Sosialisasi Strategi Manajemen Invensi Hasil Riset Kampus Perlu Ditingkatkan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perguruan tinggi banyak melahirkan riset dan penelitian. Namun dinilai masih lemah pada valuasi hingga komersialisasi ke industri yang membutuhkan teknologi yang sesuai.
Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia Prof Didiek Hadjar Goenadi mengatakan, inventor di perguruan tinggi banyak melakukan riset. Namun masih terkendala belum bisa langsung dikomersialisasikan meski sudah mendapat paten.
"Mengapa demikian, setelah dilihat tingkat kesiapan teknologinya belum memenuhi harapan oleh industri. Paling tidak, jangan terlalu banyak resiko yang akan dihadapi industri ketika teknologi itu diterapkan dalam komersialisasi," katanya pada Harlah AII, dalam keterangan resmi, Kamis (20/7/2023).
Baca juga: Pendaftaran Kelas Internasional Unpad Masih Dibuka hingga 25 Juli 2023, Yuk Daftar
Pihaknya pun terus menggalakkan pemahaman akan komersialisasi invensi ini agar tantangan sindrom lembah kematian (death valley syndrome) yang dihadapi para inventor tidak semakin masif.
"Kami pun tak bisa bekerja sendiri namun membutuhkan mitra lainnya seperti institusi penghasil invensi, lembaga penyedia dana riset dan perakitan teknologi termasuk inventor mandiri," jelasnya.
Dia melanjutkan, beberapa kerja sama yang telah terjalin dengan perguruan tinggi antara lain adalah dengan Politeknik Negeri Malang (Polinema), MoU dengan universitas Djuanda Bogor, dan Universitas Pancasila untuk memvaluasi invensi dan komersialisasinya.
Baca juga: Lolos SIMAK UI 2023? Segini Besaran Biaya Kuliah untuk Semua Jurusan S1, D3, dan D4
"Selain itu, sosialisasi tentang strategi manajemen invensi hasil riset terus dilaksanakan oleh AII di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai wilayah Indonesia," ungkapnya.
Selain itu, AII juga menjalin kerja sama dengan Ditjen Kekayaan Intelektual, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek.
Pada prinsipnya, ujar Didiek, adanya validasi teknologi itu digunakan untuk menyesuaikan pada perbesaran skala untuk kegiatan produksi. Riset untuk melihat resiko ini diperlukan untuk memperkecil ke taraf komersialisasi.
Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia Prof Didiek Hadjar Goenadi mengatakan, inventor di perguruan tinggi banyak melakukan riset. Namun masih terkendala belum bisa langsung dikomersialisasikan meski sudah mendapat paten.
"Mengapa demikian, setelah dilihat tingkat kesiapan teknologinya belum memenuhi harapan oleh industri. Paling tidak, jangan terlalu banyak resiko yang akan dihadapi industri ketika teknologi itu diterapkan dalam komersialisasi," katanya pada Harlah AII, dalam keterangan resmi, Kamis (20/7/2023).
Baca juga: Pendaftaran Kelas Internasional Unpad Masih Dibuka hingga 25 Juli 2023, Yuk Daftar
Pihaknya pun terus menggalakkan pemahaman akan komersialisasi invensi ini agar tantangan sindrom lembah kematian (death valley syndrome) yang dihadapi para inventor tidak semakin masif.
"Kami pun tak bisa bekerja sendiri namun membutuhkan mitra lainnya seperti institusi penghasil invensi, lembaga penyedia dana riset dan perakitan teknologi termasuk inventor mandiri," jelasnya.
Dia melanjutkan, beberapa kerja sama yang telah terjalin dengan perguruan tinggi antara lain adalah dengan Politeknik Negeri Malang (Polinema), MoU dengan universitas Djuanda Bogor, dan Universitas Pancasila untuk memvaluasi invensi dan komersialisasinya.
Baca juga: Lolos SIMAK UI 2023? Segini Besaran Biaya Kuliah untuk Semua Jurusan S1, D3, dan D4
"Selain itu, sosialisasi tentang strategi manajemen invensi hasil riset terus dilaksanakan oleh AII di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai wilayah Indonesia," ungkapnya.
Selain itu, AII juga menjalin kerja sama dengan Ditjen Kekayaan Intelektual, Badan Riset dan Inovasi Nasional, dan Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek.
Pada prinsipnya, ujar Didiek, adanya validasi teknologi itu digunakan untuk menyesuaikan pada perbesaran skala untuk kegiatan produksi. Riset untuk melihat resiko ini diperlukan untuk memperkecil ke taraf komersialisasi.