Kisah Perjuangan Dosen Achmad, 12 Kali Gagal Raih Beasiswa Luar Negeri
Rabu, 29 Juni 2022 - 08:03 WIB
Pria kelahiran tahun 1990 dan asli Madura ini memang tahan banting kalau urusan pendidikan.
Sejak SMP dan SMA Dayat memutuskan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep karena keterbatasan ekonomi. Dayat bahkan sering membantu ayahnya saat bertani. Kedua orang tuanya, sejak dulu menggeluti profesi ini.
Apakah ekonomi lantas menyurutkan langkahnya? Tentu saja tidak. Di panti asuhan justru ia bisa bersekolah secara gratis.
Meski, saat di panti asuhan ia mengatakan semua serba terbatas dan masa remajanya tak seperti remaja pada umumnya.
Dayat menjelaskan bahwa di panti ia tak bisa hidup mewah seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan hanya sekadar untuk membeli jajan saat waktu istirahat ia tak bisa, karena di panti tidak menyediakan uang saku.
“Bersyukur saya pernah ditempa di panti. Saya belajar disiplin, menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Belajar ilmu agama secara mendalam dan yang terpenting saya bisa bersekolah,” jelas Dayat.
Menurutnya pula yang diajarkan di panti sangat berpengaruh bagi hidupnya sehingga membentuk pribadi yang strunggle di tengah keterbatasan yang ia jalani.
Saat memutuskan kuliah di Surabaya, hidupnya tidak langsung mudah. Menurutnya, tahun itu universitas di Indonesia belum menyediakan beasiswa bidikmisi seperti saat ini. Tahun tersebut kampus ada beasiswa BBM dan PPM tapi Dayat selalu gagal.
“Dulu saat masuk kuliah dibantu panti. Tapi untuk biaya makan saya tetap sulit. Waktu itu harga sayur satu plastik 500-1.000 rupiah. Setiap hari saya makan seadanya,” terangnya.
Menurutnya, ia sering membeli tempe dan dimakan mentah untuk lauk. Ia sangat menyadari orang tua di desa tidak bisa memberinya materi secara penuh, sehingga ia harus punya usaha lebih untuk bertahan hidup di Surabaya.
Sejak SMP dan SMA Dayat memutuskan tinggal di Panti Asuhan Muhammadiyah Sumenep karena keterbatasan ekonomi. Dayat bahkan sering membantu ayahnya saat bertani. Kedua orang tuanya, sejak dulu menggeluti profesi ini.
Apakah ekonomi lantas menyurutkan langkahnya? Tentu saja tidak. Di panti asuhan justru ia bisa bersekolah secara gratis.
Meski, saat di panti asuhan ia mengatakan semua serba terbatas dan masa remajanya tak seperti remaja pada umumnya.
Dayat menjelaskan bahwa di panti ia tak bisa hidup mewah seperti anak-anak pada umumnya. Bahkan hanya sekadar untuk membeli jajan saat waktu istirahat ia tak bisa, karena di panti tidak menyediakan uang saku.
“Bersyukur saya pernah ditempa di panti. Saya belajar disiplin, menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Belajar ilmu agama secara mendalam dan yang terpenting saya bisa bersekolah,” jelas Dayat.
Menurutnya pula yang diajarkan di panti sangat berpengaruh bagi hidupnya sehingga membentuk pribadi yang strunggle di tengah keterbatasan yang ia jalani.
Saat memutuskan kuliah di Surabaya, hidupnya tidak langsung mudah. Menurutnya, tahun itu universitas di Indonesia belum menyediakan beasiswa bidikmisi seperti saat ini. Tahun tersebut kampus ada beasiswa BBM dan PPM tapi Dayat selalu gagal.
“Dulu saat masuk kuliah dibantu panti. Tapi untuk biaya makan saya tetap sulit. Waktu itu harga sayur satu plastik 500-1.000 rupiah. Setiap hari saya makan seadanya,” terangnya.
Menurutnya, ia sering membeli tempe dan dimakan mentah untuk lauk. Ia sangat menyadari orang tua di desa tidak bisa memberinya materi secara penuh, sehingga ia harus punya usaha lebih untuk bertahan hidup di Surabaya.
tulis komentar anda