Belajar Daring, Jangan Sampai Anak Jadi 'Cacing Kepanasan'

Jum'at, 06 Agustus 2021 - 15:04 WIB
loading...
Belajar Daring, Jangan Sampai Anak Jadi Cacing Kepanasan
Seorang siswa SD Islam Al Azhar, Depok, Yusuf Arkananta P mengikuti pembelajaran jarak jauh di rumahnya. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
SEMARANG - Belajar daring (dalam jaringan) kini menjadi aktivitas pelajar sehari-hari untuk mencegah penyebaran Covid-19. Mereka mesti belajar dari rumah memanfaatkan teknologi informasi dengan bermodalkan gadget berupa ponsel atau laptop.

Kebiasaan baru ini juga menyasar anak-anak yang baru masuk dunia pendidikan anak usia dini (PAUD). Tak ayal, bocah-bocah yang mestinya asyik bermain dipaksa berhadapan dengan layar laptop atau ponsel dalam waktu tak sebentar.



"Mereka (anak-anak) akan tergantung dari usia. Kalau dari SD sampai SMA mereka mungkin lebih banyak having fun, itu lebih cocok bagi mereka," kata pakar teknologi informasi, Dr Kristoporus Hadiono, Jumat (6/8/2021).

"Kalau seperti saya harus rapat mulai jam 1 siang sampai sore, 1,5 jam. Mereka (anak-anak) duduk manis menghadapi layar monitor mendengarkan kemudian menjawab kalau ada pertanyaan itu enggak akan kuat," terangnya.

"30 menit pertama mungkin masih oke, masuk 45 menit mungkin sudah kaya 'cacing kepanasan'. Lalu 1 jam berikutnya sudah bubar buyar penetrasinya," lugas Dekan Fakultas Teknologi Informasi (FTI) Universitas Stikubank (Unisbank) Semarang itu.



Untuk itu, dia menyarankan materi pembelajaran yang disampaikan secara daring menggunakan metode tepat. Materinya juga mesti dikemas menarik agar mengundang perhatian anak-anak, namun tak mengurangi esensi pembelajaran.

"Kalau kita lihat dalam dunia pendidikan, delivery materi pembelajaran lewat daring itu harus yang menarik, semenarik mungkin, makanya ada timbul gamivication jadi mendeliver materi dalam bentuk permainan. Karena lebih cenderung having fun saja anak-anak itu," tuturnya.

Sekadar diketahui, gamivication (gamifikasi) adalah penggunaan dari teknik desain permainan, permainan berpikir dan permainan mekanik untuk meningkatkan non-game konteks. Biasanya gamifikasi berlaku untuk non-game aplikasi dan proses, untuk mendorong orang, untuk mengadopsi mereka, atau untuk memengaruhi bagaimana mereka digunakan.



"Anak-anak itu dalam pendidikan dasar jauh lebih cepat memahami dalam bentuk permainan, lebih cepat menghafalkan, mengerti memahami, jadi dibuat game. Nanti kalau kamu begini hasilnya aktor dari game itu akan begini, poin yang kamu capai tidak akan tinggi," terangnya.

"Tetapi kalau kamu melakukan jalan dengan benar, poinnya akan tinggi seperti itu. Jadi akan mengarah ke sana," imbuh dia.

Sementara untuk anak-anak yang masuk jenjang SMP dan SMA, dinilai telah bisa memahami penggunaan gadget untuk belajar daring. Meski demikian, materi pembelajaran juga mesti dilakukan menarik agar anak-anak tak jenuh menatap layar.

"Kalau selepas SMA masuk kuliah ini juga transisi. Mereka masih harus beradaptasi, disiplinnya harus tinggi karena sudah mulai berhadapan dengan realita. Kalau tidak melakukan ini, maka akan mengalami hal yang negatifnya begini. Jadi tanggung jawabnya, kesadaran, disiplin diri, berbagai macam hal," tutup dia.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1747 seconds (0.1#10.140)