FISIP UMJ Gelar Diskusi Soal Pancasila dan Amendemen UUD 45

Rabu, 08 Desember 2021 - 11:53 WIB
loading...
FISIP UMJ Gelar Diskusi Soal Pancasila dan Amendemen UUD 45
Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) soal Pancasila dan Amendemen UUD 1945. Foto/Dok/FISIP UMJ
A A A
JAKARTA - Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Amendemen UUD 1945 dan Rekonstruksi Sisitem Politik di Indonesia” secara hybrid, perpaduan luring dan daring di Aula Kasman Singodimedjo FISIP UMJ (7/12/2021).

Dekan FISIP UMJ Dr. Evi Satispi, M.Si, dalam sambutannya memaparkan bahwa profil FISIP UMJ sebagai fakultas tertua, memiliki tujuan selain untuk mencerdaskan anak bangsa, juga ingin memberikan pemahaman kepada anak muda tentang Pancasila dan ingin memberikan rekomendasi terbaik untuk Indonesia melalui FGD ini.



Pada kesempatan yang sama, Rektor UMJ Dr. Ma’mun Murod menjelaskan tentang demokrasi Indonesia yang masih belum efektif, tak terkecuali soal pemilu. Pemilu Legislatif yang dilaksanakan pada 2004, 2009 dan 2014 di mana terdapat dua tahap, yaitu pileg dan pilpres, dan apa yang menjadi dasar bagi rakyat untuk menjatuhkan pilihan dalam pileg.

Mengawali rangkaian FGD, Ketua DPD RI Ir. LaNyalla Mahmud Mattalitti memberikan keynote speech “Amendemen UUD 1945 : Sebuah Keharusan untuk Terwujudnya Politik Yang Bermanfaat”. Menurutnya, Wacana Amendemen Konstitusi perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir, harus menjadi momentum untuk melakukan koreksi atas system Tata Negara sekaligus arah perjalanan Bangsa.

“Kita harus berani bangkit dan melakukan koreksi atas sistem ekonomi negara ini. DPD RI akan sekuat tenaga memperjuangkannya. DPD tentu akan mendapat dorongan energi bila seluruh masyarakat Indonesia menjadikan Agenda Amandemen Konstitusi sebagai Momentum yang sama, yaitu Momentum untuk melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa,” ungkapnya.



Peneliti Senior LIPI dan Dosen MIKOM FISIP UMJ Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A dalam pemaparannya menyatakan bahwa terdapat berbagai problematika dan distorsi dalam sistem politik di Indonesia.

Hal tersebut terjadi akibat Amendemen konstitusi yang cenderung tambal sulam, empat kali amandemen konstitusi masih dinilai gagal karena perubahan mendasar kosntitusi cenderung menghasilkan sistem politik dan atau ketatanegaraan yang tidak memiliki konherensi institusional.

Adanya inkohenrensi dan inkonsistensi yang terlihat dari waktu ke waktu ini lah yang memicu munculnya berbagai problematika dalam reformasi politik. Siti zuhro tidak hanya memberikan kritik terhadap sistem politik, tetapi juga memberikan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut, di antaranya urgensi penyempurnaan skema sistem demokrasi presidensial, menata ulang mekanisme dan persyaratan pasangan calon, pelembagaan koalisi atas dasar platform politik yang bersifat relatif permanen, serta melembagakan mekanisme komplain publik bagi wakil rakyat yang tidak kredibel dan berkinerja buruk.

Ketua Pengurus Pusat Himpunan Indonesia untuk pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS), Prof. Dr. Aidul Fitiriciada A, M.Hum. menjelaskan Pembenahan Sistem politik harus memperhatikan: penguatan konstitusionalisme (pemisahan kekuasaan & Check And Balance di antara cabang-cabang kekuasaan), Penataan Kewenangan MPR, Penataan Kewenangan DPD, Penataan Kekuasaan Kehakiman, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Pemilu yang Demokratis, serta Signifikansi Fitur Dasar Konstitusi.

Sementara itu, Pengamat Politik UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., CBE. menyoroti bahwa terjadi marginalisasi Rekonstruksi keseimbangan antara lembaga yang ada, dan negara harus diperkuat eksistensinya. Dia mengingatkan bahwa harus berhati-hati dalam melakukan Amendemen karena beresiko menciptakan krisis konstitusional, harus menyepakati kekuatan politik yang ada di negara.

Termasuk harus melalui proses politik yang adil, untuk menghindari munculnya oligarki politik di kalangan pemerintahan, DPR, dan Civil Society. “Kita memerlukan rekonstruksi sistem politik di Indonesia, harus adanya keseimbangan di dalam sistem, tidak boleh menitikberatkan pada eksekutif semata, agar tidak ada resentralisasi,” ungkapnya.
(mpw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1623 seconds (0.1#10.140)