IKA UPI: Indonesia Butuh Kurikulum Era Pandemi
loading...
A
A
A
Ketua IKA UPI Bidang Pembinaan Profesi Unifah Rosyidi yang berbicara setelah Enggartiasto Lukita mengungkapkan pandemi Covid-19 membawa dampak luar biasa pada dunia pendidikan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya pendidikan tidak mengakomodasi situasi ini.
Apalagi, kata dia, terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.
“Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Benang merahnya bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan, tetapi melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya,” tutur Unifah.
Dia menegaskan, sistem pembejaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi. Selama vaksin belum ditemukan, maka semua melakukan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan semikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata dia, harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut. “Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat mudul pembelajarann. Yang penting bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” tutur Unifah.
Apalagi, kata dia, terjadi disparitas mencolok antara satu sekolah dengan sekolah lain atau satu daerah dengan daerah lain. Pada saat yang sama, hanya sedikit guru yang siap melakukan pembelajaran online secara mandiri. Kepemilikan siswa terhadap perangkat komunikasi juga terbatas. Belum lagi orang tua yang belum terbiasa dengan pembelajaran online.
“Pandemi adalah momentum. Masa pandemi ini adalah momentum untuk kita melakukan hal-hal besar dan mendasar. Untuk mencegah penularan virus, sementara ini para siswa harus mematuhi protokol kesehatan, seraya melakukan berbagai upaya praktis agar pendidikan berjalan normal. Benang merahnya bukan menaikan angka partisipasi sekolah seperti yang kini banyak dilakukan, tetapi melakukan perubahan menyeluruh dan mendasar kurikulum sekolah, baik dominasi kontennya maupun remodeling sistem pembelajarannya,” tutur Unifah.
Dia menegaskan, sistem pembejaran tidak bisa kembali ke suasana seperti sebelum pandemi. Selama vaksin belum ditemukan, maka semua melakukan dengan cara baru. Jika biasanya belajar di kelas dilakukan selama 6-8 jam, sekarang tidak bisa karena siswa harus berbagi ruangan kelas. Dengan semikian, pemerintah tidak bisa lagi mengharuskan 24 jam mengajar bagi guru.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata dia, harus melakukan penyesuaian untuk menyelaraskan dengan kenormalan baru tersebut. “Dengan pandemi dan setelahnya nanti, kita tidak bisa melakukan tata kelola pendidikan secara business as usual. Kita harus melakukan dengan pendekatan kontekstual. Harus melakukan usaha-usaha khusus. Seperti misalnya membuat mudul pembelajarann. Yang penting bagaimana guru memberikan penjelasan sejelas-jelasnya sehingga anak bisa belajar bersama orang tua,” tutur Unifah.
(dam)