Kisah Arifin, Anak Korban Tsunami Aceh yang Tembus Prodi HI UGM dan Ingin Jadi Diplomat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kisah inspiratif kali ini datang dari Muhammad Arifin Ilham. Arifin merupakan anak dari korban tsunami Aceh 2004 lalu yang diterimamenjadi mahasiswaHubungan Internasional UGM melalui jalur SNBP 2023.
Muhammad Arifin Ilham yang berusia 18 tahun ini lahir dan tumbuh di keluarga sederhana. Arifin merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mukhlis (46) dan Afrianti (40) asal Desa Lamgeu eu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Ayahnya menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga yang menjalankan usaha toko kelontong untuk kebutuhan sehari-hari. Dari usahanya itu, pendapatan yang dihasilkan setiap bulannya rata-rata Rp1-1,5 juta untuk menghidupi keluarga besarnya.
Sejak kecil Arifin tumbuh dalam lingkungan sederhana. Ia lahir tiga bulan setelah tsunami meluluhlantahkan Banda Aceh, termasuk kampung halamannya.
Dari lahir hingga usia dua tahun ia terpaksa tinggal di tenda barak pengungsian karena rumah orang tuanya rata dengan tanah.
Dalam kondisi mengungsi, Arifin terlahir prematur di usia kandungan tujuh bulan dengan berat hanya 1,3 Kg.
“Saat terjadi tsunami Desember 2004 lalu, ibu masih kondisi hamil saya usia kandungan lima bulan. Alhamdulillah, bapak ibu berhasil selamat dari tsunami, lari ke bukit kala itu,” katanya, dikutip dari laman UGM, Selasa (11/7/2023).
Baca juga: Masih 15 Tahun, Dyah Ayu Ardhana Reswari Tembus Fakultas Kedokteran UI
Dua tahun tsunami berlalu, ia dan keluarganya kembali ke kampung halaman menempati rumah bantuan dari pemerintah. Sejak saat itu sang ayah memulai kembali usaha toko kelontong warisan keluarga di Desa Keudebing yang berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya.
Meski hidup dengan kondisi kondisi pas-pasan, namun tak pernah sedikitpun Arifin berkecil hati. Apalagi berputus asa dalam menggapai mimpi.
Muhammad Arifin Ilham yang berusia 18 tahun ini lahir dan tumbuh di keluarga sederhana. Arifin merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mukhlis (46) dan Afrianti (40) asal Desa Lamgeu eu, Peukan Bada, Aceh Besar.
Lahir Prematur di Barak Pengungsian Tsunami Aceh
Arus tsunami memporak-porandakan kampung halamannya pada 2004 silam. Namun musibah itu tidak menggerus tekad Arifin untuk meraih pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi.Ayahnya menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga yang menjalankan usaha toko kelontong untuk kebutuhan sehari-hari. Dari usahanya itu, pendapatan yang dihasilkan setiap bulannya rata-rata Rp1-1,5 juta untuk menghidupi keluarga besarnya.
Sejak kecil Arifin tumbuh dalam lingkungan sederhana. Ia lahir tiga bulan setelah tsunami meluluhlantahkan Banda Aceh, termasuk kampung halamannya.
Dari lahir hingga usia dua tahun ia terpaksa tinggal di tenda barak pengungsian karena rumah orang tuanya rata dengan tanah.
Dalam kondisi mengungsi, Arifin terlahir prematur di usia kandungan tujuh bulan dengan berat hanya 1,3 Kg.
“Saat terjadi tsunami Desember 2004 lalu, ibu masih kondisi hamil saya usia kandungan lima bulan. Alhamdulillah, bapak ibu berhasil selamat dari tsunami, lari ke bukit kala itu,” katanya, dikutip dari laman UGM, Selasa (11/7/2023).
Baca juga: Masih 15 Tahun, Dyah Ayu Ardhana Reswari Tembus Fakultas Kedokteran UI
Dua tahun tsunami berlalu, ia dan keluarganya kembali ke kampung halaman menempati rumah bantuan dari pemerintah. Sejak saat itu sang ayah memulai kembali usaha toko kelontong warisan keluarga di Desa Keudebing yang berjarak sekitar 4 kilometer dari rumahnya.
Meski hidup dengan kondisi kondisi pas-pasan, namun tak pernah sedikitpun Arifin berkecil hati. Apalagi berputus asa dalam menggapai mimpi.