Banji Jamping Guru Visioner
loading...
A
A
A
Anton Suparyanta
Esais, Buruh di Perbukuan PT Intan Pariwara Jawa Tengah
Siapakah kini yang masih menampik webinar atau zoominar? Awalnya dicerca, kini diakrabi. Refleksinya, pandemi covid-19 dan era digital menjungkirbalikkan cara pandang pembelajaran terhadap laju zaman.
Era digital, era virtual, dunia maya sudah jamak di mata dan telinga pelaku pendidikan bangsa. Salah satu tonggaknya gaduh webinar atau zoominar yang benar-benar memaksa adab segera berlari. Tak ada celah aman di zona nyaman. Semua gaduh. Apa pun ditali digitalisasi.
baca juga: Mudah, Begini Cara Mengecek Kuota Internet Gratis Kemendikbudristek
Kiwari adalah era adaptif. Moda gerak dunia adaptif. Tak bisa dimungkiri, ranah pendidikan pun adaptif. Untuk dunia pendidikan era digital-virtual seperti yang berkecamuk ini, masih potensialkah peran dan peranan guru di kelas? Lalu, seberapa adaptifkah buku-buku teks pelajaran ketika menyoal guru-guru di tengah karut-marut dampak pandemi? Yang pasti adalah butuh notula-notula reflektif.
Semua lini kehidupan bergerak! Zaman berubah. Kurikulum berubah. Kompetensi berubah. Pembelajaran berubah. Peranti (sarana dan prasarana) belajar berubah. Pola dan cara ajar berubah. Apakah mindset para guru juga berubah? Saat inilah momentum guru adaptif ditagih. Visionernya, guru bergerak untuk belajar berubah. Platform digitalisasi terkuak.
Guru Visioner
Roh adaptif ini telah ditabuh Mas Menteri Nadiem. Kapan ditagih? Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama. Di mana pun Anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas Anda: 1) ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengarkan; 2) berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas; 3) cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas; 4) temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri; 5) tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan.
baca juga: Kemendikbudristek Bekali Guru dengan Kemampuan Komunikasi Publik
Mas Menteri Nadiem kembali menegaskan, apa pun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak. Efek pandemi covid-19 membuat dunia jungkir balik. Ujung-ujungnya, pandemi bukanlah musuh, melainkan mitra pikir mondial agar segera bergerak adaptif.
Renungkan lima pesan Mas Menteri Nadiem kepada guru tadi. Guru dan pelajar sama-sama pembelajar, sama-sama pendidik. Guru pun harus siap menjadi teladan para pelajar yang baik manakala si pelajar memerankan guru cilik. Tidak perlu ilmu pinunjul untuk guru, tetapi perlu dedikasi dan pelayanan ultima. Guru tidak lagi di depan, tetapi di samping menggandeng pelajar untuk bergerak maju demi perubahan.
Di sinilah roh cura personalis (empati pendampingan pribadi) berkarya. Sadarilah karitasi. Sebab guru sebagai pengajar terbaik terkini telah digeser sepenuhnya oleh eksistensi “Mbah Gugel”. “Mbah Gugel”-lah guru paling jempol untuk pemenuhan kognitif. “Mbah Gugel” menjadi guru mesin pencari tercepat, terbanyak, terlengkap, pun terbaru.
baca juga: Kemendikbudristek Dorong Perguruan Tinggi Segera Kirim Usulan KIP Kuliah
Satu sisi, mentalitas guru-lelah segera terganti peranti. Solusinya, lompatlah guru. Rebutlah karakter, berdayakan nilai-nilai karakter. Sebab sisi ini tidak dimiliki peranti secanggih apa pun. Peranti cuma robot yang sudah pasti berjiwa suwung. Guru sebagai pengajar telah mati hingga detik ini.
Guru sebagai pendidik yang cura personalis sangat diidolai. Guru diakui sebagai jenama atau merek profesi tinggallah mengolah karakter. Guru tetaplah pengampu nomor satu untuk nilai-nilai karakter. Karakter manusiawi tetap selalu gagal disisipi kecerdasan buatan (AI, artificial intelligence). Guru yang berkarakter inilah kini dicari dan dirindui para pelajar. Apalagi, Mas Menteri menggeber profil Pelajar Pancasila.
baca juga: Ada Evaluasi Menyeluruh, Kemendikbudristek Tunda Seleksi Guru PPPK Tahap II
Mas Menteri Nadiem telah mengikrarkan bakat, hobi, dan portofolio menjadi tunggangan pendidikan. Literasi, numerasi, dan karakter menjadi garda depan meskipun masih abstrak. Hanya guru yang berkarakter pembelajar akan pinunjul. Guru sadar. Guru paham bermain “banji jamping” (bungee jumping: terjun lenting, lompat aja) metani bakat, hobi, dan portofolio para pelajar.
Artinya, jika mau mengeklaim diri seorang guru yang penuh dinamika dan jatmika, silakan keluar dari zona nyaman. Di sanalah taman merdeka belajar dengan status guru merdeka akan tumbuh penuh apresiasi. Bukan ribut hipokrisi karena merebut jatah sertifikasi. Dengan demikian, muncullah citraan baru dengan istilah guru penggerak yang kini sedang bergolak. Tunjukkan kapabilitasmu, para guru! Kapabilitas menjadi tunggangan baru selain kompetensi.
Guru Belajar
Paul Suparno, sang penghimpun opini dalam kitab Guru Sains Indonesia pada Zaman Modern (2020) tentu sudah memikirkan out of the box untuk para guru sains khususnya dan guru mapel liyan pada umumnya. Hanya guru yang “terluka” berkat menyadari isi kitab ini akan cakap meraih milestone di depan sana.
baca juga: ISODEL 2021 Digelar Desember, Kemendikbudristek Targetkan 1.000 Partisipan
Paul membongkar cura personalis (Latin) yang berarti perhatian secara pribadi untuk setiap orang yang menyandang profesi guru. Cura berarti perhatian. Personalis berarti pribadi. Dalam ranah pendidikan, cura personalis berarti setiap pelajar dikelola secara pribadi, unik, dan khusus. Pelajar tidak dijadikan objek atau robot, tetapi diselami sebagai pribadi manusia yang harus diperhatikan, butuh didampingi.
Pelajar bukanlah robot atau siborg yang diperlakukan sama persis, tetapi cetaklah menjadi pribadi unik dengan segala persoalan dan kemajuannya. Namun, perlu diperhatikan secara khusus dengan kekhasan dan keadaannya. Cura personalis berarti menugasi guru memperhatikan dan menaruh perhatian secara pribadi kepada setiap pelajar.
Menelusur nalar Paul ini layaknya menyeruput barisan opini renyah seputar guru yang merdeka, tidak hanya guru sains semata seperti tersurat di sampul. Tamsilnya, menonjollah satire yang men-trending-kan jenama profesi. Lantip, lungit, dan jatmika menjadi tipikal paparan. Bagi sesama guru yang tidak kebak kawruh tentang dedikasi dan integritas, tentu buru-buru melontar cap jemawa. Jatuhlah moto klasik “digugu lan ditiru” untuk sandangan guru pada era digital-virtual ini!
baca juga: Dua Tahun Pemerintahan: Gebrakan Kemendikbudristek Wujudkan SDM Unggul
Kaum awam, guru, dan kaum literat (melek huruf) wajib paham. Ada lima bagian yang terdiri atas dua puluh tiga bab. Tidak bisa dimungkiri bahwa pembelajaran era digital-virtual menelikung sekaligus guru dan pelajar, bukan hanya guru sains belaka. Tidak sedikit guru yang mengarus, lalu hanya menghanyutkan diri.
Imbasnya, tunaslah pribadi-pribadi semu yang senantiasa menuntut syarat. Gelitiklah dengan sedikit istilah nakal: guru-semu, pengajar-semu, pendidik-semu. Bahkan, mengajar-semu dengan unjuk PPT, aplikasi, atau media gawai. Nah, gagah dan jemawalah. Akan tetapi, ada mentalitas guru yang lesap. Di antaranya kegagahan buku-buku teks ajar tidak bisa lagi diandalkan. Kurikulum makin membangkai tidak teruji. Guru ribut ilmu antargenerasi. Institusi menggembosi profesi (apa pun) dengan dalih seragam sertifikasi.
baca juga: Kemendikbudristek Sebut 4 Universitas Siber Lahir Setahun Terakhir
Inilah deret satirenya. Guru tidak lagi merdeka. Semu. Digitalisasi-virtualisasi membunuh nyali guru. Artinya, siapa pun guru yang tidak peka atau tidak adaptif tersangkut digital, ia tergilas informasi. Hebatnya, informasi terkini adalah humus bagi para pelajar. Gilanya, tidak sedikit pelajar terkini sudah tergila-gila gawai, gadget, atau medsos, dan informasi.
Para pelajar terkini adalah anak gadget. Jadi, ilmu, pengetahuan, dan wawasan tergres sudah diperangkap alat canggih yang setiap saat bisa diunduh dengan kelincahan jemari. Jadilah barisan homo digitalis. Karenanya, jadilah guru pembelajar, bukan semata-mata guru pengajar. Bukan zamannya lagi mengelap-lap keemasan Oemar Bakri.
Hanya model-model guru petarung yang laik diunggulkan menjadi barisan guru penggerak era Nadiem. Guru berjenama, guru bersahabat media menjadi idola guru trendi ala Mas Menteri. Pertanyaan lanjut, ke manakah para guru (sains) Indonesia pada era digital-virtual ini? Cukupkah mandek dan jemawa pada ajang olimpiade mapel? Silaukah dengan Asesmen Nasional yang mulai dirayakan? Benar-benar ampuh satire ini!***
Esais, Buruh di Perbukuan PT Intan Pariwara Jawa Tengah
Siapakah kini yang masih menampik webinar atau zoominar? Awalnya dicerca, kini diakrabi. Refleksinya, pandemi covid-19 dan era digital menjungkirbalikkan cara pandang pembelajaran terhadap laju zaman.
Era digital, era virtual, dunia maya sudah jamak di mata dan telinga pelaku pendidikan bangsa. Salah satu tonggaknya gaduh webinar atau zoominar yang benar-benar memaksa adab segera berlari. Tak ada celah aman di zona nyaman. Semua gaduh. Apa pun ditali digitalisasi.
baca juga: Mudah, Begini Cara Mengecek Kuota Internet Gratis Kemendikbudristek
Kiwari adalah era adaptif. Moda gerak dunia adaptif. Tak bisa dimungkiri, ranah pendidikan pun adaptif. Untuk dunia pendidikan era digital-virtual seperti yang berkecamuk ini, masih potensialkah peran dan peranan guru di kelas? Lalu, seberapa adaptifkah buku-buku teks pelajaran ketika menyoal guru-guru di tengah karut-marut dampak pandemi? Yang pasti adalah butuh notula-notula reflektif.
Semua lini kehidupan bergerak! Zaman berubah. Kurikulum berubah. Kompetensi berubah. Pembelajaran berubah. Peranti (sarana dan prasarana) belajar berubah. Pola dan cara ajar berubah. Apakah mindset para guru juga berubah? Saat inilah momentum guru adaptif ditagih. Visionernya, guru bergerak untuk belajar berubah. Platform digitalisasi terkuak.
Guru Visioner
Roh adaptif ini telah ditabuh Mas Menteri Nadiem. Kapan ditagih? Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama. Di mana pun Anda berada, lakukan perubahan kecil di kelas Anda: 1) ajaklah kelas berdiskusi, bukan hanya mendengarkan; 2) berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas; 3) cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas; 4) temukan suatu bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri; 5) tawarkan bantuan kepada guru yang sedang mengalami kesulitan.
baca juga: Kemendikbudristek Bekali Guru dengan Kemampuan Komunikasi Publik
Mas Menteri Nadiem kembali menegaskan, apa pun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak. Efek pandemi covid-19 membuat dunia jungkir balik. Ujung-ujungnya, pandemi bukanlah musuh, melainkan mitra pikir mondial agar segera bergerak adaptif.
Renungkan lima pesan Mas Menteri Nadiem kepada guru tadi. Guru dan pelajar sama-sama pembelajar, sama-sama pendidik. Guru pun harus siap menjadi teladan para pelajar yang baik manakala si pelajar memerankan guru cilik. Tidak perlu ilmu pinunjul untuk guru, tetapi perlu dedikasi dan pelayanan ultima. Guru tidak lagi di depan, tetapi di samping menggandeng pelajar untuk bergerak maju demi perubahan.
Di sinilah roh cura personalis (empati pendampingan pribadi) berkarya. Sadarilah karitasi. Sebab guru sebagai pengajar terbaik terkini telah digeser sepenuhnya oleh eksistensi “Mbah Gugel”. “Mbah Gugel”-lah guru paling jempol untuk pemenuhan kognitif. “Mbah Gugel” menjadi guru mesin pencari tercepat, terbanyak, terlengkap, pun terbaru.
baca juga: Kemendikbudristek Dorong Perguruan Tinggi Segera Kirim Usulan KIP Kuliah
Satu sisi, mentalitas guru-lelah segera terganti peranti. Solusinya, lompatlah guru. Rebutlah karakter, berdayakan nilai-nilai karakter. Sebab sisi ini tidak dimiliki peranti secanggih apa pun. Peranti cuma robot yang sudah pasti berjiwa suwung. Guru sebagai pengajar telah mati hingga detik ini.
Guru sebagai pendidik yang cura personalis sangat diidolai. Guru diakui sebagai jenama atau merek profesi tinggallah mengolah karakter. Guru tetaplah pengampu nomor satu untuk nilai-nilai karakter. Karakter manusiawi tetap selalu gagal disisipi kecerdasan buatan (AI, artificial intelligence). Guru yang berkarakter inilah kini dicari dan dirindui para pelajar. Apalagi, Mas Menteri menggeber profil Pelajar Pancasila.
baca juga: Ada Evaluasi Menyeluruh, Kemendikbudristek Tunda Seleksi Guru PPPK Tahap II
Mas Menteri Nadiem telah mengikrarkan bakat, hobi, dan portofolio menjadi tunggangan pendidikan. Literasi, numerasi, dan karakter menjadi garda depan meskipun masih abstrak. Hanya guru yang berkarakter pembelajar akan pinunjul. Guru sadar. Guru paham bermain “banji jamping” (bungee jumping: terjun lenting, lompat aja) metani bakat, hobi, dan portofolio para pelajar.
Artinya, jika mau mengeklaim diri seorang guru yang penuh dinamika dan jatmika, silakan keluar dari zona nyaman. Di sanalah taman merdeka belajar dengan status guru merdeka akan tumbuh penuh apresiasi. Bukan ribut hipokrisi karena merebut jatah sertifikasi. Dengan demikian, muncullah citraan baru dengan istilah guru penggerak yang kini sedang bergolak. Tunjukkan kapabilitasmu, para guru! Kapabilitas menjadi tunggangan baru selain kompetensi.
Guru Belajar
Paul Suparno, sang penghimpun opini dalam kitab Guru Sains Indonesia pada Zaman Modern (2020) tentu sudah memikirkan out of the box untuk para guru sains khususnya dan guru mapel liyan pada umumnya. Hanya guru yang “terluka” berkat menyadari isi kitab ini akan cakap meraih milestone di depan sana.
baca juga: ISODEL 2021 Digelar Desember, Kemendikbudristek Targetkan 1.000 Partisipan
Paul membongkar cura personalis (Latin) yang berarti perhatian secara pribadi untuk setiap orang yang menyandang profesi guru. Cura berarti perhatian. Personalis berarti pribadi. Dalam ranah pendidikan, cura personalis berarti setiap pelajar dikelola secara pribadi, unik, dan khusus. Pelajar tidak dijadikan objek atau robot, tetapi diselami sebagai pribadi manusia yang harus diperhatikan, butuh didampingi.
Pelajar bukanlah robot atau siborg yang diperlakukan sama persis, tetapi cetaklah menjadi pribadi unik dengan segala persoalan dan kemajuannya. Namun, perlu diperhatikan secara khusus dengan kekhasan dan keadaannya. Cura personalis berarti menugasi guru memperhatikan dan menaruh perhatian secara pribadi kepada setiap pelajar.
Menelusur nalar Paul ini layaknya menyeruput barisan opini renyah seputar guru yang merdeka, tidak hanya guru sains semata seperti tersurat di sampul. Tamsilnya, menonjollah satire yang men-trending-kan jenama profesi. Lantip, lungit, dan jatmika menjadi tipikal paparan. Bagi sesama guru yang tidak kebak kawruh tentang dedikasi dan integritas, tentu buru-buru melontar cap jemawa. Jatuhlah moto klasik “digugu lan ditiru” untuk sandangan guru pada era digital-virtual ini!
baca juga: Dua Tahun Pemerintahan: Gebrakan Kemendikbudristek Wujudkan SDM Unggul
Kaum awam, guru, dan kaum literat (melek huruf) wajib paham. Ada lima bagian yang terdiri atas dua puluh tiga bab. Tidak bisa dimungkiri bahwa pembelajaran era digital-virtual menelikung sekaligus guru dan pelajar, bukan hanya guru sains belaka. Tidak sedikit guru yang mengarus, lalu hanya menghanyutkan diri.
Imbasnya, tunaslah pribadi-pribadi semu yang senantiasa menuntut syarat. Gelitiklah dengan sedikit istilah nakal: guru-semu, pengajar-semu, pendidik-semu. Bahkan, mengajar-semu dengan unjuk PPT, aplikasi, atau media gawai. Nah, gagah dan jemawalah. Akan tetapi, ada mentalitas guru yang lesap. Di antaranya kegagahan buku-buku teks ajar tidak bisa lagi diandalkan. Kurikulum makin membangkai tidak teruji. Guru ribut ilmu antargenerasi. Institusi menggembosi profesi (apa pun) dengan dalih seragam sertifikasi.
baca juga: Kemendikbudristek Sebut 4 Universitas Siber Lahir Setahun Terakhir
Inilah deret satirenya. Guru tidak lagi merdeka. Semu. Digitalisasi-virtualisasi membunuh nyali guru. Artinya, siapa pun guru yang tidak peka atau tidak adaptif tersangkut digital, ia tergilas informasi. Hebatnya, informasi terkini adalah humus bagi para pelajar. Gilanya, tidak sedikit pelajar terkini sudah tergila-gila gawai, gadget, atau medsos, dan informasi.
Para pelajar terkini adalah anak gadget. Jadi, ilmu, pengetahuan, dan wawasan tergres sudah diperangkap alat canggih yang setiap saat bisa diunduh dengan kelincahan jemari. Jadilah barisan homo digitalis. Karenanya, jadilah guru pembelajar, bukan semata-mata guru pengajar. Bukan zamannya lagi mengelap-lap keemasan Oemar Bakri.
Hanya model-model guru petarung yang laik diunggulkan menjadi barisan guru penggerak era Nadiem. Guru berjenama, guru bersahabat media menjadi idola guru trendi ala Mas Menteri. Pertanyaan lanjut, ke manakah para guru (sains) Indonesia pada era digital-virtual ini? Cukupkah mandek dan jemawa pada ajang olimpiade mapel? Silaukah dengan Asesmen Nasional yang mulai dirayakan? Benar-benar ampuh satire ini!***
(hdr)