IADI Tak Ingin Sekolah Dibuka saat Masih Pandemi Corona
Sabtu, 06 Juni 2020 - 10:55 WIB
Persiapan ini sangat penting meskipun belum ada kepastian sekolah dibuka. Baru Jawa Barat yang memiliki wacana untuk membuka sekolah pada Januari 2021. "Kita berdoa saja Januari sudah dapat dikendalikan pandemi ini. Sehingga, dari sekarang orang tua mampu mengenalkan tatanan hidup baru kepada anak. Lebih baik dibiasakan sedari dini, sekarang waktu yang tepat menurut saya menuju Januari 2021," ujar konsultan Respirologi Anak FKUI ini. (Baca juga: PKS Tolak Sekolah Dibuka saat Corona: Itu Sama Saja Pertaruhkan Nyawa)
Butuh waktu agar anak dapat mengikuti protokol pencegahan Covid-19 ini. Sehingga, jika ada lembaga pendidikan baik formal maupun non formal yang mengadakan pengajaran tatap muka saat ini, itu salah besar.
"Hak hidup anak pertama yang paling utama pendidikan belakangan. Terlebih anak belum dibiasakan menggunakan masker. Terlalu berisiko jika orang tua sekarang berani melepas anak belajar di luar rumah," tegasnya.
Asupan vitamin bagi anak yang diyakini mampu menangkal virus, menurut Nastiti sebetulnya tidak cukup. Bahkan, jika para orang tua memiliki persepsi tersebut, sangat berbahaya. Membuat orangtua abai untuk menjaga jarak anak-anak dengan orang lain.
"Vitamin hanya mendukung daya tahan tubuh anak. Tetapi sama sekali tidak bisa mencegah dari tertular virus," sambungnya.
Meskipun anjuran IDAI agar dilakukan pengajaran jarak jauh. Pantauan KORAN SINDO di lapangan, beberapa lembaga pendidikan non formal memilih untuk membuka sekolah mereka. Jauh dari zona merah membuat, kegiatan belajar mengajar akan digelar seperti biasa.
Salah satu orang tua yang siap mengikuti pembelajaran langsung itu adalah Rahma Hutami, 31, warga Depok. Dia akan kembali melanjutkan kursus membaca dan menghitung bagi putrinya yang berusia 6 tahun setelah memutuskan tidak melanjutkan ke TK. Rahma yakin dengan keadaan sekitar rumah dan tempat kursus yang tidak ada kasus positif Covid-19. (Baca juga: Pandemi Corona, Keselamatan Siswa Harus Diutamakan)
"Nanti berangkat harus pakai masker, mau masuk kelas cuci tangan. Saat belajar masker dilepas, tapi nanti anak saya akan tetap pakai masker ditambah face shield," jelas Rahma.
Dia menambahkan, tempat kursus tersebut juga menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dengan mewajibkan setiap anak membawa hand sanitizer. Jumlah murid dikelas dibagi dua, biasanya 12 anak sekarang hanya enam anak dan kelas yang dipisah. Waktu kursus pun tidak lama juga jam operasional hanya hingga pukul 12 siang. Orang tua murid juga tidak boleh menunggu agar tidak terjadi kerumunan.
Menanggapi temuan tersebut, Ciput Eka Purwanti, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menegaskan tetap merekomendasikan sekolah baik formal maupun non formal tidak dibuka. Meskipun Ketua Harian Gugus Tugas sudah menyampaikan ada 102 kota kabupaten/kota yang dianggap zona hijau dan boleh menerapkan kebijakan new normal. Namun, KemenPPA tetap meminta untuk sekolah menjadi kluster terakhir yang dibuka seperti awal penerapan social distancing. Sekolah menjadi kelompok yang diselamatkan terlebih dahulu.
Butuh waktu agar anak dapat mengikuti protokol pencegahan Covid-19 ini. Sehingga, jika ada lembaga pendidikan baik formal maupun non formal yang mengadakan pengajaran tatap muka saat ini, itu salah besar.
"Hak hidup anak pertama yang paling utama pendidikan belakangan. Terlebih anak belum dibiasakan menggunakan masker. Terlalu berisiko jika orang tua sekarang berani melepas anak belajar di luar rumah," tegasnya.
Asupan vitamin bagi anak yang diyakini mampu menangkal virus, menurut Nastiti sebetulnya tidak cukup. Bahkan, jika para orang tua memiliki persepsi tersebut, sangat berbahaya. Membuat orangtua abai untuk menjaga jarak anak-anak dengan orang lain.
"Vitamin hanya mendukung daya tahan tubuh anak. Tetapi sama sekali tidak bisa mencegah dari tertular virus," sambungnya.
Meskipun anjuran IDAI agar dilakukan pengajaran jarak jauh. Pantauan KORAN SINDO di lapangan, beberapa lembaga pendidikan non formal memilih untuk membuka sekolah mereka. Jauh dari zona merah membuat, kegiatan belajar mengajar akan digelar seperti biasa.
Salah satu orang tua yang siap mengikuti pembelajaran langsung itu adalah Rahma Hutami, 31, warga Depok. Dia akan kembali melanjutkan kursus membaca dan menghitung bagi putrinya yang berusia 6 tahun setelah memutuskan tidak melanjutkan ke TK. Rahma yakin dengan keadaan sekitar rumah dan tempat kursus yang tidak ada kasus positif Covid-19. (Baca juga: Pandemi Corona, Keselamatan Siswa Harus Diutamakan)
"Nanti berangkat harus pakai masker, mau masuk kelas cuci tangan. Saat belajar masker dilepas, tapi nanti anak saya akan tetap pakai masker ditambah face shield," jelas Rahma.
Dia menambahkan, tempat kursus tersebut juga menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dengan mewajibkan setiap anak membawa hand sanitizer. Jumlah murid dikelas dibagi dua, biasanya 12 anak sekarang hanya enam anak dan kelas yang dipisah. Waktu kursus pun tidak lama juga jam operasional hanya hingga pukul 12 siang. Orang tua murid juga tidak boleh menunggu agar tidak terjadi kerumunan.
Menanggapi temuan tersebut, Ciput Eka Purwanti, Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) menegaskan tetap merekomendasikan sekolah baik formal maupun non formal tidak dibuka. Meskipun Ketua Harian Gugus Tugas sudah menyampaikan ada 102 kota kabupaten/kota yang dianggap zona hijau dan boleh menerapkan kebijakan new normal. Namun, KemenPPA tetap meminta untuk sekolah menjadi kluster terakhir yang dibuka seperti awal penerapan social distancing. Sekolah menjadi kelompok yang diselamatkan terlebih dahulu.
tulis komentar anda