2018, Siswa SD Akan Mengikuti USBN
A
A
A
JAKARTA - Mulai 2018, siswa jenjang SD akan mengikuti ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Ada delapan mata pelajaran yang akan diujikan pada siswa SD.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi membenarkan bahwa tahun depan siswa jenjang SD secara serentak akan mengikuti USBN. Bambang menjelaskan, pada 2017 USBN sudah dimulai di jenjang SMP, SMA, dan SMK kecuali di SD. Pada tahun ini juga, kata Bambang, ada ujian nasional, USBN, dan ujian sekolah. Sementara tahun depan, US akan ditiadakan. "Pada tahun 2018 semua sekolah, mulai dari SD sampai SMA dan yang sederajat melaksanakan USBN. Tidak ada lagi ujian sekolah (US) sebab esensi USBN adalah ujian sekolah," katanya kepada KORAN SINDO.
Bambang menjelaskan, pada 2017 USBN pada jenjang sekolah menengah dan yang sederajat hanya untuk mata pelajaran tertentu. Akan tetapi untuk tahun depan, USBN akan menguji seluruh mata pelajaran, yang pelaksanaannya dilakukan di masing-masing satuan pendidikan.
Kepala BSNP menerangkan, prosedur operasional standar (POS) USBN telah ditetapkan oleh BSNP. Naskah soalnya sendiri terbagi atas dua pembuat. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyiapkan20-25% naskahsoal. Sementara 75-80% soal disiapkan oleh guru-guru yang dikoordinasikan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
"Melalui USBN diharapkan kemampuan guru-guru dalam melakukan penilaian meningkat. Selain itu, juga ketuntasan pembelajaran juga bisa dicapai melalui USBN," ungkap Dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini. Bambang mengungkapkan mata pelajaran yang diujikan pada USBN SD ada delapan, yakni Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, IPS, Pendidikan Kewarganegaraan, Seni Budaya dan Prakarya, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, serta Pendidikan Agama.
Psikolog pendidikan anak Najeela Shihab berpendapat, bagi anak tingkat sekolah dasar, hasil karya, presentasi, portofolio, dan tugas kelompok lebih representatif sebagai bukti capaian siswa. "Ujian standar secara umum hanya menggambarkan sebagian kecil dari tujuan pendidikan, apalagi untuk siswa tingkat sekolah dasar yang secara perkembangan berfokus pada keterampilan belajarnya bukan penguasaan pengetahuan," katanya.
Dia melanjutkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya melakukan evaluasi kepada siswa, tetapi juga fokus pada kompetensi guru sehingga bisa membuat proses asesmen formatif di dalam kelas dan sekolah yang lebih baik. Menurut dia, suatu ujian dari banyak mata pelajaran tidak sesuai dengan kompetensi murid yang akan dikembangkan. "Ujian bukan semata soal nilai tapi betul-betul ada aksi nyata untuk memperbaiki cara pengajaran guru dan proses belajar siswa," katanya.
Pemerhati pendidikan ini juga mengkritisi penetapan 25% soal dari Kemendikbud. Menurut dia, titipan soal itu untuk mengembangkan kemampuan daerah dalam mengembangkan soal. Namun, berhasil tidaknya trik ini tidak pernah ada paparan strategis yang jelas untuk pengembangan kapasitas tersebut. Selain itu, ungkap Najeela, monitoring dan evaluasi kualitas soal USBN SD tidak pernah transparan. Padahal sebagai salah satu tes yang risikonya dianggap tinggi bagi banyak sekali siswa, seharusnya dilakukan dengan jelas dan terbuka.
"Agar tidak menjadi ujian saja dari tahun ke tahun maka perlu monev perencanaan, pemetaan, danpengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pendidikan secara umum," katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, kesiapan USBN perlu dikaji ulang karena untuk jenjang SD, mereka belum pernah disiapkan untuk mengikuti standar nasional. Berbeda dengan siswa SMP dan SMA yang sudah terbiasa. Selain itu, kalau delapan standar nasional pendidikan itu alat ukurnya hanya akreditasi, sedangkan hasil akreditasi itu bermacam kategori A, B, dan C bila USBN akan diterapkan kepada semua ini tidak adil. Maka dia memberi saran, USBN dilakukan untuk pertama kali hanya bagi sekolah yang akreditasinya A dan B saja lebih dahulu.
Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi membenarkan bahwa tahun depan siswa jenjang SD secara serentak akan mengikuti USBN. Bambang menjelaskan, pada 2017 USBN sudah dimulai di jenjang SMP, SMA, dan SMK kecuali di SD. Pada tahun ini juga, kata Bambang, ada ujian nasional, USBN, dan ujian sekolah. Sementara tahun depan, US akan ditiadakan. "Pada tahun 2018 semua sekolah, mulai dari SD sampai SMA dan yang sederajat melaksanakan USBN. Tidak ada lagi ujian sekolah (US) sebab esensi USBN adalah ujian sekolah," katanya kepada KORAN SINDO.
Bambang menjelaskan, pada 2017 USBN pada jenjang sekolah menengah dan yang sederajat hanya untuk mata pelajaran tertentu. Akan tetapi untuk tahun depan, USBN akan menguji seluruh mata pelajaran, yang pelaksanaannya dilakukan di masing-masing satuan pendidikan.
Kepala BSNP menerangkan, prosedur operasional standar (POS) USBN telah ditetapkan oleh BSNP. Naskah soalnya sendiri terbagi atas dua pembuat. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), menyiapkan20-25% naskahsoal. Sementara 75-80% soal disiapkan oleh guru-guru yang dikoordinasikan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Kelompok Kerja Guru (KKG).
"Melalui USBN diharapkan kemampuan guru-guru dalam melakukan penilaian meningkat. Selain itu, juga ketuntasan pembelajaran juga bisa dicapai melalui USBN," ungkap Dosen di UIN Syarif Hidayatullah ini. Bambang mengungkapkan mata pelajaran yang diujikan pada USBN SD ada delapan, yakni Bahasa Indonesia, IPA, Matematika, IPS, Pendidikan Kewarganegaraan, Seni Budaya dan Prakarya, Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan, serta Pendidikan Agama.
Psikolog pendidikan anak Najeela Shihab berpendapat, bagi anak tingkat sekolah dasar, hasil karya, presentasi, portofolio, dan tugas kelompok lebih representatif sebagai bukti capaian siswa. "Ujian standar secara umum hanya menggambarkan sebagian kecil dari tujuan pendidikan, apalagi untuk siswa tingkat sekolah dasar yang secara perkembangan berfokus pada keterampilan belajarnya bukan penguasaan pengetahuan," katanya.
Dia melanjutkan, pemerintah sebaiknya tidak hanya melakukan evaluasi kepada siswa, tetapi juga fokus pada kompetensi guru sehingga bisa membuat proses asesmen formatif di dalam kelas dan sekolah yang lebih baik. Menurut dia, suatu ujian dari banyak mata pelajaran tidak sesuai dengan kompetensi murid yang akan dikembangkan. "Ujian bukan semata soal nilai tapi betul-betul ada aksi nyata untuk memperbaiki cara pengajaran guru dan proses belajar siswa," katanya.
Pemerhati pendidikan ini juga mengkritisi penetapan 25% soal dari Kemendikbud. Menurut dia, titipan soal itu untuk mengembangkan kemampuan daerah dalam mengembangkan soal. Namun, berhasil tidaknya trik ini tidak pernah ada paparan strategis yang jelas untuk pengembangan kapasitas tersebut. Selain itu, ungkap Najeela, monitoring dan evaluasi kualitas soal USBN SD tidak pernah transparan. Padahal sebagai salah satu tes yang risikonya dianggap tinggi bagi banyak sekali siswa, seharusnya dilakukan dengan jelas dan terbuka.
"Agar tidak menjadi ujian saja dari tahun ke tahun maka perlu monev perencanaan, pemetaan, danpengambilan keputusan untuk peningkatan kualitas pendidikan secara umum," katanya.
Wakil Ketua Komisi X DPR Abdul Fikri berpendapat, kesiapan USBN perlu dikaji ulang karena untuk jenjang SD, mereka belum pernah disiapkan untuk mengikuti standar nasional. Berbeda dengan siswa SMP dan SMA yang sudah terbiasa. Selain itu, kalau delapan standar nasional pendidikan itu alat ukurnya hanya akreditasi, sedangkan hasil akreditasi itu bermacam kategori A, B, dan C bila USBN akan diterapkan kepada semua ini tidak adil. Maka dia memberi saran, USBN dilakukan untuk pertama kali hanya bagi sekolah yang akreditasinya A dan B saja lebih dahulu.
(amm)