Inovatif, Universitas Pertamina dan Universiti Petronas Kembangkan Baterai Mobil Listrik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tren penggunaan kendaraan listrik di Indonesia terus naik setiap tahunnya. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat, hingga November 2021 jumlah kendaraan listrik di Indonesia mencapai 14.400 unit.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, komponen utama yang digunakan untuk kendaraan listrik saat ini berjenis baterai lithium-ion. Baterai jenis ini diklaim unggul dari sisi usia pakai dan proses pengisian daya yang lebih cepat.
Namun baterai lithium-ion memakan biaya besar. Untuk mobil listrik misalnya, sekitar 40 hingga 50% biayanya dihabiskan untuk baterai lithium-ion. Karena baterai ini membutuhkan bahan baku kobalt yang sulit didapat dan harganya mahal.
Tim peneliti Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina Sylvia Ayu Pradanawati, Ph.D, menawarkan solusi pemanfaatan sodium dan aluminium sebagai baku utama pembuatan baterai pengganti lithium.
“Selama satu tahun terakhir, tim melakukan pengembangan baterai dengan cara menggantikan elektrolit cair menjadi polimer elektrolit berbahan baku sodium dan aluminium. Selain untuk mendapatkan aternatif bahan baku baterai, elektrolit yang dibuat oleh tim juga terbukti lebih tahan pada suhu tinggi, dibandingkan dengan lithium. Harganya juga lebih ekonomis,” Ungkap Sylvia dalam keterangan pers, Minggu (6/3/2022).
Menurut Sylvia dan tim, jumlah sodium dan aluminium di alam jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan nikel yang merupakan bahan baku lithium. Sehingga, ketersediaannya akan lebih berkelanjutan. Menjadikan inovasi Sylvia dan tim ideal untuk tujuan jangka panjang. Harganya pun lebih ekonomis. Bala Pachayappa, CEO Sodion Energy, menyebutkan baterai sodium-ion lebih murah 30 hingga 40% dibanding baterai lithium-ion.
Proses pembuatan elektrolit baterai tersebut, lanjut Sylvia, cukup sederhana. Garam sodium dan aluminium dilarutkan dengan sebuah zat pelarut (solvent) untuk kemudian dicampurkan dengan polimer. “Polimer yang digunakan oleh tim merupakan polimer alami dari alam. Sifatnya tidak beracun dan memiliki gugus pasangan elektron bebas yang dapat dijadikan elektrolit polimer dengan nilai konduktivitas ion yang cukup baik. Polimer ini juga merupakan salah satu bahan alam yang kurang optimal dimanfaatkan,” tutur Sylvia.
Untuk melengkapi polimer tersebut, tim peneliti juga menambahkan fly ash atau abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran limbah dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). “Fly ash ini berfungsi sebagai filler yang dapat meningkatkan konduktivitas polimer. Pemanfaatan limbah dan garam yang murah ini, diharapkan dapat mengurangi biaya pembuatan baterai serta memperluas aplikasi baterai,” ujar alumni program doktoral dari National Taiwan University of Science and Technology, tersebut.
Dalam aplikasinya nanti, selain berpotensi digunakan pada kendaraan listrik, baterai ion sodium dan aluminium ini juga dapat digunakan untuk perangkat elektronik portabel.
Penelitian ini juga turut serta menggandeng Universiti Teknologi Petronas (UTP) milik perusahaan minyak dan gas bumi Malaysia, Petronas. Kedua kampus memiliki kesamaan tujuan untuk membangun industry-oriented university. Konsep ini bertujuan menjawab kebutuhan industri dengan mengembangkan SDM unggul yang fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan dunia industri, khususnya industri energi yang menjadi kekhususan kedua kampus.
Bagi siswa/i yang tertarik dengan pengembangan energi masa depan, dapat bergabung di Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina. Saat ini, kampus besutan PT Pertamina (Persero) tersebut kembali membuka pendaftaran Ujian Masuk Online dan Seleksi Nilai Rapor (tanpa tes) untuk Tahun Akademik 2022/2023. Informasi lengkap terkait program studi serta syarat dan ketentuan pendaftaran dapat diakses di laman https://universitaspertamina.ac.id/pendaftaran
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan, komponen utama yang digunakan untuk kendaraan listrik saat ini berjenis baterai lithium-ion. Baterai jenis ini diklaim unggul dari sisi usia pakai dan proses pengisian daya yang lebih cepat.
Namun baterai lithium-ion memakan biaya besar. Untuk mobil listrik misalnya, sekitar 40 hingga 50% biayanya dihabiskan untuk baterai lithium-ion. Karena baterai ini membutuhkan bahan baku kobalt yang sulit didapat dan harganya mahal.
Tim peneliti Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina Sylvia Ayu Pradanawati, Ph.D, menawarkan solusi pemanfaatan sodium dan aluminium sebagai baku utama pembuatan baterai pengganti lithium.
“Selama satu tahun terakhir, tim melakukan pengembangan baterai dengan cara menggantikan elektrolit cair menjadi polimer elektrolit berbahan baku sodium dan aluminium. Selain untuk mendapatkan aternatif bahan baku baterai, elektrolit yang dibuat oleh tim juga terbukti lebih tahan pada suhu tinggi, dibandingkan dengan lithium. Harganya juga lebih ekonomis,” Ungkap Sylvia dalam keterangan pers, Minggu (6/3/2022).
Menurut Sylvia dan tim, jumlah sodium dan aluminium di alam jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan nikel yang merupakan bahan baku lithium. Sehingga, ketersediaannya akan lebih berkelanjutan. Menjadikan inovasi Sylvia dan tim ideal untuk tujuan jangka panjang. Harganya pun lebih ekonomis. Bala Pachayappa, CEO Sodion Energy, menyebutkan baterai sodium-ion lebih murah 30 hingga 40% dibanding baterai lithium-ion.
Proses pembuatan elektrolit baterai tersebut, lanjut Sylvia, cukup sederhana. Garam sodium dan aluminium dilarutkan dengan sebuah zat pelarut (solvent) untuk kemudian dicampurkan dengan polimer. “Polimer yang digunakan oleh tim merupakan polimer alami dari alam. Sifatnya tidak beracun dan memiliki gugus pasangan elektron bebas yang dapat dijadikan elektrolit polimer dengan nilai konduktivitas ion yang cukup baik. Polimer ini juga merupakan salah satu bahan alam yang kurang optimal dimanfaatkan,” tutur Sylvia.
Untuk melengkapi polimer tersebut, tim peneliti juga menambahkan fly ash atau abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran limbah dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). “Fly ash ini berfungsi sebagai filler yang dapat meningkatkan konduktivitas polimer. Pemanfaatan limbah dan garam yang murah ini, diharapkan dapat mengurangi biaya pembuatan baterai serta memperluas aplikasi baterai,” ujar alumni program doktoral dari National Taiwan University of Science and Technology, tersebut.
Dalam aplikasinya nanti, selain berpotensi digunakan pada kendaraan listrik, baterai ion sodium dan aluminium ini juga dapat digunakan untuk perangkat elektronik portabel.
Penelitian ini juga turut serta menggandeng Universiti Teknologi Petronas (UTP) milik perusahaan minyak dan gas bumi Malaysia, Petronas. Kedua kampus memiliki kesamaan tujuan untuk membangun industry-oriented university. Konsep ini bertujuan menjawab kebutuhan industri dengan mengembangkan SDM unggul yang fleksibel dan adaptif terhadap perkembangan dunia industri, khususnya industri energi yang menjadi kekhususan kedua kampus.
Bagi siswa/i yang tertarik dengan pengembangan energi masa depan, dapat bergabung di Program Studi Teknik Mesin Universitas Pertamina. Saat ini, kampus besutan PT Pertamina (Persero) tersebut kembali membuka pendaftaran Ujian Masuk Online dan Seleksi Nilai Rapor (tanpa tes) untuk Tahun Akademik 2022/2023. Informasi lengkap terkait program studi serta syarat dan ketentuan pendaftaran dapat diakses di laman https://universitaspertamina.ac.id/pendaftaran
(mpw)