Shahnaz Haque Berbagi Tips Mendidik Anak Agar Bisa Berpikir Kritis
loading...

Shahnaz Haque dalam podcast Bincang Inspiratif yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation. Foto/Istimewa.
A
A
A
JAKARTA - Pendidikan bukan hanya soal mengajar anak untuk membaca, menulis, atau berhitung, tetapi juga tentang bagaimana mengasah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan empati mereka.
Hal ini diungkapkan oleh Shahnaz Haque , seorang selebriti sekaligus ibu dari tiga anak, dalam podcast Bincang Inspiratif yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation.
Baca juga: Komitmen Sehatkan Anak Indonesia, PrimaKu Lakukan Kolaborasi dan Inovasi
Shahnaz yang juga istri dari Gilang Ramadhan, menekankan bahwa salah satu cara terbaik untuk mendidik anak agar berpikir kritis adalah dengan mengajak mereka untuk selalu bertanya dan menggali lebih dalam tentang apa yang mereka pelajari.
Orang tua harus mendorong anak-anak untuk berpikir lebih luas dan tidak menghentikan rasa penasaran mereka. Anak-anak perlu diberi ruang untuk bertanya, tanpa dibatasi oleh jawaban yang hanya berkisar pada ‘iya’ atau ‘tidak’, atau ‘benar’ dan ‘salah’.
Anak-anak harus dibiarkan bertanya tentang hal-hal yang mereka ingin ketahui, dan bantu mereka mencari.
Baca juga: Ahmad Dhani Tidak Pernah Marahi Anak soal Ibadah, Kenapa?
“Biarkan anak kita cerewet dan banyak pertanyaan, itu artinya cara berpikirnya hidup dan dia harus dilayani sejauh mungkin” sambung Shahnaz, melalui siaran pers, dikutip Jumat (14/3/2025).
Di saat seperti ini biasanya orang tua menjawab anak seperlunya. Padahal seharusnya orang tua menanggapi hingga rasa penasaran anak terjawab, karena sebenarnya mereka sedang berpikir kritis dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Dalam podcast ini, Shahnaz mengemukakan harapannya dengan pemerintahan yang baru khususnya di bidang pendidikan.
“Kurikulum bisa berubah, namun yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita bisa membuat anak-anak Indonesia berpikir, bukan hanya berpikir dalam dua variabel. Anak-anak harus dilatih untuk berpikir dengan banyak cabang di dalam pikiran mereka, agar mereka mencintai pengetahuan. Tidak ada anak Indonesia yang tidak suka pengetahuan, betapapun sulitnya,” sebut Shahnaz.
Shahnaz juga memperkenalkan konsep pembelajaran yang melibatkan empat lingkaran atau yang dikenal dengan istilah quadruple loop learning process.
Proses ini dimulai dengan single loop, di mana anak menyelesaikan masalah yang ada, kemudian berlanjut ke double loop, di mana anak belajar dari kegagalan dan tantangan.
Pada triple loop, anak mulai membuat perencanaan yang matang dan merumuskan solusi alternatif yang lebih efektif. Akhirnya, pada quadruple loop, anak tidak hanya belajar teori, tetapi dapat mengaplikasikan pembelajarannya dalam kehidupan nyata.
Tidak hanya tentang pola pikir, Shahnaz juga menyoroti pentingnya keterampilan motorik tangan yang sering kali terabaikan di era digital ini.
Dalam dunia yang semakin bergantung pada teknologi, seperti tablet atau laptop, banyak anak yang lebih fokus pada jempol mereka daripada pada kemampuan untuk menulis tangan.
Shahnaz mengingatkan bahwa menulis tangan memberikan kesempatan bagi anak untuk benar-benar memahami informasi yang mereka terima, tidak hanya sekadar menghafal.
"Anak-anak perlu kembali menulis tangan karena itu membantu mereka memahami apa yang mereka pelajari, bukan sekadar menghafal," ujar Shahnaz.
Selain pentingnya mengaktifkan otak kiri (logika) dan otak kanan (kreativitas), Shahnaz juga membahas bagaimana otak tengah, yang mengatur intuisi dan insting, dapat dilatih untuk mempersiapkan anak menghadapi tantangan hidup.
Salah satu cara untuk melatih otak tengah ini adalah dengan membiarkan anak-anak menghadapi konsekuensi dari kelalaian mereka, atau yang dikenal dengan istilah "Power of Kepepet", mendorong mereka untuk belajar dari kesalahan dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
"Jangan selalu melindungi anak dari setiap masalah yang mereka hadapi," katanya. "Biarkan mereka belajar untuk menyelesaikan masalah sendiri. Dengan cara ini, anak-anak akan mengembangkan keterampilan emosional yang stabil, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik,” pungkasnya.
Hal ini diungkapkan oleh Shahnaz Haque , seorang selebriti sekaligus ibu dari tiga anak, dalam podcast Bincang Inspiratif yang diselenggarakan oleh Tanoto Foundation.
Baca juga: Komitmen Sehatkan Anak Indonesia, PrimaKu Lakukan Kolaborasi dan Inovasi
Shahnaz yang juga istri dari Gilang Ramadhan, menekankan bahwa salah satu cara terbaik untuk mendidik anak agar berpikir kritis adalah dengan mengajak mereka untuk selalu bertanya dan menggali lebih dalam tentang apa yang mereka pelajari.
Orang tua harus mendorong anak-anak untuk berpikir lebih luas dan tidak menghentikan rasa penasaran mereka. Anak-anak perlu diberi ruang untuk bertanya, tanpa dibatasi oleh jawaban yang hanya berkisar pada ‘iya’ atau ‘tidak’, atau ‘benar’ dan ‘salah’.
Anak-anak harus dibiarkan bertanya tentang hal-hal yang mereka ingin ketahui, dan bantu mereka mencari.
Baca juga: Ahmad Dhani Tidak Pernah Marahi Anak soal Ibadah, Kenapa?
“Biarkan anak kita cerewet dan banyak pertanyaan, itu artinya cara berpikirnya hidup dan dia harus dilayani sejauh mungkin” sambung Shahnaz, melalui siaran pers, dikutip Jumat (14/3/2025).
Di saat seperti ini biasanya orang tua menjawab anak seperlunya. Padahal seharusnya orang tua menanggapi hingga rasa penasaran anak terjawab, karena sebenarnya mereka sedang berpikir kritis dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Dalam podcast ini, Shahnaz mengemukakan harapannya dengan pemerintahan yang baru khususnya di bidang pendidikan.
“Kurikulum bisa berubah, namun yang terpenting saat ini adalah bagaimana kita bisa membuat anak-anak Indonesia berpikir, bukan hanya berpikir dalam dua variabel. Anak-anak harus dilatih untuk berpikir dengan banyak cabang di dalam pikiran mereka, agar mereka mencintai pengetahuan. Tidak ada anak Indonesia yang tidak suka pengetahuan, betapapun sulitnya,” sebut Shahnaz.
Shahnaz juga memperkenalkan konsep pembelajaran yang melibatkan empat lingkaran atau yang dikenal dengan istilah quadruple loop learning process.
Proses ini dimulai dengan single loop, di mana anak menyelesaikan masalah yang ada, kemudian berlanjut ke double loop, di mana anak belajar dari kegagalan dan tantangan.
Pada triple loop, anak mulai membuat perencanaan yang matang dan merumuskan solusi alternatif yang lebih efektif. Akhirnya, pada quadruple loop, anak tidak hanya belajar teori, tetapi dapat mengaplikasikan pembelajarannya dalam kehidupan nyata.
Tidak hanya tentang pola pikir, Shahnaz juga menyoroti pentingnya keterampilan motorik tangan yang sering kali terabaikan di era digital ini.
Dalam dunia yang semakin bergantung pada teknologi, seperti tablet atau laptop, banyak anak yang lebih fokus pada jempol mereka daripada pada kemampuan untuk menulis tangan.
Shahnaz mengingatkan bahwa menulis tangan memberikan kesempatan bagi anak untuk benar-benar memahami informasi yang mereka terima, tidak hanya sekadar menghafal.
"Anak-anak perlu kembali menulis tangan karena itu membantu mereka memahami apa yang mereka pelajari, bukan sekadar menghafal," ujar Shahnaz.
Selain pentingnya mengaktifkan otak kiri (logika) dan otak kanan (kreativitas), Shahnaz juga membahas bagaimana otak tengah, yang mengatur intuisi dan insting, dapat dilatih untuk mempersiapkan anak menghadapi tantangan hidup.
Salah satu cara untuk melatih otak tengah ini adalah dengan membiarkan anak-anak menghadapi konsekuensi dari kelalaian mereka, atau yang dikenal dengan istilah "Power of Kepepet", mendorong mereka untuk belajar dari kesalahan dan mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka.
"Jangan selalu melindungi anak dari setiap masalah yang mereka hadapi," katanya. "Biarkan mereka belajar untuk menyelesaikan masalah sendiri. Dengan cara ini, anak-anak akan mengembangkan keterampilan emosional yang stabil, serta kemampuan untuk menghadapi tantangan hidup dengan lebih baik,” pungkasnya.
(nnz)
Lihat Juga :