Dekan FH UP Soroti Peran Krusial MPR dalam Menafsirkan UUD 1945
loading...
A
A
A
JAKARTA - Undang-Undang Dasar harus hidup dan berkembang sesuai dengan zamannya. Untuk itu dilakukan perubahan UUD 1945 melalui intrepretasi beberapa kali sehingga menjadi sebuah kompas yang selalu menyesuaikan arah dengan perubahan zaman. Di balik dinamika perubahan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengubah UUD memainkan peran sentral. Lalu, bagaimana peranan MPR sebagai perumus Undang-Undang Dasar berperan dalam penafsiran atau interpretasi UUD 1945 selama ini?
Untuk menjawab hal ini, Universitas Pancasila (UP) menggelar Sarasehan Nasional dengan tema Gerak Pemaknaan Konstitusional pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (perwujudan Living Constitution)”. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama MPR dan UP yang telah terjalin selama ini.
Dalam acara ini bertindak sebagai Keynote Speech Wahiduddin Adams, Hakim MK Periode 2014-2024. Selain juga dihadirkan sejumlah narasumber di antaranya Prof Dr. Fitra Arsil, S.H.,M.H. (Guru Besar Universitas Indonesia), Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH, MH. (Guru Besar Univ. Muhammadiyah Jakarta), Drs. Yana Indrawan, M.Si. (Staf Ahli Sekjen MPR RI) serta Dr. Ilham Hermawan, S.H.,M.H. (Ketua Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Univ. Pancasila)
Prof. Eddy Pratomo, Dekan Fakultas Hukum UP, menegaskan bahwa MPR memiliki kewenangan dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUD 1945. Oleh karena itu, dalam proses penafsiran atau interpretasi terhadap pasal-pasal yang bersifat kontroversial, peranan MPR menjadi sangat krusial.
Sarasehan ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret mengenai mekanisme melibatkan MPR dalam proses penafsiran dan pemaknaan pasal-pasal UUD yang seringkali menjadi objek perdebatan, terutama terkait dengan undang-undang yang disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Ia juga mengatakan di sisi lain, sejak perubahan UUD 1945 hingga saat ini telah terjadi perubahan UUD 1954 dalam bentuk penafsiran konstitusi melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Perubahan makna-makna konstitusi tentunya menjadi perhatian di kalangan akademisi khususnya pakar hukum tatanegara di Indonesia.
"MPR yang memiliki kewenangan besar ini, diharapkan ada mekanisme baru atau prosedur dan ekosistem baru MPR memiliki yudisial intepretation. Sehingga MK dapat backup secara langsung maupun tidak langsung. Apakah bisa MPR dilibatkan di dalam penafsiran dan pemaknaan beberapa pasal yang mungkin dipertentangkan dengan UU yang disahkan DPR dan pemerintah, " ungkap Dekan Eddy Pratomo.
Dengan mengundang para pakar, tujuannya adalah untuk memperoleh perspektif yang lebih luas tentang bagaimana MPR dapat memberikan dukungan kepada Mahkamah Konstitusi. "Pertanyaannya kemudian, bagaimana mekanisme yang tepat untuk menjalin komunikasi antara kedua lembaga negara ini? Hingga kini, belum ada aturan yang mengatur bentuk kerja sama antara MPR dan MK. Padahal, dengan kekuatan politik yang dimilikinya, MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, memiliki potensi besar untuk memberikan masukan yang berharga bagi MK, tidak hanya dalam hal pelantikan dan pemberhentian presiden," ucapnya.
"Jika kita ingin memahami makna mendalam dari suatu pasal dalam konstitusi, kita perlu menelusuri sejarah pembentukannya. Bagaimana pasal tersebut dirumuskan, perdebatan apa yang terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, dan konteks sejarah saat itu menjadi kunci. Dengan memahami proses historis ini, kita dapat memberikan penafsiran yang lebih akurat dan relevan terhadap pasal tersebut."
Ia juga mengatakan diskusi dengan para pakar hukum tata negara telah memperkaya pemahaman kita tentang peran penting MPR dalam menafsirkan UUD, mengingat kewenangannya dalam mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
Untuk menjawab hal ini, Universitas Pancasila (UP) menggelar Sarasehan Nasional dengan tema Gerak Pemaknaan Konstitusional pasca Perubahan UUD NRI Tahun 1945 (perwujudan Living Constitution)”. Kegiatan ini merupakan hasil kerja sama MPR dan UP yang telah terjalin selama ini.
Dalam acara ini bertindak sebagai Keynote Speech Wahiduddin Adams, Hakim MK Periode 2014-2024. Selain juga dihadirkan sejumlah narasumber di antaranya Prof Dr. Fitra Arsil, S.H.,M.H. (Guru Besar Universitas Indonesia), Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, SH, MH. (Guru Besar Univ. Muhammadiyah Jakarta), Drs. Yana Indrawan, M.Si. (Staf Ahli Sekjen MPR RI) serta Dr. Ilham Hermawan, S.H.,M.H. (Ketua Pusat Kajian Konstitusi Fakultas Hukum Univ. Pancasila)
Prof. Eddy Pratomo, Dekan Fakultas Hukum UP, menegaskan bahwa MPR memiliki kewenangan dalam mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUD 1945. Oleh karena itu, dalam proses penafsiran atau interpretasi terhadap pasal-pasal yang bersifat kontroversial, peranan MPR menjadi sangat krusial.
Sarasehan ini diharapkan menghasilkan rekomendasi konkret mengenai mekanisme melibatkan MPR dalam proses penafsiran dan pemaknaan pasal-pasal UUD yang seringkali menjadi objek perdebatan, terutama terkait dengan undang-undang yang disahkan oleh DPR dan pemerintah.
Ia juga mengatakan di sisi lain, sejak perubahan UUD 1945 hingga saat ini telah terjadi perubahan UUD 1954 dalam bentuk penafsiran konstitusi melalui proses judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Perubahan makna-makna konstitusi tentunya menjadi perhatian di kalangan akademisi khususnya pakar hukum tatanegara di Indonesia.
"MPR yang memiliki kewenangan besar ini, diharapkan ada mekanisme baru atau prosedur dan ekosistem baru MPR memiliki yudisial intepretation. Sehingga MK dapat backup secara langsung maupun tidak langsung. Apakah bisa MPR dilibatkan di dalam penafsiran dan pemaknaan beberapa pasal yang mungkin dipertentangkan dengan UU yang disahkan DPR dan pemerintah, " ungkap Dekan Eddy Pratomo.
Dengan mengundang para pakar, tujuannya adalah untuk memperoleh perspektif yang lebih luas tentang bagaimana MPR dapat memberikan dukungan kepada Mahkamah Konstitusi. "Pertanyaannya kemudian, bagaimana mekanisme yang tepat untuk menjalin komunikasi antara kedua lembaga negara ini? Hingga kini, belum ada aturan yang mengatur bentuk kerja sama antara MPR dan MK. Padahal, dengan kekuatan politik yang dimilikinya, MPR, yang terdiri dari anggota DPR dan DPD, memiliki potensi besar untuk memberikan masukan yang berharga bagi MK, tidak hanya dalam hal pelantikan dan pemberhentian presiden," ucapnya.
"Jika kita ingin memahami makna mendalam dari suatu pasal dalam konstitusi, kita perlu menelusuri sejarah pembentukannya. Bagaimana pasal tersebut dirumuskan, perdebatan apa yang terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, dan konteks sejarah saat itu menjadi kunci. Dengan memahami proses historis ini, kita dapat memberikan penafsiran yang lebih akurat dan relevan terhadap pasal tersebut."
Ia juga mengatakan diskusi dengan para pakar hukum tata negara telah memperkaya pemahaman kita tentang peran penting MPR dalam menafsirkan UUD, mengingat kewenangannya dalam mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.