Kearifan Lokal, Macan Ompong Kurikulum Nasional

Sabtu, 23 Oktober 2021 - 09:21 WIB
loading...
Kearifan Lokal, Macan Ompong Kurikulum Nasional
Anton Suparyanta, Esais dan Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara. foto/istimewa
A A A
Anton Suparyanta
Esais dan Buruh Perbukuan di PT Penerbit Intan Pariwara

KONON kita hidup pada abad yang berlari ini selalu membuncahkan gimik kata-kata. Sekadar contoh di bidang persekolahan muncul sekolah penggerak, guru penggerak, profil pelajar Pancasila, pun paket merdeka belajar. Gimik ini membuat kulit wajah pendidikan mengerut ketimbang mengilap. Belum lagi kita dikerjai istilah 4.0 yang bergegas digodai istilah 5.0. Gerangan apa ini?

baca juga: Arab Saudi Masukkan Epos Hindu Ramayana dalam Kurikulum Sekolah Baru

Gaung empat kecakapan abad XXI telah mencabik dunia buku, guru, siswa, dan sekolah. Tiliklah ngiang 1) penguatan pendidikan karakter (PPK), 2) peluit literasi di lini pendidikan, 3) sinergi analisis pola pikir 4C (kreatif, kritis, komunikatif, dan kerja sama; atau four Cs: creativity, critical thinking, communications skills, and collaboration), dan 4) pengakuan kritis secara nasional terhadap higher order thinking skills (HOTS). Siapa yang mau bergerak untuk berubah?

Beragam reka daya telah dikemas dengan sayembara, lomba, hingga olimpiade seputar pendidikan. Prestasi dan prestise dimeteraikan dengan kurikulum terbaru. Namun, buah harapannya masihlah fantasi yang fantastis jika enggan dicap delusi atau utopis. Adakah kiprah positifnya?

Ambisi yang menggejolak adalah tidak sedikit sekolah di kota besar mulai berani memproyeksikan diri berbasis budaya. Visi basis budaya mengemban arti bahwa kearifan lokal sadar dibutuhkan. Ide besar ini pernah digenggam di Surakarta, Yogyakarta, dan Bandar Lampung. Bahkan, proyek serupa muncul di Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Bagaimana gereget kontinuitasnya kali ini?

Ambisi Daerah

Sudah diidam-idamkan, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur berselingkung dengan dosen FBS Unesa-Surabaya memporsir buku teks-ajar Tantri Basa (SD), Kirtya Basa (SMP), dan Sastri Basa (SMA). MGMP Mulok DIY pun menyuntik literasi ajar dengan Ajar Basa, Kartika, dan Wibawa. Tiga jenis buku teks siswa berbahasa Jawa ini dipasarkan kala terjadi krisis buku ajar muatan lokal. Prinsipnya pengadaan buku teks menjadi nomor satu dan mutu menjadi nomor dua. Justru yang ditonjolkan terjadinya sinergi buku dengan niatan Kurikulum 2013.

baca juga: Pertama di Dunia, Game This War of Mine Masuk Kurikulum Sekolah di Polandia

Tilik juga, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta memberdayakan kurikulum daerah untuk muatan lokal (mulok) pilihan. Ada empat mulok pilihan yakni seni tari gaya Yogya, seni karawitan gaya Yogya, seni batik, dan kerajinan tangan. Mulok pilihan akan diajarkan mulai jenjang TK. Tekad ini menjadi upaya daerah untuk mengakomodasi kearifan lokal sebagai urat nadi pendidikan karakter (tabiat, watak, perilaku, pun budi pekerti). Terdengar selentingan di kota X berani memasukkan olahraga panahan untuk segera dilentingkan. Nah, jangan-jangan adu gaming juga menjadi terobosan untuk diajarkan!

Beberapa semester lalu angkat topi jika niat kaum intelek Jawa Tengah, Jawa Barat, Yogyakarta, Surakarta, Jakarta, dan Lampung sadar mengemas ragam pendidikan penguatan karakter dan kearifan lokal dalam kurikulum. Janganlah niat ini hanya pemanis untuk menutupi mulok Bahasa Jawa yang direkomendasikan provinsi (Jateng, Jatim, dan DIY). Janganlah menumpuk catatan buram seperti gagasan mulok di Surakarta tentang kurikulum batik yang hingga kini stagnan. Padahal draf kurikulum batik siap.

Draf buku teks ajar tentang batik sudah editing penerbitan. Janganlah hanya berhenti di kisahan seperti kompetisi alat peraga pembelajaran yang sebatas melahirkan kumpulan jawara, tetapi kembang kempis aplikasi. Sebagai tagihan serupa, janganlah gerakan literasi bangsa sekadar gagah dalam kebijakan (Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015).

baca juga: BPIP Dukung Panca Main Masuk Kurikulum Sekolah

Mengapa mulok yang mestinya lumbung pendidikan karakter dan kearifan lokal harus digarap intensif? Satu alasan pasti, kearifan lokal sekadar pupuk bawang kurikulum nasional. Kearifan lokal salah satu sumber primordialisme di Nusantara menjadi mentah untuk dipatenkan secara nasional. Lebih utopis lagi jika kearifan lokal dipaksakan dalam kurikulum nasional.

Solusinya, menjadi bernas jika lumbung nilai kebajikan lokal diberdayakan dalam kurikulum muatan lokal. Bukankah kurikulum nasional dan kurikulum muatan lokal sama-sama menawarkan syarat standar penilaian buku? Baik penilaian buku teks pelajaran, buku pengayaan, maupun buku referensi dibuat standar layak mutu.

Nasionalisasi Kearifan Lokal

Kita sangat mengapresiasi bahwa Indonesia multietnis, multikultur, dan multinilai kearifan lokal. Sangat tidak etis jika memaksakan diri semua kearifan lokal suatu daerah untuk dilebur menjadi kearifan nasional.

Ada satu cara bahwa materi kearifan lokal akan menjadi kiblat bahasan nasional. Satu contoh bahwa substansi materi lalu lintas sepadan dengan ide pendidikan penguatan karakter, kewirausahaan, cinta bahari, cinta lingkungan, iklim, antikorupsi, bahkan pendidikan ekonomi kreatif yang sesungguhnya butuh waktu untuk menuai hasil. Kalaupun tidak sedikit kritisi pendidikan yang sudah mengklaim dini bahwa sematan nilai pendidikan itu sebatas alur gaya pikir yang emosionalitas temporer.

baca juga: Bupati Jayapura Meluncurkan Kurikulum Muatan Lokal Bahasa Ibu

Untuk itu, cara mengangkat kearifan lokal menjadi nasional yaitu dengan menjadikan materi atau bahan ajar (yang disusun sesuai Kompetensi Inti-KI dan Kompetensi Dasar-KD) sungguh-sungguh dipilih dari ceruk budaya lokal. Kelemahan selama ini, sedikit buku ajar nasional yang direkomendasi Pemerintah melalui proyek penilaian Puskurbuk itu yang berbau kearifan lokal. Terjadilah ompong implementasi. Padahal KD yang dijabarkan dalam beberapa indikator sangat leluasa mengeksplorasi nilai kearifan lokal. KI yang mencantumkan aspek religius-moral-afektif pun bisu, sebatas gagah bahasa instrumen kurikulum. Nol untuk tataran praksis pembelajaran di kelas.

Mulok dan Kearifan Lokal

Siapa yang masih peduli merawat kearifan lokal di jagat Nusantara ini? Di ranah pendidikan formal, kearifan lokal sedikit demi sedikit dituangkan dalam buku ajar, khususnya melalui rekomendasi kurikulum mulok; baik berupa buku pelajaran maupun buku pengayaan.

Harus ditagih lagi, Provinsi Jateng men-setting penilaian buku mulok berkategori bahasa dan sastra Jawa. Sekadar contoh, sebelum dilibas pandemi, semester kedua 2017 silam, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah mengadakan penilaian pustaka (buku bacaan dan buku referensi) muatan lokal Bahasa Jawa untuk jenjang SMK dan SMA. Awal September 2017 menjadi batas penyerahan final dummy (sampel buku jadi). Profisiat kepada para penulis dan penerbit yang menjadi unggulan tender seperti PT Intan Pariwara, Saka Mitra Kompetensi, Erlangga, dan Suara Media Sejahtera. Profisiat kepada Drs. Irawan HG MPd, Bambang Sulanjari SSM A, dan Yusro Edy N SS MHum. selaku tim kurator bahasa, penyajian, dan materi.

baca juga: Lestarikan Kearifan Lokal, Bupati Maros Minta Kecapi Diajarkan ke Anak-Anak

Yuk, bergerak lagi agar terjadi perubahan. Di balik perhelatan proyek besar itu tumbuhlah simalakama untuk para dwija, guru spesialis mapel Bahasa Jawa. Apakah mereka ikut bergerak untuk berubah? Bak Sisiphus, muncullah suluk, “Apa kabar guru mapel Bahasa Daerah (Bahasa Jawa) di penjuru Provinsi Jawa Tengah pun DIY? Buku ajar seperti apa yang Anda gunakan untuk mengajar peserta didik? Sudahkah Anda studi banding dengan buku ajar anyar yang dirilis Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, tetangga sebelah?”

Di Bandar Lampung tim P3KG menetapkan model integrasi sebagai konsep penyusunan kurikulum ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat membukukan seri Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang sarat materi dan latihan. Tahun silam DKI Jakarta merilis buku muatan lokal, tetapi menuai kasus susila dan karakter, serta diklaim menodai kearifan budaya lokal Betawi.

Berkaca dari sini cukup genius, kearifan lokal menjadi huma potensial jika dikelola kurikulum muatan lokal. Justru menjadi friksi politis jika memaksakannya dalam skala nasional. Untuk menyikapi masalah ini nilai bijak bisa dianut, yaitu sikap empan papan memosisikan kearifan lokal dalam sistem pendidikan kita agar tidak delusif. Yuk, bareng bergerak supaya berubah.*
(ymn)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1098 seconds (0.1#10.140)