Pengamat UGM: Kebijakan Masuk Sekolah Lebih Pagi Berdampak Buruk bagi Siswa
loading...
A
A
A
Karena masuk sekolah lebih pagi, dikatakan Novi, anak-anak menjadi kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan keluarga. Demikian pula dari sisi keamanan, kebijakan ini masih kurang tepat.
“Kalau masuk lebih pagi kan masih gelap. Ini perlu dipikirkan keamanannya, terutama daerah-daerah pinggiran yang jalanannya masih sepi kan bahaya,” tuturnya.
Lebih lanjut Novi mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi untuk mendorong kedisiplinan siswa pada realitanya tidak tercapai. Dari pantauan yang dilakukan, ada sekitar 96,16 persen siswa yang terlambat di SMA N 1 kota Kupang pada Rabu (1/3/2023).
“Kebijakan tersebut juga kurang empatik dan komprehensif karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial siswa dan guru. Dari investigasi beberapa media tercatat tidak semua anak punya kendaraan sendiri sehingga harus menyewa lebih mahal ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa pergi bekerja karena harus mengantar anaknya dahulu. Kebijakan ini jadi kurang terlihat memanusiakan,” jelasnya.
Novi kembali menegaskan bahwa kebijakan yang ditetapkan pemprov NTT kurang tepat sebagai upaya untuk mendorong kedisplinan, etos belajar, produktivitas, dan prestasi pada siswa. Menurutnya, memajukan jam masuk sekolah bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Cara yang dirasa efektif untuk membentuk kultur belajar di sekolah adalah yang memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas.
“Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,”jelasnya.
Rasa keingin tahunan pada siswa ini dikatakan Novi perlu dibangun melalui dialog. Sebab, siswa masih berada dalam tahapan usia remaja yang sedang berkembang menemukan identitas diri.
Dengan sering melakukan dialog dengan guru diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri akan pentingnya disiplin maupun belajar. Sayangnya, sekolah di Indonesia saat ini masih minim dalam membangun dialog dan rasa ingin tahun pada siswa.
Novi menyebutkan upaya membangun kreativitas dan memfasilitasi pengembangan imajinasi pada siswa juga perlu diupayakan.
“Problem anak sekarang ini 79% itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran ditambah justu akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar sehingga bagaimana menciptakan kultur baru yang memperhatikan kodrat-kodrat manusia perlu dipikirkan,” katanya.
“Kalau masuk lebih pagi kan masih gelap. Ini perlu dipikirkan keamanannya, terutama daerah-daerah pinggiran yang jalanannya masih sepi kan bahaya,” tuturnya.
Lebih lanjut Novi mengatakan kebijakan masuk sekolah pagi untuk mendorong kedisiplinan siswa pada realitanya tidak tercapai. Dari pantauan yang dilakukan, ada sekitar 96,16 persen siswa yang terlambat di SMA N 1 kota Kupang pada Rabu (1/3/2023).
“Kebijakan tersebut juga kurang empatik dan komprehensif karena tidak mempertimbangkan kondisi sosial siswa dan guru. Dari investigasi beberapa media tercatat tidak semua anak punya kendaraan sendiri sehingga harus menyewa lebih mahal ada juga orang tua yang mengeluh tidak bisa pergi bekerja karena harus mengantar anaknya dahulu. Kebijakan ini jadi kurang terlihat memanusiakan,” jelasnya.
Novi kembali menegaskan bahwa kebijakan yang ditetapkan pemprov NTT kurang tepat sebagai upaya untuk mendorong kedisplinan, etos belajar, produktivitas, dan prestasi pada siswa. Menurutnya, memajukan jam masuk sekolah bukanlah satu-satunya cara untuk mewujudkan hal-hal tersebut. Cara yang dirasa efektif untuk membentuk kultur belajar di sekolah adalah yang memfasilitasi kodrat-kodrat manusia yang berupa rasa keingintahuan, dialog, serta kreativitas.
“Untuk meningkatkan displin, etos belajar, dan prestasi pada siswa remaja ini yang dibutuhkan adalah motivasi atau kesadaran dalam diri siswa. Kalau di sekolah dibangun rasa ingin tahu, belajar berdasar kasus, eksperimen, maka akan-anak akan dengan sadar dan punya motivasi belajar,”jelasnya.
Rasa keingin tahunan pada siswa ini dikatakan Novi perlu dibangun melalui dialog. Sebab, siswa masih berada dalam tahapan usia remaja yang sedang berkembang menemukan identitas diri.
Dengan sering melakukan dialog dengan guru diharapkan dapat memunculkan kesadaran diri akan pentingnya disiplin maupun belajar. Sayangnya, sekolah di Indonesia saat ini masih minim dalam membangun dialog dan rasa ingin tahun pada siswa.
Novi menyebutkan upaya membangun kreativitas dan memfasilitasi pengembangan imajinasi pada siswa juga perlu diupayakan.
“Problem anak sekarang ini 79% itu karena kebosanan. Kalau jam pelajaran ditambah justu akan menambah kebosanan anak yang akan menurunkan motivasi belajar sehingga bagaimana menciptakan kultur baru yang memperhatikan kodrat-kodrat manusia perlu dipikirkan,” katanya.