Teliti Bercak Hitam Wajah Antar Dosen UII Raih Doktor di UGM
A
A
A
SLEMAN - Bercak hitam pada kulit wajah terutama di pipi baik kanan dan kiri atau yang disebut dengan melasma, terutama pada wanita dewasa, hingga sekarang masih menjadi perhatian di kalangan akademisi dan dokter spesialis kulit. Sebab Melasma sangat sulit diobati dan memerlukan biaya yang cukup mahal dalam penangganannya.
Namun hasilnya tidak memuaskan, baik penderita maupun dokter yang menangganinya. Bahkan yang lebih parah lagi, sering menyebabkan
gangguan psikososial penderitanya. Seperti rendah diri, malu dan tidak percaya diri. Bahkan ada yang ingin bunuh diri.
Hal inilah yang mendorong dosen fakultas kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang sedang menempuh studi S3 (program doktor) ilmu kedokteran dan kesehatan fakultas kedokteran, kesehatan masyarakat dan keperawatan (FKKMK) UGM Betty Ekawati Suryaningsih (51) melakukan penelitian terhadap wanita suku Jawa yang ada di Yogyakarta untuk mengetahui apa penyebab utama Melasma tersebut.
Selain dapat digunakan untuk mencegah terjadinya Melasma, hasil penelitian itu juga mengantarkan Betty meraih gelar doktor dengan
predikat cumlaude saat ujian terbuka S3 dengan disertasi MCIR dan IL-IRA pada melasma. Studi pada populasi wanita suku Jawa di
Yogyakarta di FKKMK UGM, Rabu (25/4/2018).
Betty menjelaskan meski penyebab Melasma dipengaruhi banyak faktor, seperti genetik,hormonal, stress, paparan matahari dan keturuan. Namun dari faktor itu yang genetik dan lingkungan merupakan faktor yang paling utama. Sehingga dengan diketahuinya faktor penyebab utamanya ini, maka akan mudah untuk mencegahnya. Hanya saja untuk pengobatannya memang masih perlu pemantauan lagi.
“Untuk pencegahannya di antaranya dengan mengunakan tabir surya. Hanya saja tidak bisa sembarang, namun harus sesuai dengan aktivtas
keseharian, seperti saat olahraga dan lainnya,” ujar Betty usai ujian doktor di FKKMK UGM, Yogyakarta, Rabu (25/4/2018).
Menurut Betty, sengaja melakukan penelitian tentang Melasma terutama dari faktor genetik, karena penasaran mengapa Melasma tidak atau susah disembuhkan. Dimana dalam pengobatannya tidak pernah tuntas. Sebab setelah sembuh akan muncul lagi dan ini terjadi berulang kali.
“Dari fakta ini, saya berfikir pasti ada satu faktor yang melandasi terjadinya itu (Melasma kambuh). Dan dari hasil peneltian ternyata
benar, ada faktor genetik (faktor yang diturunkan). Dalam arti jika di keluarganya ada yang menderita dipastikan keturuannya berisiko
untuk menderita Melasma, bukan hanya wanita namun juga laki-laki,” ungkapnya.
Betty menambahkan hal lain yang diperlukan untuk pencegahan Melasma yaitu edukasi. Sebab untuk edukasi masih sangat kurang. Terutama yang menyangkut dengan perawatannya. Terbukti untuk mengatasi Melasma selama ini biasanya hanya memakai cream penghilang noda, Bahkan cream yang bukan untuk pencegahan, sehingga menjadikan Melasma selalu kambuh. Bahkan iritasi.
“Untuk itu edukasi ini juga penting, sehingga menjadi tahu apa cream yang cocok serta aman dan tidak boleh dipakai,” terangnya.
Betty berharap hasil penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan baru, baik bagi dunia kedokteran maupun masyarakat. Bagi kedoktoran dapat digunakan untuk mengembangkan kosmetik dermatalogi dan masyarakat dengan bertambahnya wawasan tidak sembarang memakai produk menghilangkan melasma.
“Serta yang lebih penting lagi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengunaan pelindung surya sejak dini,” jelasnya.
Betty sendiri mengaku bersyukur penelitiannya tersebut dapat mengantarkannya meriah gelar doktor, meski begitu tetap akan
melakukan penelitian lagi, terutama bagaimana cara mengatasi Melasma ini dari sisi genetik. “Ini proyek saya selanjutnya,” ucapnya.
Dia tercatat menyelesaikan program doktor di FKKMK UGM dalam waktu 3 tahun 9 bulan. Dari waktu itu, 1,5 tahun digunakan untuk penelitian Melasma. “Dengan dinyatakan lulus ujian doktor, maka UGM hingga sekarang sudah meluluskan 3.992 doktor,” kata pembimbing utama, Betty Ekawati Suryaningsih, Hardiyanto Soebono usai ujian doktor tersebut.
Namun hasilnya tidak memuaskan, baik penderita maupun dokter yang menangganinya. Bahkan yang lebih parah lagi, sering menyebabkan
gangguan psikososial penderitanya. Seperti rendah diri, malu dan tidak percaya diri. Bahkan ada yang ingin bunuh diri.
Hal inilah yang mendorong dosen fakultas kedokteran (FK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang sedang menempuh studi S3 (program doktor) ilmu kedokteran dan kesehatan fakultas kedokteran, kesehatan masyarakat dan keperawatan (FKKMK) UGM Betty Ekawati Suryaningsih (51) melakukan penelitian terhadap wanita suku Jawa yang ada di Yogyakarta untuk mengetahui apa penyebab utama Melasma tersebut.
Selain dapat digunakan untuk mencegah terjadinya Melasma, hasil penelitian itu juga mengantarkan Betty meraih gelar doktor dengan
predikat cumlaude saat ujian terbuka S3 dengan disertasi MCIR dan IL-IRA pada melasma. Studi pada populasi wanita suku Jawa di
Yogyakarta di FKKMK UGM, Rabu (25/4/2018).
Betty menjelaskan meski penyebab Melasma dipengaruhi banyak faktor, seperti genetik,hormonal, stress, paparan matahari dan keturuan. Namun dari faktor itu yang genetik dan lingkungan merupakan faktor yang paling utama. Sehingga dengan diketahuinya faktor penyebab utamanya ini, maka akan mudah untuk mencegahnya. Hanya saja untuk pengobatannya memang masih perlu pemantauan lagi.
“Untuk pencegahannya di antaranya dengan mengunakan tabir surya. Hanya saja tidak bisa sembarang, namun harus sesuai dengan aktivtas
keseharian, seperti saat olahraga dan lainnya,” ujar Betty usai ujian doktor di FKKMK UGM, Yogyakarta, Rabu (25/4/2018).
Menurut Betty, sengaja melakukan penelitian tentang Melasma terutama dari faktor genetik, karena penasaran mengapa Melasma tidak atau susah disembuhkan. Dimana dalam pengobatannya tidak pernah tuntas. Sebab setelah sembuh akan muncul lagi dan ini terjadi berulang kali.
“Dari fakta ini, saya berfikir pasti ada satu faktor yang melandasi terjadinya itu (Melasma kambuh). Dan dari hasil peneltian ternyata
benar, ada faktor genetik (faktor yang diturunkan). Dalam arti jika di keluarganya ada yang menderita dipastikan keturuannya berisiko
untuk menderita Melasma, bukan hanya wanita namun juga laki-laki,” ungkapnya.
Betty menambahkan hal lain yang diperlukan untuk pencegahan Melasma yaitu edukasi. Sebab untuk edukasi masih sangat kurang. Terutama yang menyangkut dengan perawatannya. Terbukti untuk mengatasi Melasma selama ini biasanya hanya memakai cream penghilang noda, Bahkan cream yang bukan untuk pencegahan, sehingga menjadikan Melasma selalu kambuh. Bahkan iritasi.
“Untuk itu edukasi ini juga penting, sehingga menjadi tahu apa cream yang cocok serta aman dan tidak boleh dipakai,” terangnya.
Betty berharap hasil penelitian tersebut dapat memberikan pengetahuan baru, baik bagi dunia kedokteran maupun masyarakat. Bagi kedoktoran dapat digunakan untuk mengembangkan kosmetik dermatalogi dan masyarakat dengan bertambahnya wawasan tidak sembarang memakai produk menghilangkan melasma.
“Serta yang lebih penting lagi meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pengunaan pelindung surya sejak dini,” jelasnya.
Betty sendiri mengaku bersyukur penelitiannya tersebut dapat mengantarkannya meriah gelar doktor, meski begitu tetap akan
melakukan penelitian lagi, terutama bagaimana cara mengatasi Melasma ini dari sisi genetik. “Ini proyek saya selanjutnya,” ucapnya.
Dia tercatat menyelesaikan program doktor di FKKMK UGM dalam waktu 3 tahun 9 bulan. Dari waktu itu, 1,5 tahun digunakan untuk penelitian Melasma. “Dengan dinyatakan lulus ujian doktor, maka UGM hingga sekarang sudah meluluskan 3.992 doktor,” kata pembimbing utama, Betty Ekawati Suryaningsih, Hardiyanto Soebono usai ujian doktor tersebut.
(kri)