Gadis Asal Papua Ini Berhasil Jadi Dokter dengan Beasiswa ADik, Apa Kunci Suksesnya?

Kamis, 02 Maret 2023 - 16:09 WIB
loading...
Gadis Asal Papua Ini Berhasil Jadi Dokter dengan Beasiswa ADik, Apa Kunci Suksesnya?
Chorlance Adriana Demetou berfoto bersama kedua orang tuanya. Foto/Laman Puslapdik.
A A A
JAKARTA - Kemendikbudristek menyediakan beasiswa ADik untuk memberikan kesempatan bagi pelajar dari Papua dan Papua Barat, daerah khusus atau daerah 3 T, serta anak-anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) kuliah gratis . Chorlance Adriana Demetou, gadis asal Papua ini menjadi salah satu penerimanya.

Chorlance Adriana Demetou atau yang sering disapa Ria lahir pada tahun 1995 di Kabupaten Keerom, Papua. Dia merasa sangat bersyukur memperoleh beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADik) dan diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu yang menjadi Program Studi pilihan pertama saat daftar ADik 2013 lalu.

Dengan segala dinamika perkuliahan dan juga harus menyesuaikan diri dengan kehidupan di Bengkulu, Ria berhasil meraih gelar sarjananya pada 2019 dan pendidikan profesinya yang seharusnya terselesaikan pada 2021 namun karena ada pandemi Covid-19, tertunda hingga 2022. Pada gelaran wisuda Universitas Bengkulu periode ke-98 pada15 Juni 2022 lalu, dia terpilih sebagai Wisudawan Menginspirasi.

Baca juga: Cerita Mahasiswa ITB Raih IISMA ke Estonia, Wajib ke Kampus Meski Badai Salju

“Kunci sukses saya hingga selesai kuliah di Fakultas Kedokteran ini adalah punya tujuan hidup dan tidak cepat menyerah, mensyukuri apa yang didapat, termasuk saat menerima beasiswa ADik, sebab dari semua pendaftar, hanya sedikit yang diterima,” ungkapnya, dikutip dari laman Puslapdik Kemendikbudristek, Kamis (2/3/2023).

Saat ini Ria ditempatkan di Rumah Sakit Umum Daerah Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua Pegunungan. Sudah enam bulan Ria menjalani Program Internship Kedokteran. Program ini merupakan pendidikan profesi untuk pemahiran dan pemandirian dokter setelah lulus pendidikan dokter. Program ini dilakukan untuk penyelarasan hasil pendidikan dengan kondisi di lapangan.

Ria mengakui, menjadi dokter bukan cita-citanya walaupun saat daftar ADik, Fakultas Kedokteran menjadi pilihan pertama. Sementara pilihan keduanya adalah selain Program Studi Biologi dan Akuntansi sebagai pilihan ketiganya.

“Saat SMA, saya hanya ingin kuliah walaupun tertarik juga untuk menjadi dokter tapi tidak menjadi tujuan utama,” ungkapnya.

Dia bercerita, Program ADik diketahuinya melalui info yang diberikan sekolahnya saat SMA. Kemudian dia beserta teman-temannya pun mendaftarkan diri di Dinas Pendidikan Kabupaten Keerom. Mereka pun ikut tes di Jayapura. Meski mendaftar bersama, namun hanya Ria saja yang lolos seleksi.

Lolos ADik di Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu, Ria mengaku tidak mudah. Sebab Ria sadar bahwa dirinya bukan termasuk siswa terbaik di sekolahnya, begitu pula SMAnya di Keerom juga bukan sekolah favorit atau unggulan.

Ria mengungkapkan, di sekolahnya, siswa yang bolos itu hal yang biasa, bahkan saat ujian. Begitu juga dengan kemampuan bahasa Inggris, Ria mengaku, biasa-biasa saja. Dengan kesadaran itu, Ria memantapkan niat awalnya untuk kuliah, memperkuat tujuan hidupnya untuk bermanfaat bagi orang lain, dan pantang menyerah,

Baca juga: Perjuangan Dosen Muda UIN Jakarta Lolos Beasiswa Indonesia Bangkit S3 Luar Negeri

“Menjalani kuliah dan menjadi dokter tidak mudah, butuh semangat dan perjuangan dengan dukungan orang di sekitar kita, terutama orang tua. Saya juga bersyukur dan karena itu berterima kasih pada Kemendikbudristek yang mengelola ADik, guru-guru saya saat SMA, teman-teman kuliah dan para dosen di Universitas Bengkulu,” ucapnya.

Tantangan saat Berkuliah

Sebagai orang Papua yang kuliah di Bengkulu dengan perbedaan bahasa, budaya, bahkan fisik, Ria mengaku mengalami suka dan duka Ria mengisahkan, saat pertama kali datang ke Bengkulu, banyak yang bertanya, “Kalian di Papua apa makan nasi ngga sih, emang sejadul itukah pandangan terhadap Papua?” tanya Ria sambil tertawa.

Begitu juga ketika dia berjalan di sekitar Bengkulu, banyak masyarakat yang melihatinya, diketawain, dikira bule, dan berbagai pandangan lainnya yang menurut Ria sebagai hal yang wajar karena jarang sekali orang Papua yang hidup di Bengkulu.

Pandangan dan penilaian orang Bengkulu terhadap mahasiswa Papua itulah, dikatakan Ria, menjadi salah satu alasan beberapa mahasiswa Papua penerima ADik tak kuat menjalani perkuliahan hingga akhirnya kembali ke Papua.

Dari sembilan orang mahasiswa penerima ADik tahun 2013 seangkatan Ria, yang berhasil selesai kuliah hingga wisuda hanya empat orang. Hal yang sama juga dialami mahasiswa ADik angkatan sebelumnya, dari sembilan orang, hanya tiga orang yang berhasil diwisuda.

Padahal, lanjut Ria, pihak kampus, termasuk dosennya, sangat memperhatikan kebutuhan mahasiswa Papua penerima ADik. Bahkan dalam penilaian Ria, kepedulian para dosen dan pihak kampus terlalu baik.

“Para dosen selalu membantu kami saat punya masalah dalam kuliah dan selalu menawarkan bantuan bila kami punya permasalahan apapun. Istilah saya, kami, mahasiswa Papua merasa punya privilege, punya keistimewaan dibanding mahasiswa lain yang bukan Papua,” terangnya.

Untuk kendala bahasa, dikatakan Ria, hampir tidak ada masalah. “Kita juga di Papua kan sudah terbiasa bahasa Indonesia, hanya dialek melayunya saja yang kadang-kadang membuat cukup berpikir dulu untuk memahaminya, “katanya.

Soal pergaulan dengan sesama mahasiswa,dikatakan Ria, kuncinya adalah harus membuka diri, tidak menyendiri atau hanya berkumpul dengan sesama mahasiswa Papua.

Baca juga: Ikut IISMA di Michigan State University, Mahasiswa UB Raih IP 4

“Saya contohkan di Fakultas Kedokteran, kami sudah berbaur seperti keluarga, saling memperhatikan, saling membantu, yang penting kita mau membuka diri, kalau tertutup mereka juga tidak mau dekat dengan kita, “ tuturnya.

Kaget Saat Menjadi Dokter di Wamena

Ria yang memang orang Papua Asli mengaku kaget ketika ditempatkan di Wamena untuk menjalani internship Kedokteran, Ria juga terkaget-kaget dengan pola hidup masyarakat Wamena, terutama yang berada di pinggiran kota. Masyarakat Wamena, menurut Ria,masih jauh dari kesadaran akan menjaga kesehatan dan perawatan tubuh. Masih banyak warga Wamena yang asing dengan layanan kesehatan dari Puskesmas, apalagi rumah sakit.

“Kalau sakit, sebagian besar jarang ke Puskesmas apalagi rumah sakit, bahkan masih banyak wanita yang melahirkan hanya di rumah dengan beralaskan daun, “cerita Ria.

Ria dan beberapa dokter lain yang sudah bertugas sebelumnya selalu rajin mengedukasi soal kesehatan dan hasilnya, sedikit demi sedikit, kian banyak warga wamena yang memeriksakan kesehatannya ke Puskesmas.

Pengalaman yang cukup berkesan walaupun sedikit tegang, diceritakan Ria bila terjadi perang suku yang masih kerap terjadi di Wamena.

“Di rumah sakit, suku-suku yang bertikai harus dipisahkan perawatannya, jauh satu sama lain, kalau disatukan, bisa terus perang di rumah sakit, “kata Ria.

Pesan Ria untuk Lanjut Kuliah dan Jangan Takut Terkendala Biaya

Menjalani perkuliahan dan kini menjadi dokter di Wamena, Ria menilai, bukan hal mudah untuk menjadi seorang dokter, namun bukan berarti hal itu tak bisa dilakukan.

“Ketika kita punya niat yang tulus untuk mencapai impian, maka pasti ada jalan untuk meraihnya,” tuturnya.

Ria berpesan pada generasi muda Indonesia untuk terus melanjutkan kuliah dan jangan takut soal biaya. Dikatakan Ria, saat ini banyak beasiswa, termasuk dari Kemendikbudristek melalui program ADik, yang bisa membantu setiap anak di Indonesia untuk meraih cita-cita dan impiannya.

Selain itu, masih banyak lagi bantuan pendidikan,baik dari pemerintah maupun organisasi lain non pemerintah untuk siapapun yang ingin kuliah di dalam maupun di luar negeri.

“Saya dapat menempuh kuliah tidak bayar sepeser pun, ini bisa menginspirasi semua untuk menggapai impian,” tandasnya.
(nnz)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1664 seconds (0.1#10.140)