Khawatir, Sekolah Tatap Muka Awal Januari Butuh Kajian Cermat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kekhawatiran muncul jelang rencana pembelajaran tatap muka yang mulai aktif kembali pada Januari 2021. Tak hanya sebagian sekolah maupun para orang tua, keresahan itu juga mengular di kalangan legislatif Senayan.
Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah mengusulkan agar pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayan serta pemerintah daerah untuk tidak tergesa-gesa dalam menerapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di sekolah pada awal 2021. Hal itu dilatarbelakangi kasus paparan virus Corona (Covid-19) yang masih tinggi jelang akhir tahun ini. (Baca juga: Salip 45 Negara, Tim Fisika Indonesia Raih 2 Emas 1 Perunggu pada IdPhO 2020 )
Berdasarkan data yang diumumkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga 21 Desember 2020, jumlah kasus positif sudah tembus mencapai 671 ribu orang. Lebih dari 20 ribu orang harus meregang nyawa.
“Jangan memaksakan KBM tatap muka bulan Januari, mengingat masih sangat tinggi kasusnya. Apalagi dikhawatirkan ada lonjakan kasus klaster liburan akhir tahun,” tegas Ledia kepada SINDOnews, Selasa (22/12/2020).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menuturkan bahwa pemerintah pusat sudah menyerahkan keputusan KBM tatap muka pada kepada pemerintah daerah (pemda). Sebelum memutuskan untuk membuka kembali kegiatan di sekolah, maka diperlukan kajian dan analisa yang sangat cermat. (Baca juga: Tim Pelajar Indonesia Raih Emas di Kompetisi Robot Dunia )
Jika memang ada daerah yang tetap membolehkan KBM tatap muka, Ledia menegaskan bahwa keputusan tetap harus mempertimbangkan pendapat dari kepala sekolah dan komite sekolah yang mewakili orang tua. Termasuk jika nantinya memutuskan untuk tetap belajar dari rumah (BDR).
“Yang lebih saya khawatirkan adalah euphoria siswa dengan KBM Tatap Muka karena sudah jenuh BDR. Pengendalian perilaku siswa, guru, orang tua menjadi salah satu kunci keselamatan,” ujar dia.
Demikian juga bila ada sekolah yang menyelenggarakan tatap muka namun orang tua belum mengizinkan anaknya untuk belajar di sekolah. Ledia meminta agar sekolah harus memfasilitasi siswa yang memilih tetap BDR.
Tak hanya itu, Dewan Pembina Yayasan Uswah Ummahat itu menyarankan pemda maupun sekolah perlu memikirkan biaya skrining atau pemeriksaan awal kondisi kesehatan siswa dan guru agar sekolah tidak menjadi klaster baru.
“Pemerintah juga harus secara massif membekali para orang tua untuk mendampingi anak BDR mengingat banyak ortu yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan. Juga dimassifkan penjelasan tentang parenting melalui televisi, radio, sosial media bekerja sama dengan organisasi pendidik atau profesi psikologi agar orang tua juga terbekali, bukan terbebani,” tandasnya.
Anggota Komisi X DPR Ledia Hanifa Amaliah mengusulkan agar pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayan serta pemerintah daerah untuk tidak tergesa-gesa dalam menerapkan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di sekolah pada awal 2021. Hal itu dilatarbelakangi kasus paparan virus Corona (Covid-19) yang masih tinggi jelang akhir tahun ini. (Baca juga: Salip 45 Negara, Tim Fisika Indonesia Raih 2 Emas 1 Perunggu pada IdPhO 2020 )
Berdasarkan data yang diumumkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, hingga 21 Desember 2020, jumlah kasus positif sudah tembus mencapai 671 ribu orang. Lebih dari 20 ribu orang harus meregang nyawa.
“Jangan memaksakan KBM tatap muka bulan Januari, mengingat masih sangat tinggi kasusnya. Apalagi dikhawatirkan ada lonjakan kasus klaster liburan akhir tahun,” tegas Ledia kepada SINDOnews, Selasa (22/12/2020).
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menuturkan bahwa pemerintah pusat sudah menyerahkan keputusan KBM tatap muka pada kepada pemerintah daerah (pemda). Sebelum memutuskan untuk membuka kembali kegiatan di sekolah, maka diperlukan kajian dan analisa yang sangat cermat. (Baca juga: Tim Pelajar Indonesia Raih Emas di Kompetisi Robot Dunia )
Jika memang ada daerah yang tetap membolehkan KBM tatap muka, Ledia menegaskan bahwa keputusan tetap harus mempertimbangkan pendapat dari kepala sekolah dan komite sekolah yang mewakili orang tua. Termasuk jika nantinya memutuskan untuk tetap belajar dari rumah (BDR).
“Yang lebih saya khawatirkan adalah euphoria siswa dengan KBM Tatap Muka karena sudah jenuh BDR. Pengendalian perilaku siswa, guru, orang tua menjadi salah satu kunci keselamatan,” ujar dia.
Demikian juga bila ada sekolah yang menyelenggarakan tatap muka namun orang tua belum mengizinkan anaknya untuk belajar di sekolah. Ledia meminta agar sekolah harus memfasilitasi siswa yang memilih tetap BDR.
Tak hanya itu, Dewan Pembina Yayasan Uswah Ummahat itu menyarankan pemda maupun sekolah perlu memikirkan biaya skrining atau pemeriksaan awal kondisi kesehatan siswa dan guru agar sekolah tidak menjadi klaster baru.
“Pemerintah juga harus secara massif membekali para orang tua untuk mendampingi anak BDR mengingat banyak ortu yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keguruan. Juga dimassifkan penjelasan tentang parenting melalui televisi, radio, sosial media bekerja sama dengan organisasi pendidik atau profesi psikologi agar orang tua juga terbekali, bukan terbebani,” tandasnya.
(mpw)