Monitoring Gunung Api dari Luar Angkasa, ITB Datangkan Dosen BGS Inggris
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia dikenal sebagai negara yang berada di cincin api (ring of fire). Oleh sebab itu, Indonesia sering mengalami gempa dan aktivitas gunung berapi sehingga perlu adanya monitoring terutama di area gunung yang masih aktif. Namun, tidak semua gunung dapat dimonitor karena adanya keterbatasan dalam akses dan instrumen.
Dalam menjawab tantangan tersebut, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB)-ITB mendatangkan dosen tamu Alessandro Novellino dari British Geological Survey yang membahas mengenai pemantauan gunung berapi dari luar angkasa (space). Kuliah umum yang bertemakan “Observing Volcanoes from Space” tersebut diadakan secara daring.
“Materinya sangat penting, karena lebih dari sejuta rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di daerah gunung berapi yang rawan akan erupsi. Sebagaimana kita tahu, tidak semua gunung dapat dimonitor sehingga perlu adanya satelit untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Irwan Meilano selaku Dekan FITB-ITB, seperti dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (21/10/2020). (Baca juga: Para Profesor IPB University Bedah Strategi Menjadi Guru Besar )
Selain itu, ia menambahkan bahwa kuliah umum ini menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mempelajari lebih lanjut berkaitan dengan aktivitas volcano di Indonesia sehingga dapat melakukan mitigasi untuk meminimalisir risikonya.
Selanjutnya dalam sesi paparan, Novelliona mengatakan, bahwa informasi kunci atau parameter untuk menilai risiko dari suatu gunung berapi bisa dilihat dari perubahan level emisi gas, hidrologi, aliran panas, kegempaan, dan deformasi tanah. “Parameter ini sangat penting dimonitor untuk mengetahui situasi yang tidak normal di area gunung api. Beberapa dari parameter tersebut dapat dipantau melalui satelit yang memberikan informasi berkaitan dengan aktivitas gunung berapi,” imbuhnya. (Baca juga: Kolaborasi Riset, UI Inisiasi Pertemuan Peneliti UI dan Dispora Indonesia )
Salah satu aplikasi dalam monitoring gunung berapi dari luar angkasa (space) adalah dengan penggunaan Earth Observing (EO). Media ini berguna untuk mengumpulkan informasi tentang planet menggunakan penginderaan jarak jauh yang berbasis satelit. “Dengan EO kita bisa berada di atmosfer, luar angkasa, maupun di permukaan bumi tanpa menyentuh objeknya. Dan itu sangat penting untuk mengetahui parameter aktivitas gunung api,” jelas Novelliona.
Ia melanjutkan, EO ini sangat penting untuk diterapkan. Hal ini karena tidak semua gunung berapi dapat terpantau secara instrumental sehingga kita tidak mengetahui apa yang terjadi. Oleh karena itu, dengan bantuan EO dapat menjadi pelengkap untuk mengumpulkan informasi. “Untuk Indonesia sendiri EO sangat penting untuk diterapkan, karena Indonesia memiliki lebih dari 10.000 pulau dan lebih dari 100 gunung berapi aktif sehingga biayanya akan sangat mahal jika di monitor secara manual. Oleh karena itu EO dapat menjadi solusi,” ujarnya. (Baca juga: Bantu Peternak, Dua Mahasiswa ITS Gagas Sistem Kandang Cerdas )
Novelliona memberikan contoh kasus monitoring gunung berapi menggunakan EO di Indonesia yaitu Gunung Anak Krakatau. Dari pengamatan, hasil yang didapatkan jauh lebih bersih dengan resolusi yang bagus sehingga peneliti dapat mendapatkan banyak data atau informasi dari hasil citra EO tersebut. “Dari aktivitas gunung anak krakatau, EO dapat memberikan informasi berkaitan dengan volume runtuhan subaerial dan submarine, karakteristik degassing & aktivitas emisi, dan perubahan karakteristik topografi & pesisir,” pungkasnya.
Lihat Juga: Posko Lapor Mas Wapres Dibuka, BEM UIN Makassar Ngadu 31 Mahasiswa Diskors Gegara Protes
Dalam menjawab tantangan tersebut, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB)-ITB mendatangkan dosen tamu Alessandro Novellino dari British Geological Survey yang membahas mengenai pemantauan gunung berapi dari luar angkasa (space). Kuliah umum yang bertemakan “Observing Volcanoes from Space” tersebut diadakan secara daring.
“Materinya sangat penting, karena lebih dari sejuta rakyat Indonesia yang bertempat tinggal di daerah gunung berapi yang rawan akan erupsi. Sebagaimana kita tahu, tidak semua gunung dapat dimonitor sehingga perlu adanya satelit untuk mengatasi masalah tersebut,” kata Irwan Meilano selaku Dekan FITB-ITB, seperti dikutip dari laman resmi ITB, Rabu (21/10/2020). (Baca juga: Para Profesor IPB University Bedah Strategi Menjadi Guru Besar )
Selain itu, ia menambahkan bahwa kuliah umum ini menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mempelajari lebih lanjut berkaitan dengan aktivitas volcano di Indonesia sehingga dapat melakukan mitigasi untuk meminimalisir risikonya.
Selanjutnya dalam sesi paparan, Novelliona mengatakan, bahwa informasi kunci atau parameter untuk menilai risiko dari suatu gunung berapi bisa dilihat dari perubahan level emisi gas, hidrologi, aliran panas, kegempaan, dan deformasi tanah. “Parameter ini sangat penting dimonitor untuk mengetahui situasi yang tidak normal di area gunung api. Beberapa dari parameter tersebut dapat dipantau melalui satelit yang memberikan informasi berkaitan dengan aktivitas gunung berapi,” imbuhnya. (Baca juga: Kolaborasi Riset, UI Inisiasi Pertemuan Peneliti UI dan Dispora Indonesia )
Salah satu aplikasi dalam monitoring gunung berapi dari luar angkasa (space) adalah dengan penggunaan Earth Observing (EO). Media ini berguna untuk mengumpulkan informasi tentang planet menggunakan penginderaan jarak jauh yang berbasis satelit. “Dengan EO kita bisa berada di atmosfer, luar angkasa, maupun di permukaan bumi tanpa menyentuh objeknya. Dan itu sangat penting untuk mengetahui parameter aktivitas gunung api,” jelas Novelliona.
Ia melanjutkan, EO ini sangat penting untuk diterapkan. Hal ini karena tidak semua gunung berapi dapat terpantau secara instrumental sehingga kita tidak mengetahui apa yang terjadi. Oleh karena itu, dengan bantuan EO dapat menjadi pelengkap untuk mengumpulkan informasi. “Untuk Indonesia sendiri EO sangat penting untuk diterapkan, karena Indonesia memiliki lebih dari 10.000 pulau dan lebih dari 100 gunung berapi aktif sehingga biayanya akan sangat mahal jika di monitor secara manual. Oleh karena itu EO dapat menjadi solusi,” ujarnya. (Baca juga: Bantu Peternak, Dua Mahasiswa ITS Gagas Sistem Kandang Cerdas )
Novelliona memberikan contoh kasus monitoring gunung berapi menggunakan EO di Indonesia yaitu Gunung Anak Krakatau. Dari pengamatan, hasil yang didapatkan jauh lebih bersih dengan resolusi yang bagus sehingga peneliti dapat mendapatkan banyak data atau informasi dari hasil citra EO tersebut. “Dari aktivitas gunung anak krakatau, EO dapat memberikan informasi berkaitan dengan volume runtuhan subaerial dan submarine, karakteristik degassing & aktivitas emisi, dan perubahan karakteristik topografi & pesisir,” pungkasnya.
Lihat Juga: Posko Lapor Mas Wapres Dibuka, BEM UIN Makassar Ngadu 31 Mahasiswa Diskors Gegara Protes
(mpw)