Seminar ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Menegaskan Pentingnya Nilai Moderasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta menggelar Seminar Moderasi Beragama dengan tema Peran Muhammadiyah di Tengah Gempuran Ideologi Intoleransi. Kegiatan ini dihadiri berbagai tokoh Muhammadiyah serta mahasiswa, Sabtu (18/5/2024).
Pemateri pertama Dewan Mudir MBS Ki Bagus Hadikusumo Dr KH Endang Mintarja menjelaskan alasan mengapa kelompok Salafi-Wahabi berhasil masuk dan bahkan menguasai beberapa masjid, pesantren, dan kampus Muhammadiyah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kemiripan jargon yang digunakan oleh Salafi-Wahabi dengan Muhammadiyah, yaitu Kembali kepada Alquran dan Sunnah.
"Jargon yang digunakan oleh kelompok Salafi-Wahabi ini mirip dengan jargon Muhammadiyah, sehingga masyarakat dan mahasiswa bisa terkecoh," katanya.
Kiai Endang menambahkan untuk masuk di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), kelompok Salafi-Wahabi mengadaptasi jargon Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun, kelompok Salafi-Wahabi tidak merujuk kepada ulama-ulama Salaf yang muktabar. Melainkan kepada pendiri aliran Wahabi yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab dan mereka cenderung mempelajari agama secara tekstual.
"Tidak mungkin umat Islam bisa memahami agama tanpa berguru kepada ulama terdahulu. Namun, kelompok Salafi-Wahabi ini merasa paling salafi sendiri," tegasnya.
Rektor ITB Ahmad Dahlan Dr Yayat Sujatna selaku pemateri kedua, menyoroti perbedaan mendasar antara Muhammadiyah dan Salafi-Wahabi, terutama dari sisi organisasi dan jumlah lembaga yang dimiliki. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki jaringan lembaga yang sangat luas, dengan lebih dari 174 perguruan tinggi, 457 rumah sakit, 12.000 lebih masjid, dan sekitar 28.000 lembaga pendidikan di seluruh Indonesia.
Hal ini menunjukkan betapa besar dan terorganisirnya Muhammadiyah dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga kesehatan. Sebaliknya, kelompok Salafi-Wahabi lebih dikenal sebagai sekumpulan orang yang mengadakan pengajian-pengajian tanpa struktur organisasi yang jelas dan jumlah lembaga yang mendukung kegiatan mereka sangat terbatas.
Yayat menekankan pentingnya kader Muhammadiyah untuk aktif berperan dalam setiap lembaga yang dimiliki Muhammadiyah. Ia menambahkan kader Muhammadiyah harus memastikan lembaga-lembaga ini terus berfungsi dengan baik sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Muhammadiyah.
"Melihat fenomena banyaknya lembaga yang dimiliki Muhammadiyah, sangat penting bagi para kader Muhammadiyah untuk aktif berperan dalam setiap lembaga tersebut. Hal ini bertujuan agar lembaga-lembaga tersebut tidak dikuasai oleh kelompok eksternal seperti Salafi-Wahabi," terangnya.
Yayat mengatakan, membandingkan Muhammadiyah dengan Salafi-Wahabi adalah tindakan yang tidak tepat atau tidak apple to apple. Menurutnya, Muhammadiyah merupakan organisasi yang memiliki struktur, visi, dan misi yang berbeda jauh dengan Salafi-Wahabi.
Pemateri ketiga Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menjelaskan, Muhammadiyah memiliki pandangan terhadap Islam wasathiyah yang menekankan pada konsep toleransi dan moderasi. Dalam acara tersebut, Andar menguraikan pentingnya penerapan ideologi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Islam wasathiyah yang dianut oleh Muhammadiyah adalah Islam yang berkemajuan dan mengajarkan kesederhanaan, keadilan, toleransi, serta menekankan pentingnya menjaga harmoni antar umat beragama," katanya.
Andar juga menyoroti tantangan yang dihadapi generasi muda di kampus-kampus. Di mana berbagai ideologi radikal sering kali mencoba menyusup dan mempengaruhi mahasiswa. Dia berharap generasi Muhammadiyah lebih memahami dan menerapkan nilai-nilai moderasi dan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
"Banyak paham radikal yang masuk ke kalangan kampus melalui ceramah, seminar, atau kegiatan sosial lainnya. Ini mencakup ideologi ekstrem dalam politik, agama, atau pandangan sosial," tambahnya.
Diharapkan, hasil dari seminar ini akan menjadi pijakan bagi langkah-langkah konkret dalam memperkuat moderasi beragama serta menekan penyebaran ideologi intoleransi di masyarakat. Semangat kolaborasi antara Muhammadiyah dan berbagai pihak diharapkan dapat menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini demi terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.
Lihat Juga: Ini Jumlah Sekolah Muhammadiyah 2024 di Bawah Kepemimpinan Haedar Nasir dan Abdul Mu’ti
Pemateri pertama Dewan Mudir MBS Ki Bagus Hadikusumo Dr KH Endang Mintarja menjelaskan alasan mengapa kelompok Salafi-Wahabi berhasil masuk dan bahkan menguasai beberapa masjid, pesantren, dan kampus Muhammadiyah. Menurutnya, hal ini disebabkan oleh kemiripan jargon yang digunakan oleh Salafi-Wahabi dengan Muhammadiyah, yaitu Kembali kepada Alquran dan Sunnah.
"Jargon yang digunakan oleh kelompok Salafi-Wahabi ini mirip dengan jargon Muhammadiyah, sehingga masyarakat dan mahasiswa bisa terkecoh," katanya.
Kiai Endang menambahkan untuk masuk di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), kelompok Salafi-Wahabi mengadaptasi jargon Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun, kelompok Salafi-Wahabi tidak merujuk kepada ulama-ulama Salaf yang muktabar. Melainkan kepada pendiri aliran Wahabi yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab dan mereka cenderung mempelajari agama secara tekstual.
"Tidak mungkin umat Islam bisa memahami agama tanpa berguru kepada ulama terdahulu. Namun, kelompok Salafi-Wahabi ini merasa paling salafi sendiri," tegasnya.
Rektor ITB Ahmad Dahlan Dr Yayat Sujatna selaku pemateri kedua, menyoroti perbedaan mendasar antara Muhammadiyah dan Salafi-Wahabi, terutama dari sisi organisasi dan jumlah lembaga yang dimiliki. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki jaringan lembaga yang sangat luas, dengan lebih dari 174 perguruan tinggi, 457 rumah sakit, 12.000 lebih masjid, dan sekitar 28.000 lembaga pendidikan di seluruh Indonesia.
Hal ini menunjukkan betapa besar dan terorganisirnya Muhammadiyah dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga kesehatan. Sebaliknya, kelompok Salafi-Wahabi lebih dikenal sebagai sekumpulan orang yang mengadakan pengajian-pengajian tanpa struktur organisasi yang jelas dan jumlah lembaga yang mendukung kegiatan mereka sangat terbatas.
Yayat menekankan pentingnya kader Muhammadiyah untuk aktif berperan dalam setiap lembaga yang dimiliki Muhammadiyah. Ia menambahkan kader Muhammadiyah harus memastikan lembaga-lembaga ini terus berfungsi dengan baik sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai Muhammadiyah.
"Melihat fenomena banyaknya lembaga yang dimiliki Muhammadiyah, sangat penting bagi para kader Muhammadiyah untuk aktif berperan dalam setiap lembaga tersebut. Hal ini bertujuan agar lembaga-lembaga tersebut tidak dikuasai oleh kelompok eksternal seperti Salafi-Wahabi," terangnya.
Yayat mengatakan, membandingkan Muhammadiyah dengan Salafi-Wahabi adalah tindakan yang tidak tepat atau tidak apple to apple. Menurutnya, Muhammadiyah merupakan organisasi yang memiliki struktur, visi, dan misi yang berbeda jauh dengan Salafi-Wahabi.
Pemateri ketiga Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menjelaskan, Muhammadiyah memiliki pandangan terhadap Islam wasathiyah yang menekankan pada konsep toleransi dan moderasi. Dalam acara tersebut, Andar menguraikan pentingnya penerapan ideologi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Islam wasathiyah yang dianut oleh Muhammadiyah adalah Islam yang berkemajuan dan mengajarkan kesederhanaan, keadilan, toleransi, serta menekankan pentingnya menjaga harmoni antar umat beragama," katanya.
Andar juga menyoroti tantangan yang dihadapi generasi muda di kampus-kampus. Di mana berbagai ideologi radikal sering kali mencoba menyusup dan mempengaruhi mahasiswa. Dia berharap generasi Muhammadiyah lebih memahami dan menerapkan nilai-nilai moderasi dan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
"Banyak paham radikal yang masuk ke kalangan kampus melalui ceramah, seminar, atau kegiatan sosial lainnya. Ini mencakup ideologi ekstrem dalam politik, agama, atau pandangan sosial," tambahnya.
Diharapkan, hasil dari seminar ini akan menjadi pijakan bagi langkah-langkah konkret dalam memperkuat moderasi beragama serta menekan penyebaran ideologi intoleransi di masyarakat. Semangat kolaborasi antara Muhammadiyah dan berbagai pihak diharapkan dapat menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ini demi terciptanya masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis.
Lihat Juga: Ini Jumlah Sekolah Muhammadiyah 2024 di Bawah Kepemimpinan Haedar Nasir dan Abdul Mu’ti
(poe)