Dumask, Inovasi Kolaborasi Kampus Atasi Limbah Masker Medis dan Sarung Tangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Persoalan sampah masker dan sarung tangan plastik saat ini telah menjadi permasalahan tersendiri di seluruh dunia. Tidak terkecuali di Indonesia karena akibat pandemi Covid-19 membuat masker dan sarung tangan menjadi persoalan yang menimbulkan dilema.
Di satu sisi masker dan sarung tangan membantu warga dunia terhindar dari virus, di sisi lain ia sangat berbahaya bagi lingkungan. Bila sebelumnya rumah sakit ditengarai sebagai penghasil sampah medis terbesar maka masker dan sarung tangan saat ini menjadi penyumbang sampah keseharian di sebagian besar masyarakat.
Limbah medis yang dibuang tidak sesuai aturan yang ada kerap menimbulkan masalah. Limbah medis yang berakhir di daratan maupun perairan berisiko membahayakan fauna maupun ekosistem yang ada.
“Sepanjang tahun 2020 sudah didapatkan banyak bukti di lapangan bila masker bekas mampu menjerat hewan-hewan seperti burung dan penyu yang berujung pada kematian," ujar Chandra Wahyu Purnomo, ST, ME, M.Eng, D.Eng seperti dikutip dari laman resmi UGM di ugm.ac.id, Jumat (30/4)
Melihat permasalahan tersebut, menurutnya, diperlukan pengelolaan limbah yang tepat untuk mencegah penyebaran penyakit. Selain itu, untuk meminimalkan dampak lingkungan dan memanfaatkan potensi yang ada guna pemanfaatan lebih lanjut.
Chandra mengatakan berangkat dari keprihatinan tersebut, UGM berkolaborasi dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Sebelas Maret pada akhirnya membuat program berupa sistem pengelolaan limbah medis masker sekali pakai dan sarung tangan plastik untuk meminimalisasi dampak limbah ke lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah tersebut diberi nama Dumask (Dropbox-Used Mask). “Dumask ini kita buat dengan tujuan khusus untuk menyediakan jalur pembuangan masker dan sarung tangan bekas dari masyarakat umum yang aman dan ramah lingkungan," ucapnya.
Sebagai peneliti utama dalam proyek Dumask, ia menjelaskan bahwa proyek Dumask didanai oleh Program Penelitian Kolaborasi Indonesia (PPKI), yang dimulai sejak Februari-Oktober 2021. Proyek ini dimulai dengan pengumpulan limbah masker dan sarung tangan menggunakan boks, serta pembuatan aplikasi untuk memantau dropbox dan alat pembakarnya.
Dropbox ini bisa diletakkan di beberapa lokasi dan jika boks sudah penuh sampah akan memberikan notifikasi di aplikasi dan website. Selanjutnya, petugas akan datang dan mengambil boks tersebut dan sampah medis tersebut akan dihancurkan dengan pemanasan bersuhu tinggi atau yang lebih dikenal dengan metode pirolisis.
“Kebetulan UGM memiliki fasilitas Rumah Inovasi Daur Ulang (RINDU) yang berada di Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT). RINDU ini menjadi pusat pengolahan dan pengembangan teknologi sampah dan limbah dan memiliki peralatan pemusnahan limbah teknologi termal yang memadai," ungkapnya.
Chandra mengungkapkan reaktor pirolisis ini nantinya akan dikembangkan di universitas mitra lainnya. Program ini juga mendapat dukungan dari Universitas Airlangga, Universitas Ahmad Dahlan, Politeknik ATK, Universitas Janabadra, dan Universitas Proklamasi 45 yang kesemuanya tergabung dalam Indonesia Solid Waste Forum (ISWF).
Lebih detail, Chandra menjelaskan satu boks volume 30 liter mampu menampung sekitar 500 masker/sarung tangan bekas. Setelah boks penuh maka akan disegel dan dihancurkan dengan teknologi termal yaitu pirolisis dan incinerator. “Untuk teknologi yang kini masih memakai pemanas dari api kompor gas," jelasnya.
Bahan untuk membuat Dumask adalah boks karton dan tempat stainles steel karenanya untuk kecepatan produksi sangat bergantung kecepatan perusahaan boks dan bengkel.
Biaya per boks karton karena masih skala kecil menghabiskan biaya Rp50 ribu. Harga ini tentu akan berbeda jika diproduksi secara massal dan harga akan jauh lebih murah.
“Kendala yang dihadapi saat ini adalah mencari industri pembuat boks karton yang custom kapasitas besar cukup sulit di Yogya. Kesulitan lain mengajak masyarakat untuk membuang sampah, utamanya masker dan sarung tangan ke dropboks yang telah disediakan," paparnya.
Chandra pun berharap proyek Dumask bisa segera diadopsi oleh pemerintah daerah dan provinsi. Diharapkan dengan Dumask dapat menjadi kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah medis selama pandemi Covid-19.
Di satu sisi masker dan sarung tangan membantu warga dunia terhindar dari virus, di sisi lain ia sangat berbahaya bagi lingkungan. Bila sebelumnya rumah sakit ditengarai sebagai penghasil sampah medis terbesar maka masker dan sarung tangan saat ini menjadi penyumbang sampah keseharian di sebagian besar masyarakat.
Limbah medis yang dibuang tidak sesuai aturan yang ada kerap menimbulkan masalah. Limbah medis yang berakhir di daratan maupun perairan berisiko membahayakan fauna maupun ekosistem yang ada.
“Sepanjang tahun 2020 sudah didapatkan banyak bukti di lapangan bila masker bekas mampu menjerat hewan-hewan seperti burung dan penyu yang berujung pada kematian," ujar Chandra Wahyu Purnomo, ST, ME, M.Eng, D.Eng seperti dikutip dari laman resmi UGM di ugm.ac.id, Jumat (30/4)
Melihat permasalahan tersebut, menurutnya, diperlukan pengelolaan limbah yang tepat untuk mencegah penyebaran penyakit. Selain itu, untuk meminimalkan dampak lingkungan dan memanfaatkan potensi yang ada guna pemanfaatan lebih lanjut.
Chandra mengatakan berangkat dari keprihatinan tersebut, UGM berkolaborasi dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Sebelas Maret pada akhirnya membuat program berupa sistem pengelolaan limbah medis masker sekali pakai dan sarung tangan plastik untuk meminimalisasi dampak limbah ke lingkungan.
Sistem pengelolaan sampah tersebut diberi nama Dumask (Dropbox-Used Mask). “Dumask ini kita buat dengan tujuan khusus untuk menyediakan jalur pembuangan masker dan sarung tangan bekas dari masyarakat umum yang aman dan ramah lingkungan," ucapnya.
Sebagai peneliti utama dalam proyek Dumask, ia menjelaskan bahwa proyek Dumask didanai oleh Program Penelitian Kolaborasi Indonesia (PPKI), yang dimulai sejak Februari-Oktober 2021. Proyek ini dimulai dengan pengumpulan limbah masker dan sarung tangan menggunakan boks, serta pembuatan aplikasi untuk memantau dropbox dan alat pembakarnya.
Dropbox ini bisa diletakkan di beberapa lokasi dan jika boks sudah penuh sampah akan memberikan notifikasi di aplikasi dan website. Selanjutnya, petugas akan datang dan mengambil boks tersebut dan sampah medis tersebut akan dihancurkan dengan pemanasan bersuhu tinggi atau yang lebih dikenal dengan metode pirolisis.
“Kebetulan UGM memiliki fasilitas Rumah Inovasi Daur Ulang (RINDU) yang berada di Pusat Inovasi Agroteknologi (PIAT). RINDU ini menjadi pusat pengolahan dan pengembangan teknologi sampah dan limbah dan memiliki peralatan pemusnahan limbah teknologi termal yang memadai," ungkapnya.
Chandra mengungkapkan reaktor pirolisis ini nantinya akan dikembangkan di universitas mitra lainnya. Program ini juga mendapat dukungan dari Universitas Airlangga, Universitas Ahmad Dahlan, Politeknik ATK, Universitas Janabadra, dan Universitas Proklamasi 45 yang kesemuanya tergabung dalam Indonesia Solid Waste Forum (ISWF).
Lebih detail, Chandra menjelaskan satu boks volume 30 liter mampu menampung sekitar 500 masker/sarung tangan bekas. Setelah boks penuh maka akan disegel dan dihancurkan dengan teknologi termal yaitu pirolisis dan incinerator. “Untuk teknologi yang kini masih memakai pemanas dari api kompor gas," jelasnya.
Bahan untuk membuat Dumask adalah boks karton dan tempat stainles steel karenanya untuk kecepatan produksi sangat bergantung kecepatan perusahaan boks dan bengkel.
Biaya per boks karton karena masih skala kecil menghabiskan biaya Rp50 ribu. Harga ini tentu akan berbeda jika diproduksi secara massal dan harga akan jauh lebih murah.
“Kendala yang dihadapi saat ini adalah mencari industri pembuat boks karton yang custom kapasitas besar cukup sulit di Yogya. Kesulitan lain mengajak masyarakat untuk membuang sampah, utamanya masker dan sarung tangan ke dropboks yang telah disediakan," paparnya.
Chandra pun berharap proyek Dumask bisa segera diadopsi oleh pemerintah daerah dan provinsi. Diharapkan dengan Dumask dapat menjadi kontribusi nyata dalam pengelolaan sampah medis selama pandemi Covid-19.
(mpw)