BPIP Gandeng Komunitas Adat Sumba untuk Wujudkan Pembudayaan Pancasila
loading...
A
A
A
SUMBA - Direktorat Pembudayaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menggandeng sejumlah komunitas adat Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tujuan utamanya adalah untuk menggali tradisi nilai-nilai lokal yang tumbuh dalam rangka mewujudkan pembudayaan pancasila .
Tim Pembudayaan Gotong Royong Sumba-Ende, NTT, yang dipimpin budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, dengan didampingi Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, dan akademisi Mukti Ali Qusyairi, mengunjungi beberapa perkampungan adat penganut kepercayaan Marapu di Sumba. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Dua perkampungan adat yang didatangi tim BPIP adalah, Kampung Adat Tarung, Kecamatan Loli, Waikabubak, Sumba Barat, NTT dan Kampung Adat Ratenggaro, di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Di kedua kampung adat ini, Tim BPIP bertemu dengan Rato, sebutan untuk tokoh adat kampung setempat.
Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adatnya (Uma Kelada) yang memiliki ciri khas menara menjulang tinggi mencapai 15 meter. Atapnya menggunakan bahan dasar jerami dan tinggi rendahnya atap ditentukan oleh tinggi rendahnya status mereka.
Masyarakat setempat masih menyakini filosofi harmonisasi alam dengan kehidupan manusia. Kedua kampung adat tersebut merupakan salah satu potret peradaban megalitikum yang masih mempertahankan orisinalitas kebudayaan di Indonesia. Dimana masih terdapat kuburan batu tua di sekitar perkampungan, bahkan di setiap halaman rumahnya. Tak heran jika kemudian kepercayaan penduduknya masih merujuk pada agama leluhur. (Baca juga: Uji Klinis Vaksin Sinovac Rampung, BPOM: Aspek Mutunya Baik )
Selain mengunjungi dua kampung adat tersebut, Tim BPIP juga menemui sejumlah tokoh Adat Sumba, yakni Pelestari Rumah Budaya Sumba Robert Ramone dan pemilik rumah Tenun Sumba, Ignasius Hapu Karanjaya. Selain keduanya, Tim juga berkunjung ke sejumlah tokoh adat Sumba lainnya.
Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga mengatakan, lembaganya datang ke Sumba, NTT, untuk menggali nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam budaya Sumba. Kenapa Sumba? Karena Sumba merupakan salah satu daerah yang menarik. Dimana, 50 persen lebih masyarakatnnya masih menganut dan meneruskan kepercayaan nenek moyangnya, yaitu aliran kepercayaan lokal, yaitu Marapuh.
“Tim BPIP yang terdiri dari berbagai ragam latar belakang ini akan membaca itu, kemudian akan dijadikan bahan perumusan pembudayaan pancasila secara komprehensif,” kata Irene usai mengunjungi kampung adat di Sumba, NTT, Minggu (22/11). (Baca juga: Megawati Beri Konsep Gotong Royong Berskala Dunia di China )
Menurutnya, kepercayaan lokal Marapuh ini cerdas karena mengikat komunitasnya dengan regulasi atau sitem untuk pelestarian. Artinya, ketika salah satu panganut kepercayaan lokal ini melahirkan anak, secara otomatis terikat warisan tanah dan adat. Bertolak belakang dengan kepercayaan agama lain, dimana kelahiran anak tidak melahirkan warisan sebagaimana kepercayaan Marapuh.
Irene juga menyoroti soal pendidikan masyarakat penganut kepercayaan marapuh. Menurutnya, ajaran kepercayaan Marapuh bukan formalisme di sekolah, tapi pengajaran terus menerus dan bertahap. Hal tersebut merupakan cara internalisasi mereka dalam mendidik dan mewarisi budaya adatnya kepada anak-anaknya.
Tim Pembudayaan Gotong Royong Sumba-Ende, NTT, yang dipimpin budayawan dari Universitas Indonesia (UI) Ngatawi Al Zastrouw, dengan didampingi Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga, Budayawan Taufik Rahzen, dan akademisi Mukti Ali Qusyairi, mengunjungi beberapa perkampungan adat penganut kepercayaan Marapu di Sumba. (Baca juga: BPIP: Penyelenggara Negara Wajib Tanamkan Nilai Pancasila lewat Keadilan Sosial )
Dua perkampungan adat yang didatangi tim BPIP adalah, Kampung Adat Tarung, Kecamatan Loli, Waikabubak, Sumba Barat, NTT dan Kampung Adat Ratenggaro, di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT. Di kedua kampung adat ini, Tim BPIP bertemu dengan Rato, sebutan untuk tokoh adat kampung setempat.
Kampung ini memiliki keunikan pada rumah adatnya (Uma Kelada) yang memiliki ciri khas menara menjulang tinggi mencapai 15 meter. Atapnya menggunakan bahan dasar jerami dan tinggi rendahnya atap ditentukan oleh tinggi rendahnya status mereka.
Masyarakat setempat masih menyakini filosofi harmonisasi alam dengan kehidupan manusia. Kedua kampung adat tersebut merupakan salah satu potret peradaban megalitikum yang masih mempertahankan orisinalitas kebudayaan di Indonesia. Dimana masih terdapat kuburan batu tua di sekitar perkampungan, bahkan di setiap halaman rumahnya. Tak heran jika kemudian kepercayaan penduduknya masih merujuk pada agama leluhur. (Baca juga: Uji Klinis Vaksin Sinovac Rampung, BPOM: Aspek Mutunya Baik )
Selain mengunjungi dua kampung adat tersebut, Tim BPIP juga menemui sejumlah tokoh Adat Sumba, yakni Pelestari Rumah Budaya Sumba Robert Ramone dan pemilik rumah Tenun Sumba, Ignasius Hapu Karanjaya. Selain keduanya, Tim juga berkunjung ke sejumlah tokoh adat Sumba lainnya.
Direktur Pembudayaan BPIP Irene Camelyn Sinaga mengatakan, lembaganya datang ke Sumba, NTT, untuk menggali nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam budaya Sumba. Kenapa Sumba? Karena Sumba merupakan salah satu daerah yang menarik. Dimana, 50 persen lebih masyarakatnnya masih menganut dan meneruskan kepercayaan nenek moyangnya, yaitu aliran kepercayaan lokal, yaitu Marapuh.
“Tim BPIP yang terdiri dari berbagai ragam latar belakang ini akan membaca itu, kemudian akan dijadikan bahan perumusan pembudayaan pancasila secara komprehensif,” kata Irene usai mengunjungi kampung adat di Sumba, NTT, Minggu (22/11). (Baca juga: Megawati Beri Konsep Gotong Royong Berskala Dunia di China )
Menurutnya, kepercayaan lokal Marapuh ini cerdas karena mengikat komunitasnya dengan regulasi atau sitem untuk pelestarian. Artinya, ketika salah satu panganut kepercayaan lokal ini melahirkan anak, secara otomatis terikat warisan tanah dan adat. Bertolak belakang dengan kepercayaan agama lain, dimana kelahiran anak tidak melahirkan warisan sebagaimana kepercayaan Marapuh.
Irene juga menyoroti soal pendidikan masyarakat penganut kepercayaan marapuh. Menurutnya, ajaran kepercayaan Marapuh bukan formalisme di sekolah, tapi pengajaran terus menerus dan bertahap. Hal tersebut merupakan cara internalisasi mereka dalam mendidik dan mewarisi budaya adatnya kepada anak-anaknya.