Dosen IPB Beberkan 7 Kebijakan Pertanian Masa Depan untuk Petani Muda Era Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dosen IPB University dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (Fema) Dr Lala M Kolopaking mengatakan, fokus pembangunan pertanian saat ini cenderung pada sektor jasa dan dagang.
Sementara, pembangunan manufakturnya gagal dilakukan. Imbasnya, penduduk usia produktif 15 sampai 64 tahun perlahan meninggalkan sektor pertanian .
“Kalau teknologinya berkembang, maka kompetensi dari mereka yang akan bergerak di pertanian harus ditingkatkan. Kita, IPB University, apa pun program studinya harus punya basic pertanian. Karena rumah kita adalah bagaimana di pertanian. Pertanian itu masa depan,” kata Dr Lala, Senin (27/2/2023).
Dalam kesempatan itu, Dr Lala memaparkan tujuh kebijakan pertanian masa depan untuk petani muda era digital. Pertama, perlu adanya implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Menurutnya, sejauh ini perlindungan dan pemberdayaan petani belum pernah ditindaklanjuti meskipun sudah ada undang-undangnya.
“Kemudian pendekatan produksi lebih utama dibanding kesejahteraan. Seperti kita tahu kesejahteraan petani sebenarnya akan meningkat apabila pendapatannya meningkat. Pendapatan petani meningkat kalau sektor hilirnya dikuasai petani. Selama itu tidak, maka pendapatannya akan seperti ini saja,” ungkapnya membeberkan poin kedua.
Ketiga soal digitalisasi pertanian untuk petani kreatif. Menurut Dr Lala, kreativitas perlu dikembangkan di tingkat petani. Oleh karenanya, perlu ada digitalisasi pertanian. Pengertian digitalisasi pertanian bukan hanya teknologi digital, tetapi bagaimana teknologi digital itu menguntungkan bagi petani.
“Ke depan kolaborasi menjadi penting dalam satuan kawasan yang basisnya sumberdaya agraria, bukan satuan desa,” tuturnya menjabarkan poin keempat.
Kelima, yang menjadi penting dalam sektor pertanian masa depan adalah transfer teknologi. Sementara ini teknologi yang berkembang di desa relatif stagnan, masih kalah dengan Vietnam.
Sementara, pembangunan manufakturnya gagal dilakukan. Imbasnya, penduduk usia produktif 15 sampai 64 tahun perlahan meninggalkan sektor pertanian .
“Kalau teknologinya berkembang, maka kompetensi dari mereka yang akan bergerak di pertanian harus ditingkatkan. Kita, IPB University, apa pun program studinya harus punya basic pertanian. Karena rumah kita adalah bagaimana di pertanian. Pertanian itu masa depan,” kata Dr Lala, Senin (27/2/2023).
Dalam kesempatan itu, Dr Lala memaparkan tujuh kebijakan pertanian masa depan untuk petani muda era digital. Pertama, perlu adanya implementasi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Menurutnya, sejauh ini perlindungan dan pemberdayaan petani belum pernah ditindaklanjuti meskipun sudah ada undang-undangnya.
“Kemudian pendekatan produksi lebih utama dibanding kesejahteraan. Seperti kita tahu kesejahteraan petani sebenarnya akan meningkat apabila pendapatannya meningkat. Pendapatan petani meningkat kalau sektor hilirnya dikuasai petani. Selama itu tidak, maka pendapatannya akan seperti ini saja,” ungkapnya membeberkan poin kedua.
Ketiga soal digitalisasi pertanian untuk petani kreatif. Menurut Dr Lala, kreativitas perlu dikembangkan di tingkat petani. Oleh karenanya, perlu ada digitalisasi pertanian. Pengertian digitalisasi pertanian bukan hanya teknologi digital, tetapi bagaimana teknologi digital itu menguntungkan bagi petani.
“Ke depan kolaborasi menjadi penting dalam satuan kawasan yang basisnya sumberdaya agraria, bukan satuan desa,” tuturnya menjabarkan poin keempat.
Kelima, yang menjadi penting dalam sektor pertanian masa depan adalah transfer teknologi. Sementara ini teknologi yang berkembang di desa relatif stagnan, masih kalah dengan Vietnam.