Lebih Efektif, Direktur Diktis: PTKIN Harus Seriusi Pembelajaran Digital

Jum'at, 12 Maret 2021 - 00:03 WIB
loading...
Lebih Efektif, Direktur Diktis: PTKIN Harus Seriusi Pembelajaran Digital
Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama Prof. Dr Suyitno dalam Rapat Kerja Pimpinan UIN Jakarta, Rabu (10/3). Foto/Dok/Humas UIN
A A A
JAKARTA - UIN Jakarta maupun Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) lain di tanah air diminta terus meningkatkan sistem perkuliahan digital. Tidak hanya menyiasati pembelajaran di era pandemi, sistem pembelajaran digital juga turut memfasilitasi masyarakat yang kesulitan menempuh pendidikan tinggi akibat kebijakan belajar di ruang kelas atau sit in.

Demikian disampaikan Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementerian Agama RI Prof. Dr Suyitno saat menjadi pembicara kunci dalam Rapat Kerja Pimpinan UIN Jakarta di Syahida Inna, Rabu (10/3). Situasi pandemi setahun terahir, tuturnya, memberi pelajaran besar pentingnya mengadopsi sistem pembelajaran berbasis digital.



Selain menghindarkan resiko kesehatan, pembelajaran berbasis digital juga bisa berlangsung lebih efektif dibanding di ruang kelas. Pasalnya, pembelajaran digital memungkinkan para mahasiswa tetap produktif mengisi aktifitasnya yang lain.

“Makanya, saya terkejut mengapa dosen kita misalnya masih banyak magister. Perlu didorong untuk kuliah virtual. Mereka bisa kuliah sambil tetap meneruskan aktifitasnya berceramah di tengah-tengah masyarakat,” katannya seperti dilansir dari laman resmi UIN Jakarta, Kamis (11/3/2021).

Profesor Suyitno juga mengingatkan, pentingnya pembelajaran berbasis digital sebagai pemenuhan tanggungjawab perguruan tinggi Islam dalam memenuhi hak pendidikan kelompok masyarakat yang selama ini tidak tersentuh. “Setidaknya ada tiga pangsa pasar yang tidak tersentuh perguruan tinggi. Dan itu potensial,” katanya.



Kelompok pertama, jelasnya, adalah ratusan ribu guru madrasah yang belum berpendidikan sarjana. Para guru ini kesulitan memenuhi ketentuan berpendidikan sarjana bahkan karenanya tidak mendapat tunjangan sertifikasi akibat sulit mengikuti perkuliahan di kelas.

“Jumlahnya masih ratusan ribu. Bahkan di Jakarta juga ada. Kita berdosa membuat mereka enggak bisa sarjana dan mendapat sertifikasi. Kenapa? Karena kita tidak punya program afirmasi untuk mereka. Kita selama ini masih menerapkan kuliah berbasis sit in,” paparnya.

Selanjutnya kelompok kedua, para tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Secara ekonomi, kelompok ini merupakan kelompok potensial, namun kesulitan melanjutkan pendidikan akibat pembelajaran berbasis ruang kelas.

“Mereka bukan tidak mau kuliah. Mereka harus bekerja untuk kebutuhan ekonomi keluarga. Bahkan tidak sedikit diantara mereka adalah yang putus kuliah dan merantau ke berbagai negara. Mau kuliah tidak mungkin karena tidak mungkin sit In. Ini harus cari solusi digital,” paparnya lagi.

Terakhir, kelompok pemuka agama Islam seperti da’i atau kyai. Rata-rata para da’i hanya menamatkan pendidikan formal di jenjang Madrasah Aliyah dan lebih memilih fokus mendalami pengetahuan Islam di pondok pesantren.

“Umumnya sudah tafaquh fiddin, tapi legal formalnya tidak ada. Maka kita harus fasilitasi mereka dengan memberikan ruang kuliah berbasis digital dan virtual,” tambahnya. “Tiga pangsa pasar saja ini luar biasa. Kampus tidak boleh diam. Semua kita pengambil kebijakan tidak boleh apatis, apalagi tdak peduli,” tandasnya.

Kementerian Agama RI sendiri, sambungnya, akan segera meluncurkan Cyber Islamic University dan menunjuk salah satu PTKIN sebagai pilot project-nya. Keberadaanya diharap menjadi model pembelajaran digital di lingkungan perguruan tinggi agama Islam di tanah air.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2072 seconds (0.1#10.140)