KPAI Nilai Kurikulum Darurat Kemendikbud Masih Tidak Tegas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud ) menyatakan sudah membuat kurikulum darurat untuk menghadapi pembelajaran di masa pandemi Covid-19.
Namun, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ), ada ketidaktegasan Kemendikbud dalam kurikulum darurat ini. Sebab, Kemendikbud masih memberikan ruang bagi sekolah untuk tidak menggunakannya. (Baca juga: Kemendikbud Akhirnya Terbitkan Kurikulum Darurat Pandemi Covid-19)
“Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran. Itu akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan, seperti pernah terjadi pada saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan,” ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti, Jumat (7/8/2020).
Anies saat itu memberlakukan kurikulum 2013 dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Retno mengatakan, dalam situasi seperti ini seharusnya yang diberlakukan adalah kurikulum darurat. Tujuannya, meringankan beban guru, siswa, dan para orang tua. (Baca juga: Kemendikbud akan Beri Bantuan Kuota Internet pada 25% Mahasiswa)
Selan itu, Mendikbud Nadiem Makarim dalam pengumuman pembukaan sekolah di zona kuning kembali menegaskan mengenai relaksasi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Kemendikbud memperbolehkan dana BOS digunakan untuk membeli pulsa dan internet agar guru dan siswa bisa menjalankan pembelajaran secara daring.
Besaran dana BOS untuk tingkat sekolah dasar (SD) sebesar Rp900.000 per tahun per siswa. Kemudian, siswa sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan Rp1,1 juta per tahun dan sekolah menengah atas (SMA) sebesar Rp1,6 juta per tahun.
Sedangkan, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) mendapatkan Rp1,7 juta per tahun. Menurut Retno, dana BOS selama ini digunakan untuk memenuhi delapan standar pendidikan nasional. “Kalau semuanya digunakan untuk kuota internet tentu menyulitkan dan membebani sekolah. Sekolah juga harus membayar guru dan tenaga honorer,” ujarnya.
Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu mengungkapkan, dalam keadaan tidak ada pandemi Covid-19 saja, dana BOS masih kurang. Beberapa daerah ada yang membantu dengan memberikan dana BOS daerah.
Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi sekolah yang ingin membuka pembelajaran tatap muka. “Karena sekolah harus menyiapkan infrastruktur kenormalan baru dengan dana BOS. Daftar belanja bertambah, tetapi uang tidak bertambah,” paparnya.
Namun, menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI ), ada ketidaktegasan Kemendikbud dalam kurikulum darurat ini. Sebab, Kemendikbud masih memberikan ruang bagi sekolah untuk tidak menggunakannya. (Baca juga: Kemendikbud Akhirnya Terbitkan Kurikulum Darurat Pandemi Covid-19)
“Seharusnya tidak boleh ada pelaksanaan kurikulum berbeda dalam satu tahun ajaran. Itu akan membingungkan guru dan sekolah di lapangan, seperti pernah terjadi pada saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan,” ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti, Jumat (7/8/2020).
Anies saat itu memberlakukan kurikulum 2013 dan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Retno mengatakan, dalam situasi seperti ini seharusnya yang diberlakukan adalah kurikulum darurat. Tujuannya, meringankan beban guru, siswa, dan para orang tua. (Baca juga: Kemendikbud akan Beri Bantuan Kuota Internet pada 25% Mahasiswa)
Selan itu, Mendikbud Nadiem Makarim dalam pengumuman pembukaan sekolah di zona kuning kembali menegaskan mengenai relaksasi penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS). Kemendikbud memperbolehkan dana BOS digunakan untuk membeli pulsa dan internet agar guru dan siswa bisa menjalankan pembelajaran secara daring.
Besaran dana BOS untuk tingkat sekolah dasar (SD) sebesar Rp900.000 per tahun per siswa. Kemudian, siswa sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan Rp1,1 juta per tahun dan sekolah menengah atas (SMA) sebesar Rp1,6 juta per tahun.
Sedangkan, siswa sekolah menengah kejuruan (SMK) mendapatkan Rp1,7 juta per tahun. Menurut Retno, dana BOS selama ini digunakan untuk memenuhi delapan standar pendidikan nasional. “Kalau semuanya digunakan untuk kuota internet tentu menyulitkan dan membebani sekolah. Sekolah juga harus membayar guru dan tenaga honorer,” ujarnya.
Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu mengungkapkan, dalam keadaan tidak ada pandemi Covid-19 saja, dana BOS masih kurang. Beberapa daerah ada yang membantu dengan memberikan dana BOS daerah.
Situasi ini tentu tidak menguntungkan bagi sekolah yang ingin membuka pembelajaran tatap muka. “Karena sekolah harus menyiapkan infrastruktur kenormalan baru dengan dana BOS. Daftar belanja bertambah, tetapi uang tidak bertambah,” paparnya.
(nbs)