Genjot Mutu Pendidikan Tinggi, 84 Profesor Dunia Disebar ke PTN
A
A
A
JAKARTA - Berbagai terobosan terus dilakukan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya dengan mengundang para ilmuwan dunia memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia dalam program visiting world class professor (WCP).
Tahun ini 84 profesor kelas dunia bakal bergabung dalam program WCP. Mereka berasal dari perguruan tinggi dari berbagai negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Selain itu, ada beberapa profesor dari Italia, Jerman, Selandia Baru, dan China. Para ilmuwan ini kemudian disebar ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, hingga Universitas Hasanuddin.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, kedatangan 84 profesor ini akan menjadi momentum untuk mendongkrak mutu pendidikan tinggi, khususnya publikasi Indonesia. Tahun ini, katanya, jumlah publikasi sudah menduduki posisi ketiga Asia Tenggara. Target berikutnya ialah harus menyalip posisi Malaysia dan Thailand. "Targetnya tidak main-main. Saya berharap para peserta program WCP dapat merumuskan suatu rancangan untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan tinggi, riset, dan inovasi di Indonesia," katanya saat pembukaan seminar WCP di Jakarta.
Profesor yang diundang paling banyak dari Jepang, 26 orang. Berikutnya Amerika Serikat 11 orang dan Australia 10 orang, dari Malaysia 6 orang, Prancis 5 orang. Nasir berharap target lima perguruan tinggi yang masuk 500 besar dunia dapat tercapai. Saat ini baru ada UI, ITB dan UGM yang masuk 500 besar.
Dia mengatakan, untuk mewujudkan target itu, publikasi ilmiah dan jumlah doktor muda yang unggul dalam riset juga harus dilahirkan. Pengelolaan perguruan tinggi yang baik, kualitas sumberdaya manusia, dan iptek dikti, serta riset dan inovasi akan berdampak signifikan pada daya saing bangsa.
Nasir menuturkan, saat ini Global Competitiveness Index Indonesia masih di posisi 36 dari 137 negara. Hal ini perlu ditingkatkan mengingat Indonesia memiliki potensi besar. Di antaranya dengan cara mengejar empat faktor utama: pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar, inovasi, serta tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level).
Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemenristek Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, program WCP terbagi dua skema A dan B. Bedanya hanya ada di syarat perguruan tinggi pengusul dan profesor yang diundang. Ghufron mengatakan, persyaratan skema A lebih berat, sedangkan skema B lebih sederhana, begitu pula dengan target output yang didapat juga lebih tinggi pada skema A.
"Skema A untuk perguruan tinggi akreditasi A dan B dapat diikuti oleh minimal perguruan tinggi berakreditasi B. Profesor yang diundang pada skema A harus ada minimal satu yang memiliki h-index Scopus minimal 25. Untuk skema B, profesor yang diundang cukup memiliki h-index minimal 5, dan diutamakan berpengalaman memimpin laboratorium riset atau editor jurnal internasional bereputasi," ujarnya.
Terkait output, Ghufron mengungkapkan, skema A pada akhir program ditargetkan mampu menghasilkan sekurang-kurangnya enam manuskrip joint publication di jurnal internasional bereputasi Q1/Q2-SJR Scimago dalam status under review. Untuk skema B, minimal menghabiskan hak kekayaan intelektual (HKI) atau joint publication di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Reuters, dan Thomson dengan impact factor minimal 0,2. Adapun pada akhir kegiatan sudah dalam status under review atau HKI sudah didaftarkan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, jika program WCP dimaksudkan untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi, dia sangat mendu kung. Meski demikian, dia mengkritik jika pemerintah mengundang lebih banyak profesor asing daripada profesor dalam negeri. Seharusnya pemerintah memaksimalkan potensi profesor dalam negeri agar jangan sampai terjadi profesor asing yang diundang itu mutunya sama dengan bidang dan kompetensi profesor lokal.
"PTN yang akan menjadi kelas dunia juga harus hasil kesepakatan bersama PTN-PTN lain. Jangan sampai menimbulkan problematika baru, yakni kecemburuan," katanya.
Pengamat Pendidikan Tinggi Edy Suandi Hamid berharap, profesor yang dipilih ialah akademisi dengan karya gemilang. Sebab, Indonesia membutuhkan profesor yang bukan hanya mampu mengajar. Lebih dari itu, mereka bisa menstimulasi riset dan karya ilmiah bereputasi global.
Dia juga berharap profesor yang diundang bisa disebar ke kampus swasta sehingga budaya akademik bisa muncul di semua kampus. "Distribusi para guru besar dari luar negeri itu tidak boleh hanya di perguruan tinggi negeri, tetapi juga harus ke perguruan tinggi swasta sehingga budaya akademik terbangun di semua perguruan tinggi di Indonesia," ujarnya.
Tahun ini 84 profesor kelas dunia bakal bergabung dalam program WCP. Mereka berasal dari perguruan tinggi dari berbagai negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Selain itu, ada beberapa profesor dari Italia, Jerman, Selandia Baru, dan China. Para ilmuwan ini kemudian disebar ke berbagai perguruan tinggi di Indonesia, di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, hingga Universitas Hasanuddin.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, kedatangan 84 profesor ini akan menjadi momentum untuk mendongkrak mutu pendidikan tinggi, khususnya publikasi Indonesia. Tahun ini, katanya, jumlah publikasi sudah menduduki posisi ketiga Asia Tenggara. Target berikutnya ialah harus menyalip posisi Malaysia dan Thailand. "Targetnya tidak main-main. Saya berharap para peserta program WCP dapat merumuskan suatu rancangan untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan tinggi, riset, dan inovasi di Indonesia," katanya saat pembukaan seminar WCP di Jakarta.
Profesor yang diundang paling banyak dari Jepang, 26 orang. Berikutnya Amerika Serikat 11 orang dan Australia 10 orang, dari Malaysia 6 orang, Prancis 5 orang. Nasir berharap target lima perguruan tinggi yang masuk 500 besar dunia dapat tercapai. Saat ini baru ada UI, ITB dan UGM yang masuk 500 besar.
Dia mengatakan, untuk mewujudkan target itu, publikasi ilmiah dan jumlah doktor muda yang unggul dalam riset juga harus dilahirkan. Pengelolaan perguruan tinggi yang baik, kualitas sumberdaya manusia, dan iptek dikti, serta riset dan inovasi akan berdampak signifikan pada daya saing bangsa.
Nasir menuturkan, saat ini Global Competitiveness Index Indonesia masih di posisi 36 dari 137 negara. Hal ini perlu ditingkatkan mengingat Indonesia memiliki potensi besar. Di antaranya dengan cara mengejar empat faktor utama: pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar, inovasi, serta tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level).
Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti (SDID) Kemenristek Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, program WCP terbagi dua skema A dan B. Bedanya hanya ada di syarat perguruan tinggi pengusul dan profesor yang diundang. Ghufron mengatakan, persyaratan skema A lebih berat, sedangkan skema B lebih sederhana, begitu pula dengan target output yang didapat juga lebih tinggi pada skema A.
"Skema A untuk perguruan tinggi akreditasi A dan B dapat diikuti oleh minimal perguruan tinggi berakreditasi B. Profesor yang diundang pada skema A harus ada minimal satu yang memiliki h-index Scopus minimal 25. Untuk skema B, profesor yang diundang cukup memiliki h-index minimal 5, dan diutamakan berpengalaman memimpin laboratorium riset atau editor jurnal internasional bereputasi," ujarnya.
Terkait output, Ghufron mengungkapkan, skema A pada akhir program ditargetkan mampu menghasilkan sekurang-kurangnya enam manuskrip joint publication di jurnal internasional bereputasi Q1/Q2-SJR Scimago dalam status under review. Untuk skema B, minimal menghabiskan hak kekayaan intelektual (HKI) atau joint publication di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Reuters, dan Thomson dengan impact factor minimal 0,2. Adapun pada akhir kegiatan sudah dalam status under review atau HKI sudah didaftarkan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, jika program WCP dimaksudkan untuk meningkatkan mutu perguruan tinggi, dia sangat mendu kung. Meski demikian, dia mengkritik jika pemerintah mengundang lebih banyak profesor asing daripada profesor dalam negeri. Seharusnya pemerintah memaksimalkan potensi profesor dalam negeri agar jangan sampai terjadi profesor asing yang diundang itu mutunya sama dengan bidang dan kompetensi profesor lokal.
"PTN yang akan menjadi kelas dunia juga harus hasil kesepakatan bersama PTN-PTN lain. Jangan sampai menimbulkan problematika baru, yakni kecemburuan," katanya.
Pengamat Pendidikan Tinggi Edy Suandi Hamid berharap, profesor yang dipilih ialah akademisi dengan karya gemilang. Sebab, Indonesia membutuhkan profesor yang bukan hanya mampu mengajar. Lebih dari itu, mereka bisa menstimulasi riset dan karya ilmiah bereputasi global.
Dia juga berharap profesor yang diundang bisa disebar ke kampus swasta sehingga budaya akademik bisa muncul di semua kampus. "Distribusi para guru besar dari luar negeri itu tidak boleh hanya di perguruan tinggi negeri, tetapi juga harus ke perguruan tinggi swasta sehingga budaya akademik terbangun di semua perguruan tinggi di Indonesia," ujarnya.
(amm)