Cegah Generation Gap, Guru Perlu Miliki Pemahaman Lintas Generasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Berdasarkan hasil sensus 2020, penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa. Dari jumlah penduduk sebanyak itu, sebagian besar (27,94%) berasal dari generasi Z (Gen Z), yaitu generasi yang lahir antara tahun 1997-2012. Jumlah Gen Z lebih banyak daripada generasi Milenia l (kelahiran 1981-1996) yaitu sebanyak 25.87%.
Gen Z dikenal juga sebagai generasi “Zoomers”, merupakan sebutan untuk mereka yang sejak lahir sudah bersinggungan dengan materi digital. Mereka tumbuh di lingkungan modern dan cenderung memiliki keterampilan bawaan yang memadai dalam menanggapi media digital dan Internet.
Pengelompokan generasi yang dimulai dari generasi baby boomer hingga generasi Z, bahkan pada abad 22 memasuki generasi Alfa. Menciptakan kesenjangan usia yang begitu tajam mulai dari penampilan dan gaya hidup, persepsi, pengalaman, perilaku dan tentunya komunikasi. Kesenjangan inilah yang kemudian disebut dengan kesenjangan generasi atau generation gap.
Untuk mengatasi generation gap tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menyelenggarakan webinar dengan tema “Menjembatani Generation Gap Antara Guru dan Siswa Melalui Keterampilan Sosial yang Baik”, Sabtu, pekan lalu (18/11/ 2023). Menghadirkan dua narasumber yaitu, Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbudristek, Ana Susanti, serta Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rosalia,
Baca juga: Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional 2023, Tema dan Logonya
Webinar KGSB dihadiri oleh 200 guru dari berbagai jenjang pendidikan yang berasal dari seluruh Indonesia dan Timor Leste.
Ketua KGSB, Ardyles Faesilio yang akrab disapa Lio mengatakan bahwa kesenjangan generasi berpotensi memicu konflik antara guru dan murid. “Generation gap ini rawan akan konflik bila ditangani dengan kurang baik, termasuk perbedaan pemahaman antara guru dan murid. Kesenjangan generasi antara guru dan murid sering kali menjadi pembatas atau hambatan dalam pembelajaran.” ujarnya.
Kesenjangan pembelajaran sering terjadi di kelas antara guru dan murid. Umumnya, murid yang memiliki karakter menerima informasi dengan cepat, mereka juga sangat menyukai sesi paralel dan multi-tasking. Murid memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap proses belajar, pasalnya mereka memiliki akses informasi yang luas melalui berbagai platform dan cara.
Sedangkan di sisi lain, pada umumnya guru memiliki karakteristik proses belajar yang lebih lambat, step by step, satu pelajaran sekali waktu, belajar secara individu, serta kurang yakin bahwa murid-muridnya dapat belajar dengan maksimal saat mereka melakukan banyak hal dalam satu waktu.
Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rosalia, menyampaikan bahwa guru harus memberi waktu dan usaha lebih banyak untuk mengamati bagaimana Gen Z memadukan diri dan kecakapan digital dalam kegiatan sehari-hari seperti berinteraksi, belajar, dan menjalankan aktivitas.
Baca juga: Tunjangan Sertifikasi Guru Tahun 2023 Cair November, Ini Daerah yang Sudah Menerima
"Gen Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Hal ini membuat mereka terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses. Sebagai pendidik, kita harus bisa mengimbangi dan mengarahkan pada hal-hal yang positif,” jelas Nanda.
Gen Z dikenal juga sebagai generasi “Zoomers”, merupakan sebutan untuk mereka yang sejak lahir sudah bersinggungan dengan materi digital. Mereka tumbuh di lingkungan modern dan cenderung memiliki keterampilan bawaan yang memadai dalam menanggapi media digital dan Internet.
Pengelompokan generasi yang dimulai dari generasi baby boomer hingga generasi Z, bahkan pada abad 22 memasuki generasi Alfa. Menciptakan kesenjangan usia yang begitu tajam mulai dari penampilan dan gaya hidup, persepsi, pengalaman, perilaku dan tentunya komunikasi. Kesenjangan inilah yang kemudian disebut dengan kesenjangan generasi atau generation gap.
Untuk mengatasi generation gap tersebut, Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB) menyelenggarakan webinar dengan tema “Menjembatani Generation Gap Antara Guru dan Siswa Melalui Keterampilan Sosial yang Baik”, Sabtu, pekan lalu (18/11/ 2023). Menghadirkan dua narasumber yaitu, Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara Kemendikbudristek, Ana Susanti, serta Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rosalia,
Baca juga: Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional 2023, Tema dan Logonya
Webinar KGSB dihadiri oleh 200 guru dari berbagai jenjang pendidikan yang berasal dari seluruh Indonesia dan Timor Leste.
Ketua KGSB, Ardyles Faesilio yang akrab disapa Lio mengatakan bahwa kesenjangan generasi berpotensi memicu konflik antara guru dan murid. “Generation gap ini rawan akan konflik bila ditangani dengan kurang baik, termasuk perbedaan pemahaman antara guru dan murid. Kesenjangan generasi antara guru dan murid sering kali menjadi pembatas atau hambatan dalam pembelajaran.” ujarnya.
Kesenjangan pembelajaran sering terjadi di kelas antara guru dan murid. Umumnya, murid yang memiliki karakter menerima informasi dengan cepat, mereka juga sangat menyukai sesi paralel dan multi-tasking. Murid memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap proses belajar, pasalnya mereka memiliki akses informasi yang luas melalui berbagai platform dan cara.
Sedangkan di sisi lain, pada umumnya guru memiliki karakteristik proses belajar yang lebih lambat, step by step, satu pelajaran sekali waktu, belajar secara individu, serta kurang yakin bahwa murid-muridnya dapat belajar dengan maksimal saat mereka melakukan banyak hal dalam satu waktu.
Dosen dan Psikolog Klinis Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Nanda Rosalia, menyampaikan bahwa guru harus memberi waktu dan usaha lebih banyak untuk mengamati bagaimana Gen Z memadukan diri dan kecakapan digital dalam kegiatan sehari-hari seperti berinteraksi, belajar, dan menjalankan aktivitas.
Baca juga: Tunjangan Sertifikasi Guru Tahun 2023 Cair November, Ini Daerah yang Sudah Menerima
"Gen Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru. Hal ini membuat mereka terpacu untuk mengetahui berbagai hal dari sumber-sumber informasi yang tersebar dan mudah diakses. Sebagai pendidik, kita harus bisa mengimbangi dan mengarahkan pada hal-hal yang positif,” jelas Nanda.