UNICEF Dorong Stakeholder Beri Dukungan dan Investasi Lebih Besar untuk PAUD
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia tengah mengembangkan model PAUD Holistik Integratif yang bukan hanya memberikan pembelajaran pada anak, melainkan juga menyediakan layanan gizi dan kesehatan. Kebijakan tentang wajib belajar 13 tahun termasuk untuk pra-sekolah juga sedang digodok.
“Kebijakan ini akan menjadi terobosan luar biasa. UNICEF telah melakukan advokasi dan melihat ada kemajuan. Kebijakan ini mengikuti jejak negara lain di kawasan yang telah berinvestasi signifikan pada PAUD dan juga akan mempengaruhi negara lain, akan ada efek berantai,” kata Maniza Zaman, UNICEF Indonesia Country Representative, melalui siaran pers, dikutip Jumat (25/10/2024).
Baca juga: Tak Hanya Pendidikan, Layanan untuk Anak Usia Dini Butuh Kolaborasi Multisektor
Masalahnya, pengembangan PAUD di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Problem utama pada akses, yakni hanya 35 persen anak usia 3-6 tahun yang memiliki akses ke layanan tersebut. Jumlah PAUD dan infrastrukturnya, terutama di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau, masih amat terbatas.
Alokasi anggaran negara untuk PAUD juga minim. Nilainya hanya 0,8 persen dari total anggaran pendidikan nasional.
“Ini jauh di bawah standar internasional yang sebesar 10 persen dan perlu ditingkatkan secara signifikan,” ungkap Maniza.
Selain itu, belum semua PAUD juga diperkuat oleh guru-guru berkualitas. Tak bisa dipungkiri, masih ada anggapan bahwa untuk menjadi guru PAUD tidak terlalu membutuhkan pengajar dengan kualifikasi yang baik.
“Data menunjukkan, hanya 60 persen guru PAUD yang bergelar sarjana dibanding 90 persen di jenjang pendidikan lain. Perlu adanya pengakuan bahwa guru adalah profesi mulia bahkan untuk PAUD,” tutur Maniza.
Tidak ketinggalan, persoalan lainnya adalah pemahaman orang tua dan pengasuh tentang PAUD yang belum sama dan belum semuanya menganggapnya penting.
Apalagi, kebanyakan layanan PAUD dikelola mandiri atau pihak swasta yang memerlukan pos dana tersendiri bagi setiap keluarga, meskipun sudah ada subsidi.
“Masalah keuangan di rumah tangga juga harus kita pikirkan. Kita harus benar-benar memperhatikan keterjangkauan untuk semua kalangan,” tandasnya.
Oleh karena itu, Maniza menegaskan, UNICEF mendorong dukungan dan investasi lebih besar untuk PAUD oleh berbagai pihak. Dukungan ini menjadi strategi dalam mengembangkan PAUD yang mencakup berbagai aspek kompleks dan membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan.
Sejumlah aspek tersebut di antaranya perlunya layanan berkesinambungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu sejak mengandung hingga merawat anak. Pola pengasuhan anak atau parenting oleh orang tua dan pengasuh juga menjadi garda terdepan dalam hal ini.
Selain itu, perlu adanya koordinasi, sistem pendukung, konektivitas, pendanaan yang tepat, serta kesadaran masyarakat dalam perubahan perilaku dan sosial dalam pengembangan PAUD.
“Koordinasi yang efektif di berbagai tingkat bahkan hingga desa menjadi penting, agar semua berjalan baik. Ini bukan hal yang mudah di dunia. Kita harus bekerja sama dan menggunakan sumber daya secara optimal,” paparnya.
Maniza menegaskan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, lembaga non-pemerintah, hingga lembaga non-profit dan filantropi harus mengambil langkah konkret untuk menjadikan PAUD sebagai agenda bersama yang penting bagi masa depan bangsa.
UNICEF dan pemerintah telah memulai langkah ini, baik di tingkat regulasi dan sarana prasarana di lapangan dan melalui sejumlah terobosan. Misalkan pemanfaatan teknologi digital dan media sosial dalam menyebarkan praktik baik dan materi edukasi PAUD.
“Dengan populasi Indonesia yang besar, kita bisa gunakan teknologi untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya PAUD dan parenting,” katanya.
Peran institusi, lembaga, atau perusahaan yang menjadi tempat bekerja bagi para orang tua juga signifikan. Perusahaan harus memberi dukungan bagi orang tua untuk mengasuh anak.
“Artinya perlu kebijakan yang ramah keluarga. Pemberi kerja tidak hanya mengambil keuntungan, tetapi melakukan investasi yang baik bagi karyawan. Kalau karyawan bahagia, itu artinya bisnis itu sukses,” katanya.
Sektor swasta juga dapat menggunakan segenap sumber daya untuk menambah jumlah layanan PAUD atau memberikan dukungan teknis, aset, dan tenaga ahli. Adapun lembaga non-pemerintah dan lembaga non-profit dapat memanfaatkan jejaringnya yang luas untuk mendukung peningkatan kualitas layanan PAUD.
Peran tokoh masyarakat dan pemimpin agama pun tak kalah krusial dalam memberi motivasi dan semangat pada orang tua untuk melakukan parenting dengan baik. “Ini semua dapat mengamplifikasi pesan tentang pentingnya PAUD bagi masa depan suatu bangsa dan menunjukkan setiap pihak punya peran untuk itu,” ujarnya.
Investasi terhadap PAUD ini sangat krusial bagi negara sebesar Indonesia. Dalam hitung-hitungan ekonomi, setiap Rp 1 yang diinvestasikan ke pengembangan PAUD akan menghasilkan keuntungan empat kali lipat.
“Ini investasi yang menguntugkan,” tegas Maniza.
Pada tahun tersebut atau 20 tahun yang akan datang, populasi Indonesia diprediksi mencapai 380 juta jiwa. Sekitar 60 persen dari jumlah tersebut adalah usia produktif. Jika mampu mengoptimalkan kondisi ini, Indonesia akan memperoleh bonus demografi.
“Itu artinya kita harus bersiap dari sekarang. Tenaga kerja masa depan dilahirkan saat ini atau akan segera dilahirkan. Timing menjadi penting jika Indonesia ingin menghasilkan bonus demografi,” ujarnya.
“Kebijakan ini akan menjadi terobosan luar biasa. UNICEF telah melakukan advokasi dan melihat ada kemajuan. Kebijakan ini mengikuti jejak negara lain di kawasan yang telah berinvestasi signifikan pada PAUD dan juga akan mempengaruhi negara lain, akan ada efek berantai,” kata Maniza Zaman, UNICEF Indonesia Country Representative, melalui siaran pers, dikutip Jumat (25/10/2024).
Baca juga: Tak Hanya Pendidikan, Layanan untuk Anak Usia Dini Butuh Kolaborasi Multisektor
Masalahnya, pengembangan PAUD di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan. Problem utama pada akses, yakni hanya 35 persen anak usia 3-6 tahun yang memiliki akses ke layanan tersebut. Jumlah PAUD dan infrastrukturnya, terutama di daerah-daerah terpencil dan sulit dijangkau, masih amat terbatas.
Alokasi anggaran negara untuk PAUD juga minim. Nilainya hanya 0,8 persen dari total anggaran pendidikan nasional.
“Ini jauh di bawah standar internasional yang sebesar 10 persen dan perlu ditingkatkan secara signifikan,” ungkap Maniza.
Selain itu, belum semua PAUD juga diperkuat oleh guru-guru berkualitas. Tak bisa dipungkiri, masih ada anggapan bahwa untuk menjadi guru PAUD tidak terlalu membutuhkan pengajar dengan kualifikasi yang baik.
“Data menunjukkan, hanya 60 persen guru PAUD yang bergelar sarjana dibanding 90 persen di jenjang pendidikan lain. Perlu adanya pengakuan bahwa guru adalah profesi mulia bahkan untuk PAUD,” tutur Maniza.
Tidak ketinggalan, persoalan lainnya adalah pemahaman orang tua dan pengasuh tentang PAUD yang belum sama dan belum semuanya menganggapnya penting.
Apalagi, kebanyakan layanan PAUD dikelola mandiri atau pihak swasta yang memerlukan pos dana tersendiri bagi setiap keluarga, meskipun sudah ada subsidi.
“Masalah keuangan di rumah tangga juga harus kita pikirkan. Kita harus benar-benar memperhatikan keterjangkauan untuk semua kalangan,” tandasnya.
Oleh karena itu, Maniza menegaskan, UNICEF mendorong dukungan dan investasi lebih besar untuk PAUD oleh berbagai pihak. Dukungan ini menjadi strategi dalam mengembangkan PAUD yang mencakup berbagai aspek kompleks dan membutuhkan dukungan dari semua pemangku kepentingan.
Sejumlah aspek tersebut di antaranya perlunya layanan berkesinambungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan ibu sejak mengandung hingga merawat anak. Pola pengasuhan anak atau parenting oleh orang tua dan pengasuh juga menjadi garda terdepan dalam hal ini.
Selain itu, perlu adanya koordinasi, sistem pendukung, konektivitas, pendanaan yang tepat, serta kesadaran masyarakat dalam perubahan perilaku dan sosial dalam pengembangan PAUD.
“Koordinasi yang efektif di berbagai tingkat bahkan hingga desa menjadi penting, agar semua berjalan baik. Ini bukan hal yang mudah di dunia. Kita harus bekerja sama dan menggunakan sumber daya secara optimal,” paparnya.
Maniza menegaskan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, sektor swasta, lembaga non-pemerintah, hingga lembaga non-profit dan filantropi harus mengambil langkah konkret untuk menjadikan PAUD sebagai agenda bersama yang penting bagi masa depan bangsa.
UNICEF dan pemerintah telah memulai langkah ini, baik di tingkat regulasi dan sarana prasarana di lapangan dan melalui sejumlah terobosan. Misalkan pemanfaatan teknologi digital dan media sosial dalam menyebarkan praktik baik dan materi edukasi PAUD.
“Dengan populasi Indonesia yang besar, kita bisa gunakan teknologi untuk menyampaikan pesan tentang pentingnya PAUD dan parenting,” katanya.
Peran institusi, lembaga, atau perusahaan yang menjadi tempat bekerja bagi para orang tua juga signifikan. Perusahaan harus memberi dukungan bagi orang tua untuk mengasuh anak.
“Artinya perlu kebijakan yang ramah keluarga. Pemberi kerja tidak hanya mengambil keuntungan, tetapi melakukan investasi yang baik bagi karyawan. Kalau karyawan bahagia, itu artinya bisnis itu sukses,” katanya.
Sektor swasta juga dapat menggunakan segenap sumber daya untuk menambah jumlah layanan PAUD atau memberikan dukungan teknis, aset, dan tenaga ahli. Adapun lembaga non-pemerintah dan lembaga non-profit dapat memanfaatkan jejaringnya yang luas untuk mendukung peningkatan kualitas layanan PAUD.
Peran tokoh masyarakat dan pemimpin agama pun tak kalah krusial dalam memberi motivasi dan semangat pada orang tua untuk melakukan parenting dengan baik. “Ini semua dapat mengamplifikasi pesan tentang pentingnya PAUD bagi masa depan suatu bangsa dan menunjukkan setiap pihak punya peran untuk itu,” ujarnya.
Investasi terhadap PAUD ini sangat krusial bagi negara sebesar Indonesia. Dalam hitung-hitungan ekonomi, setiap Rp 1 yang diinvestasikan ke pengembangan PAUD akan menghasilkan keuntungan empat kali lipat.
“Ini investasi yang menguntugkan,” tegas Maniza.
Pada tahun tersebut atau 20 tahun yang akan datang, populasi Indonesia diprediksi mencapai 380 juta jiwa. Sekitar 60 persen dari jumlah tersebut adalah usia produktif. Jika mampu mengoptimalkan kondisi ini, Indonesia akan memperoleh bonus demografi.
“Itu artinya kita harus bersiap dari sekarang. Tenaga kerja masa depan dilahirkan saat ini atau akan segera dilahirkan. Timing menjadi penting jika Indonesia ingin menghasilkan bonus demografi,” ujarnya.
(nnz)