Mahasiswa ITB Buka Sakola Kembara, Sekolah Gratis untuk Anak Desa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahasiswa ITB Rommy Adany Putra Afauly bersama rekannya membangun sekolah yang bisa diakses gratis oleh anak-anak di desa. Dinamakan Sakola Kembara, fasilitas pendidikan ini juga sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah karena kondisi pendidikan yang masih timpang.
Kata “sakola” berasal dari bahasa Sunda yang berarti “sekolah” sedangkan “kembara” berarti “pergi mengembara”. Rommy mengatakan, awal mula sekolah ini dari amanah saat dia menjabat sebagai Kepala Divisi Kolaborasi dan Implementasi di Gebrak Indonesia untuk mebangun Desa Cinta Asih.
Tanggung jawab itu dia emban diiringi dengan keresahan pribadi karena melihat ketimpangan kualitas pendidikan yang terjadi di desa dan kota. "Aku ingin membangun pendidikan di desa, bebas di mana saja," ujarnya, dikutip dari laman ITB, Sabtu (25/2/2023).
Perjuangannya mengembangkan Sakola Kembara patut dipuji. Mahasiswa jurusan Teknik Mesin ITB ini mengaku harus tinggal di desa selama 6 bulan di saat dia bersama teman-temannya harus mengikuti perkuliahan secara daring.
Baca juga: Beasiswa LPDP Tahap 1 2023 Ditutup Hari Ini, Sudah Daftar Belum?
Berjibaku dengan sinyal internet yang tak stabil dan listrik padam setiap malam harus ia lalui selama setengah tahun demi mengembangkan sekolah tersebut.
Inspirasi membangun pendidikan di desa termotivasi oleh keinginan orang tuanya untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Meskipun keduanya hanyalah lulusan SMP dan SMA. Sebagai keluarga perantauan dari Pulau Sumatra yang menetap di Jakarta, Rommi mengaku bukan hal yang mudah.
Realitas pendidikan yang terjadi di negeri ini menggugahnya untuk membantu mengurangi ketimpangan kualitas di kota dan desa. Hal ini dilakukannya sejak tahun pertamanya berkuliah, Rommy telah terjun mengajari anak-anak di pelosok Bandung.
Pengalaman ini menjadi bekal untuknya membuat konsep membangun desa bersama teman-temannya. Dengan mengoptimalkan dana yang diberikan oleh ITB, Rommi dan kawannya mulai melakukan roadshow ke lima sekolah di Desa Cinta Asih.
Mereka menawarkan kegiatan bimbel gratis untuk siswa SMA/MA kelas 12 sebagai persiapan masuk perguruan tinggi. Namun, hasil yang didapatkan kurang memuaskan. “Waktu itu yang daftar hanya berjumlah dua orang, itu pun siswa kelas 11,” katanya.
Baca juga: Perkuat Riset dan Inovasi ASEAN, UI-Victoria State Government Australia Berkolaborasi
Melalui diskusi panjang mereka menentukan langkah yang harus disiasati atas kondisi di lapangan. Kecamatan Cililin, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, yang berlokasi lebih dekat dengan perkotaan memberi mereka harapan.
Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membagi dua tim, yaitu satu tim untuk tetap berada di Desa Cinta Asih sedangkan tim lainnya pergi ke Kecamatan Cililin. Keputusan yang mereka ambil terbilang tepat karena Sakola Kembara berhasil mengirimkan 11 dari 16 siswa MAN Cililin ke perguruan tinggi negeri.
Rommi mengungkapkan kegiatan belajar mengajar di Sakola Kembara masih terus berlanjut. Kegiatan belajar mengajar dilakukan setiap Sabtu pagi hingga Minggu siang. Relawan yang bersedia mengajar berasal dari berbagai kampus yaitu dari ITB, IPB University, Universitas Pendidikan Indonesia, Unpad, dan STKIP Siliwangi.
Selain itu, terdapat beberapa relawan non mahasiswa yang tergabung dalam tim pengajar. Tak hanya kegiatan belajar mengajar, Sakola Kembara mengadakan kegiatan bimbingan yang tidak hanya berfokus pada urusan akademik.
“Kami memposisikan diri sebagai fasilitator atau kakaknya. Kami bukan guru, tetapi kakak yang hadir untuk menemani mereka karena itu yang dibutuhkan. Untuk urusan belajar itu kuncinya ada di mereka,” tuturnya.
Selain itu, tim pengajar dari Sakola Kembara terkadang berkunjung ke orang tua siswa untuk meminta doa restu agar cita-cita para siswa tercapai. Rommi dan tim bersyukur karena mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan material, maupun dukungan moril.
Menurut Rommi, Sakola Kembara menjadi wujud kritik ke pemerintah yang menyatakan adanya ketimpangan pendidikan di Tanah Air. “Selama Sakola Kembara masih ada berarti kualitas pendidikan masih belum baik.” Tuturnya.
Ia berharap Sakola Kembara bisa menjadi penggerak pihak-pihak di luar sana yang juga ingin memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan. Rommi memiliki cita-cita besar untuk mendirikan sekolah dengan kurikulum internasional untuk anak-anak di desa secara gratis.
Kata “sakola” berasal dari bahasa Sunda yang berarti “sekolah” sedangkan “kembara” berarti “pergi mengembara”. Rommy mengatakan, awal mula sekolah ini dari amanah saat dia menjabat sebagai Kepala Divisi Kolaborasi dan Implementasi di Gebrak Indonesia untuk mebangun Desa Cinta Asih.
Tanggung jawab itu dia emban diiringi dengan keresahan pribadi karena melihat ketimpangan kualitas pendidikan yang terjadi di desa dan kota. "Aku ingin membangun pendidikan di desa, bebas di mana saja," ujarnya, dikutip dari laman ITB, Sabtu (25/2/2023).
Perjuangannya mengembangkan Sakola Kembara patut dipuji. Mahasiswa jurusan Teknik Mesin ITB ini mengaku harus tinggal di desa selama 6 bulan di saat dia bersama teman-temannya harus mengikuti perkuliahan secara daring.
Baca juga: Beasiswa LPDP Tahap 1 2023 Ditutup Hari Ini, Sudah Daftar Belum?
Berjibaku dengan sinyal internet yang tak stabil dan listrik padam setiap malam harus ia lalui selama setengah tahun demi mengembangkan sekolah tersebut.
Inspirasi membangun pendidikan di desa termotivasi oleh keinginan orang tuanya untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Meskipun keduanya hanyalah lulusan SMP dan SMA. Sebagai keluarga perantauan dari Pulau Sumatra yang menetap di Jakarta, Rommi mengaku bukan hal yang mudah.
Realitas pendidikan yang terjadi di negeri ini menggugahnya untuk membantu mengurangi ketimpangan kualitas di kota dan desa. Hal ini dilakukannya sejak tahun pertamanya berkuliah, Rommy telah terjun mengajari anak-anak di pelosok Bandung.
Pengalaman ini menjadi bekal untuknya membuat konsep membangun desa bersama teman-temannya. Dengan mengoptimalkan dana yang diberikan oleh ITB, Rommi dan kawannya mulai melakukan roadshow ke lima sekolah di Desa Cinta Asih.
Mereka menawarkan kegiatan bimbel gratis untuk siswa SMA/MA kelas 12 sebagai persiapan masuk perguruan tinggi. Namun, hasil yang didapatkan kurang memuaskan. “Waktu itu yang daftar hanya berjumlah dua orang, itu pun siswa kelas 11,” katanya.
Baca juga: Perkuat Riset dan Inovasi ASEAN, UI-Victoria State Government Australia Berkolaborasi
Melalui diskusi panjang mereka menentukan langkah yang harus disiasati atas kondisi di lapangan. Kecamatan Cililin, sebuah kecamatan di Kabupaten Bandung Barat, yang berlokasi lebih dekat dengan perkotaan memberi mereka harapan.
Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk membagi dua tim, yaitu satu tim untuk tetap berada di Desa Cinta Asih sedangkan tim lainnya pergi ke Kecamatan Cililin. Keputusan yang mereka ambil terbilang tepat karena Sakola Kembara berhasil mengirimkan 11 dari 16 siswa MAN Cililin ke perguruan tinggi negeri.
Rommi mengungkapkan kegiatan belajar mengajar di Sakola Kembara masih terus berlanjut. Kegiatan belajar mengajar dilakukan setiap Sabtu pagi hingga Minggu siang. Relawan yang bersedia mengajar berasal dari berbagai kampus yaitu dari ITB, IPB University, Universitas Pendidikan Indonesia, Unpad, dan STKIP Siliwangi.
Selain itu, terdapat beberapa relawan non mahasiswa yang tergabung dalam tim pengajar. Tak hanya kegiatan belajar mengajar, Sakola Kembara mengadakan kegiatan bimbingan yang tidak hanya berfokus pada urusan akademik.
“Kami memposisikan diri sebagai fasilitator atau kakaknya. Kami bukan guru, tetapi kakak yang hadir untuk menemani mereka karena itu yang dibutuhkan. Untuk urusan belajar itu kuncinya ada di mereka,” tuturnya.
Selain itu, tim pengajar dari Sakola Kembara terkadang berkunjung ke orang tua siswa untuk meminta doa restu agar cita-cita para siswa tercapai. Rommi dan tim bersyukur karena mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan material, maupun dukungan moril.
Menurut Rommi, Sakola Kembara menjadi wujud kritik ke pemerintah yang menyatakan adanya ketimpangan pendidikan di Tanah Air. “Selama Sakola Kembara masih ada berarti kualitas pendidikan masih belum baik.” Tuturnya.
Ia berharap Sakola Kembara bisa menjadi penggerak pihak-pihak di luar sana yang juga ingin memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan. Rommi memiliki cita-cita besar untuk mendirikan sekolah dengan kurikulum internasional untuk anak-anak di desa secara gratis.
(nnz)