Banyak Rektor Mengadu, Nadiem Diminta Lebih Sering Turun ke Kampus-kampus
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Komisi X DPR , Abdul Fikri Faqih meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim untuk lebih sering turun gunung ke kampus-kampus. Hal ini agar mendapatkan informasi lebih detail terkait permasalahan terkini yang mendera sektor pendidikan tinggi (dikti) di Tanah Air.
“Terkadang permasalahan di lapangan tidak dapat tergambar dari data-data teknis yang disampaikan oleh pejabat di bawah, maka pemimpin perlu turun langsung untuk melihatnya,” kata Fikri kepada wartawan, Kamis (11/5/2023).
Hal ini disampaikan Fikri usai menerima banyak masukan dari para rektor Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Negeri (PTN), maupun pengamat pendidikan atas maraknya problem di kampus-kampus.
“Salah satunya masukan agar mas Menteri lebih sering turba, turun ke bawah mengunjungi kampus-kampus, baik negeri maupun swasta,” ujarnya.
Masalah pertama, Fikri menjelaskan, soal evaluasi pelaksanaan PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) di 11 Universitas. Beberapa pihak menilai, PTN-BH minim kontrol dari pemerintah, baik secara pengelolaan keuangan, maupun penerimaan mahasiswa.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan, bahwa aset PTN BH tetap milik negara, yang artinya tetap wajib diaudit dan ada pertanggungjawaban hukumnya dalam pelaporan keuangan.
“Kampus swasta (PTS) juga mengeluh, kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN-BH tidak terkontrol hingga puluhan ribu mahasiswa tiap tahunnya, sehingga berpotensi mematikan PTS-PTS yang ada,” imbuh Fikri.
Selain itu, kata dia, banyak PTS juga meminta perimbangan keuangan negara (APBN) dalam sektor Dikti di Tanah Air.
“Pemerintah harus hadir dan intervensi untuk keseimbangan anggaran Pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, terutama karena jumlah PTS lebih besar dari PTN (90 persen kampus adalah PTS),” tegas FIkri.
Selama ini, menurut Fikri, anggaran PTN mencapai 96%, sedangkan PTS dialokasikan hanya 4%. Padahal jumlah mahasiswa di PTS sangat besar, mencapai 72%, sedangkan di PTN hanya 28%.
"Meski sekarang ada skema competitive fund, dimana PTN & PTS punya peluang yang sama, namun masih jauh perbandingan alokasinya," imbuhnya.
Fikri juga mengungkap keluhan para akademisi soal beban administrasi yang harus dikerjakan para dosen pasca keluarnya Peraturan Menteri PAN-RB nomor 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional.
“Belum terintegrasinya sistem informasi yang digunakan untuk menginput kredit dan kinerja para dosen tersebut, serta mepetnya deadline yang diberikan, membuat kredit yang telah dikumpulkan para dosen terancam hangus,” ungkap Fikri.
Permasalahan ini, kata politikus PKS ini, menyebabkan lebih dari 4 ribu dosen menandatangani petisi di Change.org yang bertajuk: ‘Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karier Dosen!'.
Selain itu, dia menyoroti soal Rancangan Peraturan Menteri tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (RPM PM-PT) RPM PM-PT, yang mengatur berbagai hal sebagai turunan (peraturan pelaksanaan) dari Undang-Undang 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Meski demikian, dinamika pembahasan dan dialektika terkait RPM tersebut masih dalam proses sebelum disahkan.
“Kami (DPR) memang tidak ikut membahas di level peraturan menteri, namun mengingatkan agar penerbitan suatu regulasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan,” tandas mantan guru SMK ini.
“Terkadang permasalahan di lapangan tidak dapat tergambar dari data-data teknis yang disampaikan oleh pejabat di bawah, maka pemimpin perlu turun langsung untuk melihatnya,” kata Fikri kepada wartawan, Kamis (11/5/2023).
Baca Juga
Hal ini disampaikan Fikri usai menerima banyak masukan dari para rektor Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Perguruan Tinggi Negeri (PTN), maupun pengamat pendidikan atas maraknya problem di kampus-kampus.
“Salah satunya masukan agar mas Menteri lebih sering turba, turun ke bawah mengunjungi kampus-kampus, baik negeri maupun swasta,” ujarnya.
Masalah pertama, Fikri menjelaskan, soal evaluasi pelaksanaan PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) di 11 Universitas. Beberapa pihak menilai, PTN-BH minim kontrol dari pemerintah, baik secara pengelolaan keuangan, maupun penerimaan mahasiswa.
Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan, bahwa aset PTN BH tetap milik negara, yang artinya tetap wajib diaudit dan ada pertanggungjawaban hukumnya dalam pelaporan keuangan.
“Kampus swasta (PTS) juga mengeluh, kuota penerimaan mahasiswa baru di PTN-BH tidak terkontrol hingga puluhan ribu mahasiswa tiap tahunnya, sehingga berpotensi mematikan PTS-PTS yang ada,” imbuh Fikri.
Selain itu, kata dia, banyak PTS juga meminta perimbangan keuangan negara (APBN) dalam sektor Dikti di Tanah Air.
“Pemerintah harus hadir dan intervensi untuk keseimbangan anggaran Pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, terutama karena jumlah PTS lebih besar dari PTN (90 persen kampus adalah PTS),” tegas FIkri.
Selama ini, menurut Fikri, anggaran PTN mencapai 96%, sedangkan PTS dialokasikan hanya 4%. Padahal jumlah mahasiswa di PTS sangat besar, mencapai 72%, sedangkan di PTN hanya 28%.
"Meski sekarang ada skema competitive fund, dimana PTN & PTS punya peluang yang sama, namun masih jauh perbandingan alokasinya," imbuhnya.
Fikri juga mengungkap keluhan para akademisi soal beban administrasi yang harus dikerjakan para dosen pasca keluarnya Peraturan Menteri PAN-RB nomor 1 tahun 2023 tentang jabatan fungsional.
“Belum terintegrasinya sistem informasi yang digunakan untuk menginput kredit dan kinerja para dosen tersebut, serta mepetnya deadline yang diberikan, membuat kredit yang telah dikumpulkan para dosen terancam hangus,” ungkap Fikri.
Permasalahan ini, kata politikus PKS ini, menyebabkan lebih dari 4 ribu dosen menandatangani petisi di Change.org yang bertajuk: ‘Mendikbud, Batalkan Deadline 15 April yang Mematikan Karier Dosen!'.
Selain itu, dia menyoroti soal Rancangan Peraturan Menteri tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi (RPM PM-PT) RPM PM-PT, yang mengatur berbagai hal sebagai turunan (peraturan pelaksanaan) dari Undang-Undang 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Meski demikian, dinamika pembahasan dan dialektika terkait RPM tersebut masih dalam proses sebelum disahkan.
“Kami (DPR) memang tidak ikut membahas di level peraturan menteri, namun mengingatkan agar penerbitan suatu regulasi tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya, sesuai dengan ketentuan UU nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundangan,” tandas mantan guru SMK ini.
(mpw)