UNEJ Kukuhkan Guru Besar Ilmu Perundang-Undangan Termuda se-Indonesia
Senin, 31 Oktober 2022 - 08:37 WIB
JAKARTA - Universitas Jember ( UNEJ ) menggelar pengukuhan dua guru besar baru. Salah satunya adalah guru besar Ilmu Perundang-Undangan termuda se-Indonesia.
Guru besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono, guru besar Ilmu Perundang-Undangan dari Fakultas Hukum. Kedua, Prof. Dr. drg. Sri Hernawati, guru besar Ilmu Penyakit Mulut di Fakultas Kedokteran Gigi.
Prof. Bayu Dwi Anggono, menjadi guru besar Ilmu Perundang-undangan termuda di Indonesia disampaikan langsung oleh Menkopolhukam, Prof. Moh. Mahfud MD yang turut menghadiri dan memberikan sekapur sirih dalam upacara pengukuhan. Untuk diketahui hingga saat ini hanya ada tiga guru besar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia.
Dalam orasi guru besarnya berjudul “Pembaharauan Penataan Peraturan Perundang-Undangan : Suatu Telaah Kelembagaan”, Prof. Bayu Dwi Anggono menekankan pentingnya Indonesia memiliki lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam proses perencanaan, menyusun, mengharmonisasikan hingga mengundangkan semua peraturan perundang-undangan mulai dari Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Presiden hingga rancangan Peraturan Daerah. Adanya lembaga ini diharapkan menghilangkan tumpang tindih aturan.
Baca juga: Sekolah Vokasi UNS Kembangkan Kosmetik dari Ubi Ungu
“Dari data peraturan.go.id hingga 18 Oktober 2022 ada 49.229 peraturan perundangan dengan rincian 1.715 Undang-Undang, 4.766 Peraturan Presiden, 17.796 Peraturan Menteri, 4.822 Peraturan Lembaga dan 17.898 Peraturan Daerah di Indonesia. Banyaknya peraturan perundang-undangan ini berpotensi tumpang tindih, inkonsisten, multi tafsir dan berakibat disharmoni. Bahkan menurut pakar Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida Indrati, ada kecenderungan pembentuk undang-undang berlaku boros dan membesar-besarkan persoalan,” jelas Prof. Bayu Dwi Anggono yang mendapatkan jabatan akademik Profesor di usia 39 Tahun, dikutip dari laman UNEJ, Senin (31/10/2022).
Sebenarnya pemerintah bukan tanpa ikhtiar dalam menanggulangi hal ini, semisal tampak dengan adanya Peraturan Presiden nomor 68 tahun 2021 yang mewajibkan kementerian maupun lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perlu mendapatkan persetujuan presiden. Kemenkumham pun sudah memperketat usulan peraturan perundang-undangan, memperkuat harmonisasi RUU termasuk di level Permen dan peraturan lembaga, evaluasi pemberlakukan perundang-undangan hingga teknik omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dirinya menganjurkan agar segera dibentuk lembaga yang berada di bawah presiden, seperti yang pernah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo berbentuk Lembaga Pusat Legislasi Nasional. Lembaga yang bersifat satu pintu sehingga presiden bisa melakukan kontrol untuk menghindari tumpang tindih aturan. Lembaga tersebut bisa berupa kementerian khusus atau lembaga non struktural uang berkedudukan di bawah presiden yang dipimpin oleh kepala setingkat menteri.
“Pilihannya bisa lembaga non struktural seperti The Office Information and Regulatory Affairs di Amerika Serikat, Cabinet Legislation Bureau di Jepang atau The Office of Best Practice Regulation di Australia. Sementara itu Korea Selatan lebih memilih membentuk kementerian khusus yakni Ministry of Government Legislation. Harapannya maka regulasi yang tumpang tindih, boros, over regulasi bahkan obesitas regulasi dapat dihindari,” imbuh pria asal Sidoarjo ini.
Guru besar yang dikukuhkan adalah Prof. Dr. Bayu Dwi Anggono, guru besar Ilmu Perundang-Undangan dari Fakultas Hukum. Kedua, Prof. Dr. drg. Sri Hernawati, guru besar Ilmu Penyakit Mulut di Fakultas Kedokteran Gigi.
Prof. Bayu Dwi Anggono, menjadi guru besar Ilmu Perundang-undangan termuda di Indonesia disampaikan langsung oleh Menkopolhukam, Prof. Moh. Mahfud MD yang turut menghadiri dan memberikan sekapur sirih dalam upacara pengukuhan. Untuk diketahui hingga saat ini hanya ada tiga guru besar Ilmu Perundang-undangan di Indonesia.
Dalam orasi guru besarnya berjudul “Pembaharauan Penataan Peraturan Perundang-Undangan : Suatu Telaah Kelembagaan”, Prof. Bayu Dwi Anggono menekankan pentingnya Indonesia memiliki lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam proses perencanaan, menyusun, mengharmonisasikan hingga mengundangkan semua peraturan perundang-undangan mulai dari Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Presiden hingga rancangan Peraturan Daerah. Adanya lembaga ini diharapkan menghilangkan tumpang tindih aturan.
Baca juga: Sekolah Vokasi UNS Kembangkan Kosmetik dari Ubi Ungu
“Dari data peraturan.go.id hingga 18 Oktober 2022 ada 49.229 peraturan perundangan dengan rincian 1.715 Undang-Undang, 4.766 Peraturan Presiden, 17.796 Peraturan Menteri, 4.822 Peraturan Lembaga dan 17.898 Peraturan Daerah di Indonesia. Banyaknya peraturan perundang-undangan ini berpotensi tumpang tindih, inkonsisten, multi tafsir dan berakibat disharmoni. Bahkan menurut pakar Ilmu Perundang-Undangan, Prof. Maria Farida Indrati, ada kecenderungan pembentuk undang-undang berlaku boros dan membesar-besarkan persoalan,” jelas Prof. Bayu Dwi Anggono yang mendapatkan jabatan akademik Profesor di usia 39 Tahun, dikutip dari laman UNEJ, Senin (31/10/2022).
Sebenarnya pemerintah bukan tanpa ikhtiar dalam menanggulangi hal ini, semisal tampak dengan adanya Peraturan Presiden nomor 68 tahun 2021 yang mewajibkan kementerian maupun lembaga yang mengajukan rancangan peraturan perlu mendapatkan persetujuan presiden. Kemenkumham pun sudah memperketat usulan peraturan perundang-undangan, memperkuat harmonisasi RUU termasuk di level Permen dan peraturan lembaga, evaluasi pemberlakukan perundang-undangan hingga teknik omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, dirinya menganjurkan agar segera dibentuk lembaga yang berada di bawah presiden, seperti yang pernah direncanakan oleh Presiden Joko Widodo berbentuk Lembaga Pusat Legislasi Nasional. Lembaga yang bersifat satu pintu sehingga presiden bisa melakukan kontrol untuk menghindari tumpang tindih aturan. Lembaga tersebut bisa berupa kementerian khusus atau lembaga non struktural uang berkedudukan di bawah presiden yang dipimpin oleh kepala setingkat menteri.
“Pilihannya bisa lembaga non struktural seperti The Office Information and Regulatory Affairs di Amerika Serikat, Cabinet Legislation Bureau di Jepang atau The Office of Best Practice Regulation di Australia. Sementara itu Korea Selatan lebih memilih membentuk kementerian khusus yakni Ministry of Government Legislation. Harapannya maka regulasi yang tumpang tindih, boros, over regulasi bahkan obesitas regulasi dapat dihindari,” imbuh pria asal Sidoarjo ini.
tulis komentar anda