Pengguna Media Sosial yang Bijak Terhindar dari Penyebaran Berita Palsu
loading...
A
A
A
PROBOLINGGO - Netizen yang bijak, kreatif, dan inovatif selalu mawas diri dalam menggunakan internet. Dia selalu menggunakan akal budinya dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan sesama netizen yang lain.
Ketua Program Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung Mei Santi menyampaikan itu dalam diskusi literasi digital untuk segmen pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Rabu (9/10/2024).
”Netizen yang bijak selalu mawas diri dalam beraktivitas, berinteraksi, dan berjejaring antarnetizen, utamanya dalam melakukan posting, chatting, dan sharing,” ujar Mei dalam diskusi yang ”chip in” di acara istighosah dan doa bersama itu.
Mei mengatakan, pengguna media sosial yang bijak tidak akan terlibat dalam penyebaran berita palsu (hoaks), mampu menjaga privasi dan melindungi data pribadi, serta berhati-hati membuat postingan di media sosial.
”Dengan kata lain, (netizen bijak) mampu berpikir kritis dan analitis, menjaga privasi dan keamanan, serta berkomunikasi dengan sopan dan bertanggung jawab,” jelas Mei.
Dalam diskusi bertajuk ”Menjadi Pengguna Media Sosial yang Bijak, Kreatif dan Inovatif”, Mei Santi juga mengajak pengguna digital untuk berkreasi mengembangkan konten asli kreasi bikinan sendiri, partisipasi dalam komunitas online, dan memanfaatkan media sosial untuk berkembang.
”Misalnya, menulis, memotret, atau membuat video yang menarik dan informatif. Berbagi ide dan bakat dengan orang lain, serta menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri secara kreatif,” rinci Mei Santi.
Mei Santi menambahkan, menjadi pengguna media sosial yang inovatif juga harus mampu memanfaatkan teknologi media sosial terbaru, mencoba platform dan fitur media sosial baru, bereksperimen dengan format konten yang berbeda, serta tetap update dengan tren media sosial terbaru. ”Misalnya ChatGPT, Gemini, Copilot, Gamma, Remaker, dan lainnya,” tegas Mei.
Dari sudut pandang berbeda, Ketua Umum PB PMII Shofiyulloh Cokro mengingatkan pentingnya pemahaman cyberbullying atau perundungan maya sebagai tantangan yang dihadapi oleh generasi muda. Cyberbullying dapat menimbulkan menurunnya rasa percaya diri, kesehatan mental, isolasi sosial, dan trauma hingga ingin bunuh diri.
”Ketergantungan terhadap media digital yang meningkat, berpotensi menurunkan tingkat kesehatan mental (mental health). Data Chilfund 2022 menunjukkan hampir 60 persen anak dan remaja mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Sedangkan 50 persen anak dan remaja mengaku pernah menjadi pelaku cyberbullying,” jelas Shofiyulloh Cokro.
Sementara, menurut Direktur LKP Mitra Ilmu Tulungagung Khotibul Umam, kreativitas dan inovasi di media sosial dibutuhkan untuk menciptakan konten positif yang mendidik, inspiratif, dan mampu mendorong kolaborasi antara pengguna.
”Gunakan media sosial untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat dan menginspirasi perubahan positif. Kampanyekan isu sosial, lingkungan dan kesehatan, serta ajak teman dan pengikut untuk berpartisipasi dalam kegiatan positif,” ujar Khotibul Umam.
Lihat Juga: Australia Nekad Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Langkah Positif atau Salah Arah?
Ketua Program Studi Ekonomi Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah (STAIM) Tulungagung Mei Santi menyampaikan itu dalam diskusi literasi digital untuk segmen pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo, Rabu (9/10/2024).
”Netizen yang bijak selalu mawas diri dalam beraktivitas, berinteraksi, dan berjejaring antarnetizen, utamanya dalam melakukan posting, chatting, dan sharing,” ujar Mei dalam diskusi yang ”chip in” di acara istighosah dan doa bersama itu.
Mei mengatakan, pengguna media sosial yang bijak tidak akan terlibat dalam penyebaran berita palsu (hoaks), mampu menjaga privasi dan melindungi data pribadi, serta berhati-hati membuat postingan di media sosial.
”Dengan kata lain, (netizen bijak) mampu berpikir kritis dan analitis, menjaga privasi dan keamanan, serta berkomunikasi dengan sopan dan bertanggung jawab,” jelas Mei.
Dalam diskusi bertajuk ”Menjadi Pengguna Media Sosial yang Bijak, Kreatif dan Inovatif”, Mei Santi juga mengajak pengguna digital untuk berkreasi mengembangkan konten asli kreasi bikinan sendiri, partisipasi dalam komunitas online, dan memanfaatkan media sosial untuk berkembang.
”Misalnya, menulis, memotret, atau membuat video yang menarik dan informatif. Berbagi ide dan bakat dengan orang lain, serta menggunakan media sosial untuk mengekspresikan diri secara kreatif,” rinci Mei Santi.
Mei Santi menambahkan, menjadi pengguna media sosial yang inovatif juga harus mampu memanfaatkan teknologi media sosial terbaru, mencoba platform dan fitur media sosial baru, bereksperimen dengan format konten yang berbeda, serta tetap update dengan tren media sosial terbaru. ”Misalnya ChatGPT, Gemini, Copilot, Gamma, Remaker, dan lainnya,” tegas Mei.
Dari sudut pandang berbeda, Ketua Umum PB PMII Shofiyulloh Cokro mengingatkan pentingnya pemahaman cyberbullying atau perundungan maya sebagai tantangan yang dihadapi oleh generasi muda. Cyberbullying dapat menimbulkan menurunnya rasa percaya diri, kesehatan mental, isolasi sosial, dan trauma hingga ingin bunuh diri.
”Ketergantungan terhadap media digital yang meningkat, berpotensi menurunkan tingkat kesehatan mental (mental health). Data Chilfund 2022 menunjukkan hampir 60 persen anak dan remaja mengaku pernah menjadi korban cyberbullying. Sedangkan 50 persen anak dan remaja mengaku pernah menjadi pelaku cyberbullying,” jelas Shofiyulloh Cokro.
Sementara, menurut Direktur LKP Mitra Ilmu Tulungagung Khotibul Umam, kreativitas dan inovasi di media sosial dibutuhkan untuk menciptakan konten positif yang mendidik, inspiratif, dan mampu mendorong kolaborasi antara pengguna.
”Gunakan media sosial untuk menyebarkan informasi yang bermanfaat dan menginspirasi perubahan positif. Kampanyekan isu sosial, lingkungan dan kesehatan, serta ajak teman dan pengikut untuk berpartisipasi dalam kegiatan positif,” ujar Khotibul Umam.
Lihat Juga: Australia Nekad Larang Media Sosial untuk Anak di Bawah 16 Tahun, Langkah Positif atau Salah Arah?
(wyn)