tahun dari mereka. Bagaimana bisa kita katakan Indonesia mempunyai budaya baca yang rendah?,” tanya dia.
Maka, jika banyak penelitian menunjukkan bahwa budaya Indonesia rendah, itu hanya persoalan ketersebaran buku yang belum merata ke berbagai pelosok daerah. Bayangkan saja, satu buku ditunggu 90 oleh orang untuk dibaca.
“Indonesia hanya kekurangan buku. Merujuk ketentuan UNESCO, Indonesia masih kekurangan 500 juta buku yang harus didistribusi,” sambung Syarif.
Maka pada tahun ini, Perpusnas makin gencar meminta para pelaku di sisi hulu untuk menulis. Para pakar, dosen, guru bisa menulis buku sebanyak mungkin untuk disebarluaskan ke seluruh negeri. Hilir dari proses literasi ini adalah penciptaan barang dan jasa baru. Ia menekankan bahwa Indonesia harus menjadi negara produsen, bukan hanya pemakai.
Syarif Bando mengajak semua masyarakat yang mengalami imbas pandemi, dimana mereka kehilangan lapangan pekerjaan. Dari data yang dicatatnya, 30 juta warga Indonesia telah kehilangan pekerjaannya karena pandemi ini.
“Data BPS menunjukkan ada peningkatan literasi, meski sedikit, tapi ini cukup signifikan. Apalagi pada saat pemerintah memberikan bantuan pulsa pada murid, dosen dan guru, fasilitas layanan perpustakaan itu dinikmati,” kata Putra.
Maka itu sebagai seorang legislator, Putra meminta Perpusnas untuk terus mengusahakan gerakan literasi dengan maksimal, meski mengalami pembatasan dan pemotongan anggaran, yang sebagian besar dialifungsikan untuk penanggulangan bencana pandemi Covid-19.
Pada kesempatan ini pula, Kepala Perpusnas membantah anggapan bahwa orang Indonesia malas membaca. Faktanya tidak demikian. Ia menuturkan bahwa budaya literasi di Indonesia sudah jauh tinggi. Salah satu fakta yang bisa menjelaskan adalah bukti peninggalan sejarah pada abad ke-2 di Kerajaan Kutai Kartanegara, lalu berlanjut ke Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan peradaban yang tercipta pembangunan Candi Borobudur pada 724 Masehi.
Sedangkan, di belahan benua lain pada abad ke- 15, Christopher Colombus baru menemukan benua Amerika, lalu Abel Tasman menemukan Selandia Baru abad 16.
“Artinya, negara-negara Eropa selalu mengakui Indonesia sebagai negara tertua seribu tahun dari mereka. Bagaimana bisa kita katakan Indonesia mempunyai budaya baca yang rendah?,” tanya dia.
Maka, jika banyak penelitian menunjukkan bahwa budaya Indonesia rendah, itu hanya persoalan ketersebaran buku yang belum merata ke berbagai pelosok daerah. Bayangkan saja, satu buku ditunggu 90 oleh orang untuk dibaca.
“Indonesia hanya kekurangan buku. Merujuk ketentuan UNESCO, Indonesia masih kekurangan 500 juta buku yang harus didistribusi,” sambung Syarif.
Maka pada tahun ini, Perpusnas makin gencar meminta para pelaku di sisi hulu untuk menulis. Para pakar, dosen, guru bisa menulis buku sebanyak mungkin untuk disebarluaskan ke seluruh negeri. Hilir dari proses literasi ini adalah penciptaan barang dan jasa baru. Ia menekankan bahwa Indonesia harus menjadi negara produsen, bukan hanya pemakai.
Syarif Bando mengajak semua masyarakat yang mengalami imbas pandemi, dimana mereka kehilangan lapangan pekerjaan. Dari data yang dicatatnya, 30 juta warga Indonesia telah kehilangan pekerjaannya karena pandemi ini.
tulis komentar anda