Pakar Ilmu Komunikasi Apresiasi Respons Cepat Pemerintah Terkait TikTok Shop

Jum'at, 17 November 2023 - 13:28 WIB
loading...
Pakar Ilmu Komunikasi Apresiasi Respons Cepat Pemerintah Terkait TikTok Shop
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Dr. Diana Anggraeni (kiri) dan Dosen Ilmu Komunikasi UPH Johanes Herlijanto (tengah) dalam diskusi di Jakarta, Kamis (16/11/2023) Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Respons cepat pemerintah menjawab keresahan masyarakat akibat aktivitas perdagangan melalui aplikasi TikTok Shop patut diapresiasi. Meski demikian, sebenarnya kehadiran TikTok Shop memiliki dua sisi yakni ancaman sekaligus peluang.

Poin-poin tersebut mengemuka dalam diskusi bertema “Ada Apa Dengan TikTok? Ekspansi E-Commerce Tiongkok dan Respons Indonesia,” di Jakarta, Kamis 16 November 2023. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut sejumlah akademis yakni Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Jakarta, Dr. Diana Anggraeni, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, Tb. Fiki C. Satari, S.E., M.M., dan Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto.

Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, Diana Anggraeni menilai bahwa kehadiran TikTok shop sebenarnya menghadirkan peluang dan ancaman sekaligus.

Pada satu sisi, TikTik shop menghasilkan peningkatan visibilitas dan pemasaran pelaku usaha, memungkinkan terciptanya kolaborasi antara platform dan kreator konten, membuka kemungkinan bagi diversifikasi saluran penjualan, meningkatkan kemungkina bagi pemanfaatan fitur-fitur kreatif, meningkatkan kesadaran merek, dan membuka peluang untuk inovasi dan kreativitas.



Namun Diana juga mengakui adanya permasalahan yang perlu disoroti dalam kaitan dengan praktik jual beli melalui TikTok shop. Salah staunya adalah terkait belum adanya aturan pemerintah mengenai perdagangan menggunakan platform media sosial.

“Peraturan Menteri Perdagangan no 50 tahun 2020 hanya mengatur perdagangan online secara umum, belum mengatur perdagangan dengan platform media sosial,” tutur Diana dalam keterangan resminya, Jumat (17/11/2023).

Selain itu, Diana juga menyayangkan dominasi produk impor dalam perdagangan melalui platform media sosial di atas. “90-95 persen produk yang dijual adalah produk impor,” papar Diana

Diana juga merujuk pada keresahan masyarakat terhadap kecurigaan adanya predatory pricing yang dilakukan oleh platform TikTok. Menurutnya, hal ini, bila benar terjadi, akan memunculkan persaingan yang tidak kompetitif.

Selain isu di atas, Diana juga mempertanyakan mengenai keamanan dan perlindungan data konsumen, peraturan pajak dan regulasi iklan yang masih perlu dibenahi, serta kesiapan sumber daya manusia menghadapi era perdagangan melalui platform media sosial seperti TikTok Shop ini.

Sementara itu Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) yang juga Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menyatakan dirinya mengapresiasi respons cepat pemerintah menyikapi keresahan masyarakat terkait TikTok Shop. Berdasarkan penelusuran di media, kata Johanes, keresahan masyarakat terhadap praktik perdagangan melalui aplikasi TikTok pada umumnya terkait dengan beberapa hal.

Pertama adalah keresahan yang berkaitan dengan kekhawatiran terhadap maraknya produk-produk import yang membanjiri pasar Indonesia, melalui aplikasi jual beli platform digital, termasuk melalui aplikasi TikTok shop.

Keresahan kedua terkait erat dengan kecurigaan adanya praktik predatory pricing, yaitu penerapan diskon yang tak masuk akal bagi barang-barang yang dicurigai merupakan produk impor.

Hal berikutnya yang menjadi sumber keresahan dalam masyarakat adalah kekhawatiran TikTok meluncurkan Project S di Indonesia. Sebagai informasi, istilah Project S ini mengacu pada upaya TikTok untuk mengumpulkan data mengenai jenis produk yang paling dicari di sebuah masyarakat, misalnya di Indonesia.

Berdasarkan data tersebut, TikTok lalu menyiapkan produk dari rekanan mereka di China, atau bahkan hasil produksi TikTok sendiri, untuk dipasarkan di dalam masyarakat yang datanya telah mereka koleksi itu.

Tentu saja, harga yang mereka tawarkan akan jauh lebih murah di banding yang beredar dalam masyarakat tersebut, sehingga secara logis masyarakat akan memilih untuk membeli produk-produk itu.

“Bila pembanjiran barang impor di atas, apalagi dibarengi dengan pelaksanaan project S di atas di Indonesia dibiarkan terjadi maka UMKM di Indonesia, atau bahkan industri lokal yang lebih besar sekali pun, akan terkena dampak negatif,” tutur Johanes.

Oleh karenanya, lanjut Johanes, meski TikTok telah membantah bahwa perusahaan ini melakukan hal-hal yang dituduhkan di atas, bantahan tersebut belum berhasil menyurutkan keresahan-keresahan yang berkembang dalam masyarakat.

Apalagi, menurut Johanes, terdapat beberapa keresahan pula dalam masyarakat Indonesia mengenai praktik shadow banning yang dicurigai telah dilakukan TikTok kepada beberapa pemilik UMKM sehingga produk mereka tidak muncul dalam pencarian, dan digantikan dengan produk-produk yang dipasarkan oleh TikTok sendiri.

Dalam keterangannya, Johanes juga merujuk pada kekhawatiran di luar hal-hal yang terkait erat dengan dunia bisnis. Menurutnya, beberapa pemerhati juga mengkhawatirkan hal-hal lain yang juga berpotensi membawa resiko bagi Indonesia, seperti penguasaan big data yang terkait data demografi di Indonesia, yang tentu berada di tangan pengelola aplikasi tersebut.

Sebagai pemerhati China, Johanes mengkhawatirkan kemungkinan TikTok dipergunakan untuk menyebarluaskan cerita-cerita yang sejalan dengan yang diinginkan pemerintah China untuk disampaikan kepada masyarakat di luar China, termasuk Indonesia.

“Tanda-tanda seperti itu telah terlihat dari berbagai video yang seringkali melakukan glorifikasi terhadap RRC dan perkembangan di negeri itu yang disebarluaskan melalui aplikasi media sosial TikTok, meski tentu saja video-video semacam itu tidak hanya beredar di TikTok, tetapi juga marak pada berbagai platform media sosial lain yang memungkinkan penggunanya berbagi konten video,” pungkasnya.

Oleh karena itu, dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu menyampaikan apresiasinya bila pemerintah tidak hanya memandang kasus TikTok sebatas masalah perizinan, seperti yang belakangan ini didengungkan.

Menurutnya, masalah perizinan tentu akan dengan mudah diselesaikan dengan permohonan izin sesegera mungkin. “Namun sebelum memberikan izin, penting bagi pemerintah untuk memperhatikan kepentingan UMKM dalam bidang bisnis, yang kemungkinan akan terganggu dengan beroperasi kembalinya kegiatan jual beli melalui aplikasi TikTok, bila mereka telah menyelesaikan perizinan,” tuturnya.

Pandangan senada diungkapkan Tb. Fiki C. Satari, Staf Khusus Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia. Fiki menyatakan bahwa meski nilai ekonomi digital Indonesia pada tahun 2027 diproyeksikan tumbuh mencapai Rp. 3,216 triliun, yang merupakan 2,5 kali lebih besar dibandingkan tahun 2027, masih terdapat berbagai tantangan yang harus dihadapi Indonesia.

Tantangan itu antara lain adalah, pertama, 90% produk yang dijual melalui perdagangan elektronik (e-commerce) adalah barang impor. Kedua adalah kecenderungan reseller produk impor ilegal. Ketiga adalah adanya predatory pricing yang disebabkan lapangan bermain tak setara karena produk ilegal tidak bayar pajak, tidak penuhi persyaratan izin dan sertifikasi dan sebab-sebab lainnya.

Kemudian tantangan keempat adalah adanya praktik monopoli data oleh platform asing. Menurutnya, tantangan-tantangan di atas menyebabkan matinya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang bergerak pada bidang produksi dan yang berdagang di pasar luar jaringan (luring), anjloknya serapan tenaga kerja, dan kekalahan platform perdagangan daring lokal dalam bersaing.

Ia juga menerangkan bahwa kondisi e-commerce di Indonesia saat ini adalah adanya penguasaan hulu dan hilir oleh platform asal China yang semakin menguasai dan mendominasi pasar, yang mengakibatkan makin tergerusnya platform lokal. Selain melalui TikTok, Satari mengatakan bahwa produk produk asal China itu masuk melalui berbagai platform asal China lain
(wyn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1427 seconds (0.1#10.140)