Juri Ardiantoro: LPTK-Perguruan Tinggi yang Mendidik Calon Guru Sudah Tidak Ada
loading...
A
A
A
"Kemudian dalam praktiknya, dalam tata kelolanya, semakin banyak peraturan yang tersedia bisa jadi bukan semakin mengefektifkan dalam mengelola," ungkap Juri Ardiantoro.
Pertanyaannya lanjut Juri, ide untuk mengintegrasikan beberapa UU sejenis ini apakah hanya pada level teknik mengintegrasikan peraturan atau justru ada sesuatu yang ingin dicapai dari tujuan nasional pendidikan kita melalui perubahan UU itu.
"Maka perlu kita cek, yang pada intinya tentu saja di samping soal teknis pengaturan, juga soal substansi, sejauh mana perubahan itu untuk memperkuat bagaimana kita mencapai tujuan pendidikan kita. Kalau kita kaitkan misalnya visi Presiden mestinya tujuan perubahan undang-undang di bidang pendidikan itu harus ditujukan pada visi Presiden tentang pembangunan sumber daya manusia," terangnya.
Juri kemudian memaparkan Lima Visi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Pada periode kedua, visi yang pertama adalah pembangunan sumber daya manusia, bukan infrastruktur, karena infrastruktur itu prioritas pertama pada periode pertama.
Saat periode kedua visi infrastruktur berada pada urutan kedua. Visi ketiga itu deregulasi. Jadi, tambah Juri, menata seluruh peraturan perundang-undangan yang membuat pengaturan pemerintahan kita complicated, yang keempat baru debirokratisasi-penataan birokrasi, dan yang kelima adalah transformasi ekonomi.
Jadi sebetulnya lanjut Juri, perubahan UU pendidikan itu harus diarahkan pada dua tujuan visi presiden: yakni, bagaimana menjadi dasar, dan menjadi pegangan kita dalam membangun sumber daya manusia ke depan, kedua menata regulasi yang selama ini bertebaran, tumpang tindih, membingungkan menjadi miskomunikasi bisa jadi misleading dalam bidang kebijakan pendidikan.
"Nah, yang ketiga problemnya adalah, apakah Perubahan Undang-undang Sisdiknas menjadi RUU yang mengintegrasikan tiga undang-undang pendidikan menjawab persoalan yang selama ini melanda pendidikan atau justru menjadi persoalan baru," jelasnya.
Substansi yang terkandung dalam RUU menurut Juri, ada beberapa yang menjadi titik kontroversi, salah satu titik kontroversinya di mana LPTK, lembaga yang selama ini mendidik para calon guru, tidak dimention, tidak disebut di dalam RUU Sisdiknas.
"RUU tidak mention sama seklai LPTK. Kalau saya membaca ini, sebenarnya ini satu upaya sistemik, kalau kita boleh bilang untuk meniadakan LPTK di dalam praktik pendidikan kita," ungkap Juri yang juga menjabat Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.
Juri kemudian mengajukan indikasinya, yaitu pertama adalah perubahan IKIP menjadi universitas, menurutnya itu satu perubahan revolusioner, yang kedua, untuk menjadi guru, lulusan sarjana dari LPTK tetap harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Pertanyaannya lanjut Juri, ide untuk mengintegrasikan beberapa UU sejenis ini apakah hanya pada level teknik mengintegrasikan peraturan atau justru ada sesuatu yang ingin dicapai dari tujuan nasional pendidikan kita melalui perubahan UU itu.
"Maka perlu kita cek, yang pada intinya tentu saja di samping soal teknis pengaturan, juga soal substansi, sejauh mana perubahan itu untuk memperkuat bagaimana kita mencapai tujuan pendidikan kita. Kalau kita kaitkan misalnya visi Presiden mestinya tujuan perubahan undang-undang di bidang pendidikan itu harus ditujukan pada visi Presiden tentang pembangunan sumber daya manusia," terangnya.
Juri kemudian memaparkan Lima Visi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin. Pada periode kedua, visi yang pertama adalah pembangunan sumber daya manusia, bukan infrastruktur, karena infrastruktur itu prioritas pertama pada periode pertama.
Saat periode kedua visi infrastruktur berada pada urutan kedua. Visi ketiga itu deregulasi. Jadi, tambah Juri, menata seluruh peraturan perundang-undangan yang membuat pengaturan pemerintahan kita complicated, yang keempat baru debirokratisasi-penataan birokrasi, dan yang kelima adalah transformasi ekonomi.
Jadi sebetulnya lanjut Juri, perubahan UU pendidikan itu harus diarahkan pada dua tujuan visi presiden: yakni, bagaimana menjadi dasar, dan menjadi pegangan kita dalam membangun sumber daya manusia ke depan, kedua menata regulasi yang selama ini bertebaran, tumpang tindih, membingungkan menjadi miskomunikasi bisa jadi misleading dalam bidang kebijakan pendidikan.
"Nah, yang ketiga problemnya adalah, apakah Perubahan Undang-undang Sisdiknas menjadi RUU yang mengintegrasikan tiga undang-undang pendidikan menjawab persoalan yang selama ini melanda pendidikan atau justru menjadi persoalan baru," jelasnya.
Substansi yang terkandung dalam RUU menurut Juri, ada beberapa yang menjadi titik kontroversi, salah satu titik kontroversinya di mana LPTK, lembaga yang selama ini mendidik para calon guru, tidak dimention, tidak disebut di dalam RUU Sisdiknas.
"RUU tidak mention sama seklai LPTK. Kalau saya membaca ini, sebenarnya ini satu upaya sistemik, kalau kita boleh bilang untuk meniadakan LPTK di dalam praktik pendidikan kita," ungkap Juri yang juga menjabat Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Jakarta.
Juri kemudian mengajukan indikasinya, yaitu pertama adalah perubahan IKIP menjadi universitas, menurutnya itu satu perubahan revolusioner, yang kedua, untuk menjadi guru, lulusan sarjana dari LPTK tetap harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG).