Kala Ketidakadilan Usik Dunia Pendidikan

Sabtu, 25 Juli 2020 - 07:35 WIB
loading...
Kala Ketidakadilan Usik...
Upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik di Indonesia melalui Program Organisasi Penggerak (POP) menghadapi jalan terjal. Sejumlah ormas besar menyatakan mundur dari program tersebut. Foto: dok/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Upaya meningkatkan kualitas tenaga pendidik di Indonesia melalui Program Organisasi Penggerak (POP) menghadapi jalan terjal. Sejumlah ormas besar menyatakan mundur dari program yang menjanjikan dana hibah hingga Rp567 miliar tersebut. Ketidakjelasan standar rekrutmen hingga masuknya yayasan sosial yang terafiliasi dengan perusahaan besar menjadi pemicunya.

Sesaat setelah dipastikan diangkat sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan (mendikbud), Nadiem Makarim menyampaikan alasan dirinya diangkat sebagai pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Secara tegas, bos Gojek tersebut menyampaikan bahwa dia tahu apa yang dibutuhkan lingkungan kerja di masa depan. Pendidikan di Indonesia harus mempunyai link and match dengan kebutuhan dunia kerja tersebut. Nadiem pun bertekad untuk menyambungkan institusi pendidikan dengan kebutuhan di luar institusi pendidikan.

"Alasan kenapa mungkin saya terpilih, satu saya lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan kita, itu yang pertama. Dan kebutuhan lingkungan pekerjaan di masa depan sangat berbeda. Itu link and match, itu visi Presiden. Saya akan mencoba menyambung apa yang akan dilakukan di institusi pendidikan dan apa yang dibutuhkan di luar institusi pendidikan," kata Nadiem kepada wartawan di Istana, Rabu (23/10/2019). (Baca: Masa Pandemi, Guru Ini Rela Datangi Murid untuk Belajar)

Banyak kalangan kaget atas keputusan berani Presiden Jokowi memilih Nadiem . Selain masih berusia belia, 35 tahun saat itu, alumni Harvard University itu tidak mempunyai rekam jejak di dunia pendidikan. Dia hanya dikenal sebagai founder Gojek, sebuah aplikasi ojek daring yang berhasil memberdayakan jutaan sopir Gojek di Tanah Air.

Namun, kekagetan sebagian kalangan diimpit dengan euforia publik atas munculnya sosok milenial di kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Apalagi tak lama setelah itu, Nadiem dengan gagah meluncurkan Program Merdeka Belajar yang menjadi arah baru kebijakan pendidikan di Indonesia. Penghapusan Ujian Nasional, penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Pelaksanaan USBN diganti asesmen, dan pola Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi akan dibuat lebih fleksibel.

Sambutan publik atas peluncuran Program Merdeka Belajar begitu luar biasa. Ekspektasi akan ada perubahan di sistem pendidikan nasional membubung tinggi. Apalagi Nadiem dengan cerdas menegaskan bahwa guru akan menjadi kunci utama keberhasilan Merdeka Belajar. "Semua itu awalnya dari guru, dari kapabilitas, kesejahteraan guru hal terpenting," katanya. (Baca juga: DPR sambut Positif Kebijakan Cuti Tahunan Dosen dan Guru)

Untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan guru ini, Nadiem melansir dua program unggulan yakni Program Guru Penggerak dan Program Organisasi Penggerak. Program Guru Penggerak bertujuan meningkatkan kompetensi guru dan kepala sekolah melalu berbagai metode pelatihan.

Diharapkan, para guru dan kepala sekolah yang mengikuti program ini mampu menciptakan ekosistem pendidikan yang berdaya dan meningkatkan hasil belajar murid. Untuk melatih para peserta program Guru Penggerak, tahun ini, Kemendikbud akan merekrut 280 fasilitator dan 560 pendamping. Peran fasilitator dan pendamping akan menjadi kunci dalam memastikan dampak baik dan keberlangsungan program Guru Penggerak.

Program Organisasi Penggerak Pendidikan

Selain program guru penggerak, Kemendikbud juga meluncurkan Program Organisasi Penggerak. Semangatnya program ini sama dengan program Guru Penggerak. Hanya, jika program guru penggerak mendorong individu menjadi fasilitator dan pendamping para guru dalam peningkatan kapasitas, POP berupaya melibatkan organisasi masyarakat untuk berpartisipasi.

Tak tanggung-tanggung, Kemendikbud menyediakan anggaran senilai Rp595 miliar untuk membiayai program ini. Nantinya ormas-ormas yang lolos POP akan bertanggung jawab mengadakan pelatihan bagi para tenaga pendidik dan kepala sekolah dalam upaya meningkatkan kapasitas mereka. Untuk menelisik ormas yang masuk POP, Kemendikbud menggandeng Smeru Institute. Nantinya ormas-ormas yang masuk POP dibagi dalam tiga klaster. Gajah, Macan, dan Kijang. Masing-masing klaster akan menerima besaran hibah dan tanggung jawab pelatihan yang berbeda. (Baca juga: Kian Panas, FBI Tangkap 3 Tentara China yang Menyamar Jadi Peneliti di AS)

Bagi organisasi penggerak yang masuk klaster Gajah akan mendapatkan dana maksimal Rp20 miliar/tahun/program dan bertanggung jawab untuk mengadakan pelatihan di lebih 100 sekolah. Klaster Macan akan menerima anggaran maksimal Rp5 miliar/tahun/program dan bertanggung jawab untuk mengadakan pelatihan di 21-100 sekolah. Klaster Kijang akan menerima anggaran maksimal Rp1 miliar/tahun/program untuk mengadakan pelatihan di 5-20 PAUD/SD/SMP. Dari hasil proses seleksi maka diputuskan bahwa ada 183 proposal dari 156 organisasi kemasyarakatan yang dinilai memenuhi kriteria.

Setelah melalui keseluruhan proses evaluasi yang sesuai prosedur dan aturan yang berlaku, 183 proposal dari 156 organisasi kemasyarakatan dinyatakan memenuhi kriteria untuk melaksanakan program peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan dengan menggunakan dana bantuan pemerintah,” terang perwakilan tim evaluasi proposal Smeru, Akhmadi.

Yang mengejutkan adalah lolosnya Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation sebagai organisasi kemasyarakatan dalam POP. Tanoto Foundation lolos dalam klaster Gajah dengan dua program, yakni pelatihan guru SD dan pelatihan guru SMP, sedangkan Sampoerna Foundation lolos dalam dua klaster yakni Gajah dan Macan. Di klaster Gajah, Sampoerna mendapat program melatih guru SMP, sedangkan di klaster Macan mendapat program melatih guru SD. (Baca juga: Viral, Mimpi Bocah SD Ini Ingin Punya HP untuk Sekolah Daring Akhirnya Terwujud)

Di klaster Gajah ini juga muncul Dompet Dhuafa yang lolos untuk dua program. Dompet Dhuafa juga muncul di klaster Macan dengan satu program. “Organisasi-organisasi yang terpilih sudah memiliki rekam jejak yang baik dalam implementasi program pelatihan guru dan kepala sekolah,” ujar Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Iwan Syahril.

NU dan Muhammadiyah Mundur

Menyikapi hasil seleksi POP, dua ormas besar Persyarikatan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengambil sikap serupa. Melalui majelis pendidikan dasar dan menengah, PP Muhammadiyah dan LP Ma’arif Nahdlatul Ulama sama-sama menyatakan mundur dari POP, meskipun dua entitas ini dinyatakan lolos di Klaster Gajah.

“Setelah kami ikuti proses seleksi dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud RI dan mempertimbangkan beberapa hal, maka dengan ini kami menyatakan mundur dari keikutsertaan program tersebut," ujar Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Kasiyarno.

PP Muhammadiyah mempunyai jejak panjang dalam pengabdian sosial, termasuk dalam bidang pendidikan. PP Muhammadiyah mempunyai infrastruktur dan jaringan pendidikan yang relatif lengkap di seluruh Indonesia. Rekam jejak ini ternyata tidak begitu diperhitungkan sehingga slot program yang digarap organisasi ini hanya satu. Muhammadiyah bahkan kalah dengan Dompet Dhuafa yang mendapat setidaknya tiga slot program.

“Persyarikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak,” kata Kasiyarno. (Baca juga: Telkomsel Bareng Kemendikbud Sediakan Kuota Data Tenrjangkau untuk Mahasiswa)

PP Muhammadiyah juga menyoroti ketidakjelasan kriteria pemilihan organisasi yang lolos POP di mana ada yayasan milik keluarga konglomerat yang mendapatkan slot baik di Gajah maupun Macan. Bahkan, mereka mendapatkan jatah slot untuk lebih dari satu program.

“Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas, karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tukasnya.

Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi, melihat kejanggalan dalam program tersebut sedari awal. NU baru diminta membuat proposal untuk masuk dalam program ini dua hari sebelum penutupan. NU tidak menyanggupi permintaan ini. Namun, Kementerian tetap meminta proposal dimasukkan secara daring dan persyaratan lain menyusul setelah tanggal akhir pendaftaran. “Proposal kami ditolak,” kata Arifin.

Mengikuti sikap NU dan Muhammadiyah ini, PGRI juga menyatakan mundur dari POP. Padahal, PGRI dinyatakan mendapatkan dua slot klaster Gajah. “PGRI memandang bahwa dana yang telah dialokasikan untuk POP akan sangat bermanfaat apabila digunakan untuk membantu siswa, guru/honorer, penyediaan infrastruktur di daerah khususnya di daerah 3T, dalam menunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi,” kata Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi. (Baca juga: Jangankan Mama Muda, Setan pun Terbukti Suka Doyan TikTok)

DPR Minta Ditunda

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda berharap kebijakan program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk ditata ulang. Menurut Huda, Kemendikbud harus mencari skema terbaik agar program Organisasi Penggerak tidak menimbulkan polemik. Pasalnya, organisasi besar dalam dunia pendidikan seperti PGRI, Lembaga Pendidikan Ma'arif PBNU, dan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah memutuskan mundur dari program ini.

"Saya kira tidak terlambat, dan tidak ada kata terlambat, sementara di-hold dulu pelaksanaan ini. Terkait dengan POP ini, di-hold dan carikan skema yang terbaik," kata Syaiful.

Peneliti dan pegiat filantropi Hamid Abidin menilai kekisruhan POP salah satunya dipicu ketidakpahaman pemerintah dan publik terhadap dunia filantropi. Seharusnya sejak awal ada klasterisasi organisasi masyarakat sipil yang ikut program tersebut. (Lihat videonya: Usai Memesan Minuman, Seorang Pengunjung Warkop Tiba-tiba Meninggal)

Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation menurutnya merupakan lembaga berbasis family foundation (yayasan keluarga). Di luar negeri, yayasan keluarga ini biasanya didirikan sebagai cara satu keluarga konglomerat untuk menyisihkan harta maupun keuntungan perusahaan untuk kegiatan sosial. Ini berbeda dengan CSR yang wajib didirikan oleh perusahaan untuk mengatasi dampak negatif suatu perusahaan bagi lingkungan, ekosistem, hingga nasib buruh.

“Tanoto dan Sampoerna Foundation sebenarnya sah-sah saja bila ingin berpartisipasi dalam upaya kegiatan pendidikan. Hanya, mereka seharusnya menjadi donor, bukan menerima anggaran dari APBN. Kecuali jika ada skema matching grand di mana dua yayasan keluarga tersebut tetap mengeluarkan dana, lalu ditambah dengan APBN untuk memperluas jangkauan program. Dan, itu sah dilakukan,” katanya. (Nono Suwarno)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1706 seconds (0.1#10.140)