Guru Besar Psikologi Ukrida Jadi Pembicara di Harvard University dan UCLA

Selasa, 09 Januari 2024 - 10:38 WIB
loading...
Guru Besar Psikologi Ukrida Jadi Pembicara di Harvard University dan UCLA
Guru Besar Psikologi Ukrida Prof. Johana Endang Prawitasari mengisi kuliah umum di Harvard University dan UCLA. foto/ukrida.
A A A
JAKARTA - Guru Besar Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana ( Ukrida ), Prof. Johana Endang Prawitasari mendapat kesempatan menjadi pembicara dalam kuliah umum di Harvard University dan UCLA Center for Southeast Asia Studies di Amerika Serikat.

Kuliah umum di kedua perguruan tinggi dunia tersebut mengusung topik The Psychology of Indonesian Communities on Javanese Cultural Psychology.

Saat di Harvard University, Prof. Johana dalam sesinya mengetengahkan contoh kondisi sosial masyarakat di wilayah Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pasca gempa bumi 27 Mei 2006. Contoh yang sekaligus menjadi studi kasus ini kemudian menjadi pembahasan yang menarik dan interaktif.

Berawal dari serangkaian kegiatan penelitian bersama dalam Action Research Design, yang kemudian melahirkan gagasan pendekatan melalui seni dan budaya, guna merepresentasikan kondisi sosial masyarakat.

“Latar belakang kegiatan penelitian berlanjut ke pengabdian pada masyarakat, dimana gempa tahun 2006 tersebut menyisakan penderitaan, peluang sekaligus tantangan. Selain pemberian bantuan, ditemukan juga potensi masalah sosial karena dirasakan adanya ketidakadilan distribusi bantuan,” ujarnya, dalam keterangan resmi, Selasa (9/12024).

baca juga: Unggul di PKKM, Ukrida Raih Gold Winner Anugerah Kelembagaan Diktiristek 2023

Konteks penelitian yang dipaparkan meliputi karakteristik kehidupan beragama setempat, psikologi budaya masyarakat Jawa, karakteristik kehidupan masyarakat pedesaan, dan konteks sosial-ekonomi.

Saat itu, katanya, dalam pengamatan terhadap kondisi masyarakat sempat ditawarkan Srandul, yaitu drama tari dan merupakan seni tradisional kerakyatan dari Yogyakarta yang didasarkan pada kearifan masyarakat setempat.

Tetapi setelah melalui dialog dalam komunitas kemudian bersama masyarakat setempat secara khusus disajikan sosiodrama (social artistry) pasca gempa, dimana melalui pentas seni itu tercermin terjadinya konflik sosial.

Dia menjelaskan, pasca musibah gempa bumi itu ternyata terjadi ketidakadilan distribusi bantuan, yaitu warga masyarakat korban gempa memperoleh bantuan dana karena memiliki KTP setempat, sementara yang rumahnya hancur karena gempa malah tidak memperoleh bantuan dana karena tidak memiliki KTP setempat.

baca juga: Ukrida Luluskan Sarjana Terapan Optometri Pertama di Indonesia

Setelah beberapa waktu, untuk menyikapi kondisi demikian, setiap RT atau dusun membuat skenario drama sendiri sebelum, saat, dan setelah gempa. Dalam proses latihan drama terjadi gotong royong dan kerukunan mulai terjalin.

Hal demikian menjadi salah satu upaya bersama guna mengatasi trauma sosial yang terjadi, dan masyarakat setempat merespon kegiatan sosiodrama dengan sangat positif.

“Tujuan pementasan sosiodrama tersebut adalah agar konflik sosial itu dapat tercermin untuk kemudian bisa mencari solusi bersama”, demikian dikatakan oleh Prof. Johana.

Saat sosiodrama diulangi di tahun 2017, para pemain drama di tahun 2007 sudah berusia lebih dari setengah abad. Saat sosiodrama kembali dipentaskan dalam kegiatan pengabdian masyarakat (abmas) di Bantul, yang berperan serta dalam riset tindakan adalah generasi muda.

“Perbedaannya, kalau dulu sosiodrama dipentaskan lebih menyerupai Srandul, dengan para muda dan anak-anak, sosiodrama yang dipentaskan menggambarkan kehidupan saat ini dengan isu-isu sosial yang ada. Pementasannya dengan alat-alat modern dan campuran dengan nyanyian dalam bahasa Inggris,” ujarnya.

Abmas bersama para muda, juga mengajari mereka untuk berdaya dan mengembangkan usaha melalui bazar bahan kebutuhan pokok dan pakaian bekas layak pakai. Walaupun tingkatannya adalah dusun, masyarakat dimotivasi untuk bisa ikut memulihkan keadaan. Salah satunya melalui potensi yang mereka miliki, seperti menggalang dana dengan menjual produk-produk hasil karya mereka.

“Tujuan lainnya adalah membuktikan bahwa seni sosial dapat merevitalisasi kearifan lokal melalui gotong royong, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta menangani masalah sosial,” lanjutnya.

Beberapa manfaat serta pelajaran yang diperoleh dari penelitian dan pengabdian pada masyarakat, antara lain mendukung sistem dana bergulir, sebagai wadah melaksanakan demokrasi, koordinasi, dan menyampaikan pendapat bahkan kritik.

Selain itu juga bermanfaat sebagai wadah beragam informasi dan program kegiatan desa, menambah pendapatan desa karena bisa menyewakan perlengkapan kepada desa tetangga.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan, gagasan yang muncul, di antaranya kolaborasi dengan pakar nasional dan internasional untuk menghasilkan pengetahuan baru terkait masalah sosial.

Gagasan lainnya, yaitu kajian psikologi budaya menggunakan keberagaman budaya di Indonesia, kelompok etnis, bahasa lokal, dan budaya asli. Layanan kesehatan mental yang kemungkinan digabungkan dengan kearifan lokal guna mendukung mekanisme penanggulangan konflik sosial, juga menjadi gagasan untuk ditindaklanjuti bersama.

Menurutnya, terungkap premise bahwa konteks budaya sangat penting untuk melakukan tindakan yang tepat sesuai persepsi komunitas. Dalam hal ini setelah gempa bumi hebat memporakporandakan kehidupan penduduk di Bantul, seni dapat digunakan untuk revitalisasi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

“Penyajian sosiodrama tersebut sangat dinikmati oleh yang hadir dan mereka sangat tertarik dengan muatan di dalamnya,” pungkasnya.
(nnz)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1611 seconds (0.1#10.140)