Merajut Mimpi di Kampus Negeri
Sabtu, 11 Juli 2020 - 07:29 WIB
Di sisi lain meskipun dari sisi jumlah dan mutu perguruan tinggi swasta (PTS) terus meningkat dari tahun ke tahun, namun masih banyak tersemat stigma negatif. Dari sisi kualitas misalnya PTS kerap diragukan dari sisi akreditasi, konflik antarpengelola yayasan, hingga izin pengelolaan yang kerap kadaluwarsa.
Di sisi biaya, PTS kerap dipersepsikan berbiaya mahal. “Memang ada kampus swasta yang berbiaya murah dan juga diminati oleh masyarakat yang ingin memiliki gelar sarjana. Namun, apakah mutunya terjamin, ya nanti dulu,” kata Ubaid. (Baca juga: Rencana Pembelian 8 unit Osprey untuk Menjawab kebutuhan Alutsista)
Besarnya minat masuk PTN di satu sisi dan adanya stigma PTS mahal di sisi lain membuat banyak lulusan SMA memutuskan berhenti melanjutkan pendidikan setelah tidak diterima di PTN. Mereka memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja.
Kondisi ini membuat angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di jenjang PT relatif rendah di kisaran 30%. “Pemerintah harus menambah daya tampung masing-masing PTN di Indonesia. Selain itu, peningkatan dan pemerataan mutu PTN juga sangat urgen dilakukan,” tukas Ubaid.
Plt Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam mengatakan, pemerintah saat ini terus berusaha meningkatkan APK di pendidikan tinggi. Satu di antara alasannya adalah ekonomi ke depan akan lebih berbasis innovation driven economy. Maka itu, kebutuhan akan SDM level sarjana akan semakin besar.
“Saat ini angkatan kerja kita masih didominasi lulusan SD, SMP, SMA/K. Yang berpendidikan tinggi baru sekitar 12%, padahal di negara OECD sudah di atas 50% berpendidikan tinggi,” sebutnya.
Dia menjelaskan, langkah untuk meningkatkan APK ini mencakup dua aspek. Pertama adalah dari sisi kuantitas yang relatif mudah dicapai dengan menambah daya tampung sistem pendidikan tinggi kita, dan aspek ke dua adalah kualitas atau mutu. Menurut dia, meskipun APK tinggi kalau lulusan tidak bermutu, justru tidak memberi nilai tambah bagi pembangunan bangsa. “Aspek mutu ini tidak mudah dan memerlukan kerja keras semua pihak,” lanjutnya. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)
Nizam menjelaskan, satu di antara masalah akses adalah biaya mengikuti pendidikan tinggi. Masyarakat kurang mampu tentu akan kesulitan untuk masuk perguruan tinggi. Untuk ini, jelasnya, pemerintah hadir dengan beasiswa seperti KIP Kuliah untuk membantu masyarakat dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan tinggi.
“Jadi upaya pemerintah adalah memberi beasiswa untuk memampukan/enabling calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk bisa masuk ke perguruan tinggi dan meningkatkan kapasitas perguruan tinggi yang kualitasnya sudah bagus,” ungkapnya.
Selain itu, ujar guru besar UGM ini, sejak 1984 pemerintah sebetulnya sudah membuka akses seluas-luasnya melalui universitas terbuka (UT). Saat ini pemerintah sedang menyiapkan untuk memperluas akses pendidikan tinggi berkualitas dengan basis teknologi seperti Massive Open Online Courses (MOOCS).
Di sisi biaya, PTS kerap dipersepsikan berbiaya mahal. “Memang ada kampus swasta yang berbiaya murah dan juga diminati oleh masyarakat yang ingin memiliki gelar sarjana. Namun, apakah mutunya terjamin, ya nanti dulu,” kata Ubaid. (Baca juga: Rencana Pembelian 8 unit Osprey untuk Menjawab kebutuhan Alutsista)
Besarnya minat masuk PTN di satu sisi dan adanya stigma PTS mahal di sisi lain membuat banyak lulusan SMA memutuskan berhenti melanjutkan pendidikan setelah tidak diterima di PTN. Mereka memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja.
Kondisi ini membuat angka partisipasi kasar (APK) pendidikan di jenjang PT relatif rendah di kisaran 30%. “Pemerintah harus menambah daya tampung masing-masing PTN di Indonesia. Selain itu, peningkatan dan pemerataan mutu PTN juga sangat urgen dilakukan,” tukas Ubaid.
Plt Dirjen Dikti Kemendikbud Nizam mengatakan, pemerintah saat ini terus berusaha meningkatkan APK di pendidikan tinggi. Satu di antara alasannya adalah ekonomi ke depan akan lebih berbasis innovation driven economy. Maka itu, kebutuhan akan SDM level sarjana akan semakin besar.
“Saat ini angkatan kerja kita masih didominasi lulusan SD, SMP, SMA/K. Yang berpendidikan tinggi baru sekitar 12%, padahal di negara OECD sudah di atas 50% berpendidikan tinggi,” sebutnya.
Dia menjelaskan, langkah untuk meningkatkan APK ini mencakup dua aspek. Pertama adalah dari sisi kuantitas yang relatif mudah dicapai dengan menambah daya tampung sistem pendidikan tinggi kita, dan aspek ke dua adalah kualitas atau mutu. Menurut dia, meskipun APK tinggi kalau lulusan tidak bermutu, justru tidak memberi nilai tambah bagi pembangunan bangsa. “Aspek mutu ini tidak mudah dan memerlukan kerja keras semua pihak,” lanjutnya. (Baca juga: AS Puji Respons Indonesia Terkait Pengungsi Rohingya)
Nizam menjelaskan, satu di antara masalah akses adalah biaya mengikuti pendidikan tinggi. Masyarakat kurang mampu tentu akan kesulitan untuk masuk perguruan tinggi. Untuk ini, jelasnya, pemerintah hadir dengan beasiswa seperti KIP Kuliah untuk membantu masyarakat dari keluarga miskin mendapatkan pendidikan tinggi.
“Jadi upaya pemerintah adalah memberi beasiswa untuk memampukan/enabling calon mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk bisa masuk ke perguruan tinggi dan meningkatkan kapasitas perguruan tinggi yang kualitasnya sudah bagus,” ungkapnya.
Selain itu, ujar guru besar UGM ini, sejak 1984 pemerintah sebetulnya sudah membuka akses seluas-luasnya melalui universitas terbuka (UT). Saat ini pemerintah sedang menyiapkan untuk memperluas akses pendidikan tinggi berkualitas dengan basis teknologi seperti Massive Open Online Courses (MOOCS).
tulis komentar anda