Cerita Dosen Unair Lebaran Pertama Kali di Jerman, Puasa 14 Jam dan Rindu Ngabuburit
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia memiliki banyak keunikan dalam tradisi menyambut lebaran . Keunikan itu tidak ada di negara lain. Sehingga tidak sedikit Warga Negara Indonesia (WNI) yang merindukan suasana lebaran ketika mereka sedang berada di luar negeri .
Sama halnya dengan Dosen Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Airlangga ( Unair ) Ilham Akhsanu Ridlo. Bersama kedua anaknya dan sang istri, mereka merayakan lebaran di Jerman.
“Saya sedang menempuh S3 di Ludwig-Maximilians-Universität (LMU) München, Jerman bersama istri. Fakultas Ilmu Sosial LMU menjadi tempat saya belajar. Sedangkan istri saya yang adalah Dosen di Fakultas Psikologi UNAIR, Rizqy Amelia Zein SPSi MSc, berada di Fakultas Psikologi LMU,” katanya, dilansir dari laman Unair, Rabu (18/5/2022).
Tahun ini adalah kali pertama mereka merasakan lebaran di Jerman. Tidak ada perayaan khusus lebaran yang ada di Jerman. Sebagian umat Muslim bahkan kembali beraktivitas seperti biasa setelah shalat Idul Fitri.
Baca: Kisah Marc Irawan Bangun Platform Edukasi demi Pendidikan Terbaik sang Buah Hati
“Namun kami tetap saling berkumpul dan bermaaf-maafan. Karena kebetulan di Munchen ini ada komunitas Muslim-Indonesia (PM3). Kami mengadakan acara makan bersama dengan masakan-masakan khas Indonesia,” beber Ilham.
Bersama keluarga kecilnya, Ilham juga masih melaksanakan sebagian kecil tradisi berlebaran ala Indonesia. Seperti mereka memasak menu khas lebaran yakni opor ayam dan lontong, serta membuat nastar.
Merasakan Perbedaan Sejak Awal Ramadhan
“Dari awal Ramadhan, kami sudah banyak menemui perbedaan dengan di Indonesia. Yang paling menonjol dan paling umum adalah durasi berpuasa. Jika di Indonesia hanya 12 jam, maka di Jerman kami berpuasa selama 14 jam,” paparnya.
Selain durasi berpuasa, waktu shalat juga berbeda dengan Indonesia. Ketika rata-rata waktu shalat maghrib di Indonesia terjadi pada pukul 18.00, maka di Jerman berkisar pada pukul 8 malam. Waktu shalat isya juga lebih malam, yakni pukul 10.
Sama halnya dengan Dosen Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKM Universitas Airlangga ( Unair ) Ilham Akhsanu Ridlo. Bersama kedua anaknya dan sang istri, mereka merayakan lebaran di Jerman.
“Saya sedang menempuh S3 di Ludwig-Maximilians-Universität (LMU) München, Jerman bersama istri. Fakultas Ilmu Sosial LMU menjadi tempat saya belajar. Sedangkan istri saya yang adalah Dosen di Fakultas Psikologi UNAIR, Rizqy Amelia Zein SPSi MSc, berada di Fakultas Psikologi LMU,” katanya, dilansir dari laman Unair, Rabu (18/5/2022).
Tahun ini adalah kali pertama mereka merasakan lebaran di Jerman. Tidak ada perayaan khusus lebaran yang ada di Jerman. Sebagian umat Muslim bahkan kembali beraktivitas seperti biasa setelah shalat Idul Fitri.
Baca: Kisah Marc Irawan Bangun Platform Edukasi demi Pendidikan Terbaik sang Buah Hati
“Namun kami tetap saling berkumpul dan bermaaf-maafan. Karena kebetulan di Munchen ini ada komunitas Muslim-Indonesia (PM3). Kami mengadakan acara makan bersama dengan masakan-masakan khas Indonesia,” beber Ilham.
Bersama keluarga kecilnya, Ilham juga masih melaksanakan sebagian kecil tradisi berlebaran ala Indonesia. Seperti mereka memasak menu khas lebaran yakni opor ayam dan lontong, serta membuat nastar.
Merasakan Perbedaan Sejak Awal Ramadhan
“Dari awal Ramadhan, kami sudah banyak menemui perbedaan dengan di Indonesia. Yang paling menonjol dan paling umum adalah durasi berpuasa. Jika di Indonesia hanya 12 jam, maka di Jerman kami berpuasa selama 14 jam,” paparnya.
Selain durasi berpuasa, waktu shalat juga berbeda dengan Indonesia. Ketika rata-rata waktu shalat maghrib di Indonesia terjadi pada pukul 18.00, maka di Jerman berkisar pada pukul 8 malam. Waktu shalat isya juga lebih malam, yakni pukul 10.