Hari Kebangkitan Nasional, Ini Profil dr. Soetomo Pendiri Boedi Oetomo
Jum'at, 20 Mei 2022 - 08:59 WIB
Hal tersebut bukan tanpa alasan. Melihat OSVIA adalah khusus mendidik para calon pegawai pemerintahan, Soetomo berpikir bahwa ia nantinya bisa diperlakukan tidak manusiawi oleh pemerintah Belanda.
Apalagi, dirinya mengetahui bahwa orang Belanda selalu menginginkan adanya penghormatan dan perlakuan lebih tinggi, meskipun jabatan seorang pribumi lebih tinggi darinya.
Baca juga: Mengenal Tugu Kebangkitan Nasional di Solo, Gumpalan Tanah Penjuru Nusantara Ditanam pada Pelataran Tugu
Soetomo resmi diterima sebagai siswa STOVIA pada 10 Januari 1903. Perjalanan Soetomo di STOVIA bukan berarti tidak menemui kendala. Di awal masa belajarnya, Soetomo terkenal sebagai anak pemalas yang sering membuat keributan.
Hal itu rupanya terjadi karena ia tinggal jauh dari orang tuanya yang membuatnya merasa sepi. Apalagi, STOVIA adalah sekolah dengan bentuk asrama. Mendengar anaknya tak baik dalam belajar, ayah Soetomo mengirimkan surat dan memotivasi sang putra.
“Ingat bangsamu. Bangsa yang dijajah Belanda. Mereka harus ditolong. Kalau bukan anak negeri yang menolong, siapa lagi? Kalau kamu berhasil menjadi dokter, kamu bisa berbuat banyak untuk banyak orang,” begitu kalimat yang diucapkan Raden Soewadji.
Setelah membaca surat itu, Soetomo berubah. Ia menjadi siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan cukup kritis. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku-buku referensi di perpustakaan.
Ketika ada kesempatan pulang, ia selalu berdiskusi dan mengemukakan gagasannya kepada ayahnya. Namun, hal itu terhenti saat Raden Soewadji tutup usia pada 28 Juli 1907.
Setahun setelahnya, dr. Wahidin Soediro Hoesodo, alumni STOVIA, mengajak Soetomo untuk membentuk sebuah wadah atau organisasi bagi para bumiputera. Organisasi ini akan bergerak dalam bidang sosial dan mengumpulkan dana untuk para generasi muda Nusantara yang tidak memiliki cukup uang dalam melanjutkan pendidikannya.
Apalagi, dirinya mengetahui bahwa orang Belanda selalu menginginkan adanya penghormatan dan perlakuan lebih tinggi, meskipun jabatan seorang pribumi lebih tinggi darinya.
Baca juga: Mengenal Tugu Kebangkitan Nasional di Solo, Gumpalan Tanah Penjuru Nusantara Ditanam pada Pelataran Tugu
Soetomo resmi diterima sebagai siswa STOVIA pada 10 Januari 1903. Perjalanan Soetomo di STOVIA bukan berarti tidak menemui kendala. Di awal masa belajarnya, Soetomo terkenal sebagai anak pemalas yang sering membuat keributan.
Hal itu rupanya terjadi karena ia tinggal jauh dari orang tuanya yang membuatnya merasa sepi. Apalagi, STOVIA adalah sekolah dengan bentuk asrama. Mendengar anaknya tak baik dalam belajar, ayah Soetomo mengirimkan surat dan memotivasi sang putra.
“Ingat bangsamu. Bangsa yang dijajah Belanda. Mereka harus ditolong. Kalau bukan anak negeri yang menolong, siapa lagi? Kalau kamu berhasil menjadi dokter, kamu bisa berbuat banyak untuk banyak orang,” begitu kalimat yang diucapkan Raden Soewadji.
Setelah membaca surat itu, Soetomo berubah. Ia menjadi siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan cukup kritis. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca buku-buku referensi di perpustakaan.
Ketika ada kesempatan pulang, ia selalu berdiskusi dan mengemukakan gagasannya kepada ayahnya. Namun, hal itu terhenti saat Raden Soewadji tutup usia pada 28 Juli 1907.
Setahun setelahnya, dr. Wahidin Soediro Hoesodo, alumni STOVIA, mengajak Soetomo untuk membentuk sebuah wadah atau organisasi bagi para bumiputera. Organisasi ini akan bergerak dalam bidang sosial dan mengumpulkan dana untuk para generasi muda Nusantara yang tidak memiliki cukup uang dalam melanjutkan pendidikannya.
tulis komentar anda