Merdeka Belajar, Tak Sekedar Ganti Format UN

Kamis, 09 Januari 2020 - 07:15 WIB
Merdeka Belajar, Tak...
Merdeka Belajar, Tak Sekedar Ganti Format UN
A A A
PEMBANUNAN Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi salah satu fokus masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo (Jokowi). Berbagai terobosan pun dilakukan jajarannya demi merealisasikan visi tersebut. Salah satunya di bidang Pendidikan dengan Program Merdeka Belajar yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim.

Pendidikan merupakan pilar utama dalam mewujudkan SDM unggul. Dengan system Pendidikan yang baik maka peserta didik akan mampu mengali berbagai potensi diri hingga memberikan kontribusi maksimal bagi lingkungannya. Sayangnya system Pendidikan di Indonesia kerap dipandang belum mampu menjawab tantangan untuk menghasilkan peserta didik yang mengerti potensi dan keunggulan diri mereka. System Pendidikan di Indonesia masih terjebak pada indikator-indikator artifisial seperti tinggi-rendahnya nilai mata pelajaran Ujian Nasional (UN). Akibatnya stake holder Pendidikan mulai dari siswa, guru, orang tua siswa, hingga pengambil kebijakan berlomba-lomba agar peserta didik mendapatkan nilai bagus. Berbagai cara digunakan agar peserta didik bisa sebanyak-banyak menghapal, mulai dari ikut bimbingan belajar, les privat, bahkan terkadang melakukan kecurangan berjamaah saat mengikuti momentum ujian hanya demi mendapatkan nilai tinggi.

Padahal sistem Pendidikan Indonesia yang menghasilkan para penghapal ini sudah jauh ketinggalan jaman. Buktinya dalam survey program for international stundent assessment (PISA), peringkat siswa-siswa Indonesia jeblok. Selalu berada di 10 besar dari bawah. Hasil laporan PISA 2018 yang dirilis Desember 2019 misalnya siswa Indonesia hanya berada di peringkat 74 dari 79 negara yang berpartisipasi. Ada tiga indikator yang disurvei dalam PISA yakni kemampuan siswa dalam bernalar dengan Bahasa (literasi), kemampuan bernalar dengan matematika (numerik) dan kemampuan sains. Dari ketiga indikator tersebut, kemampuan siswa Indonesia jauh dengan kemampuan siswa dari China yang menduduki peringkat pertama. Bahkan jauh dari kemampuan siswa negara tetangga Singapura yang menduduki peringkat kedua.

Fakta tersebut tentu harus menjadi keprihatinan Bersama. Betapa tidak, di setiap tahun sedikitnya Rp400 triliun dana APBN dibelanjakan di bidang Pendidikan. Meskipun kondisi di lapangan dana tersebut kerap dipandang tidak mencukupi mengingat luasan Indonesia yang begitu besar dengan jumlah anak usia sekolah yang begitu banyak. Namun bukannya dengan manajemen yang baik, dana tersebut bisa diarahkan untuk melakukan berbagai program prioritas bidang Pendidikan dengan orientasi yang lebih jelas.

Penunjukkan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Indonesia Maju memunculkan harapan adanya warna baru dalam dunia Pendidikan Indonesia. Dengan usia relatif muda dan mampu berpikir out the box, bos Gojek ini diharapkan mampu merumuskan tawaran sistem Pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Harapan ini dijawab dengan munculnya Program Merdeka Belajar sebagai acuan sistem Pendidikan nasional ke depan. Program yang diklaim terinsipirasi dari pemikiran Ki Hajar Dewantara ini berintikan semangat kebebasan bagi institusi Pendidikan untuk merumuskan metode belajar terbaik sesuai kebutuhan peserta didik. Merdeka Belajar sendiri berisikan empat butir program yakni : pertama penggatian UN dengan assesmen kompetensi minimum dan survei karakter, kedua pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), ketiga penyederhanaan Rencana Pelaksana Pembelajaran (RPP) yang harus disusun para guru, dan keempat pembenahan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem Zonasi.

Saat peluncuran Merdeka Belajar 11 Desember lalu, Nadiem menekankan, adanya perubahan empat program pendidikan itu karena sudah saatnya Indonesia melompat ke depan dan bukan lagi hanya sekedar melangkah. Salah satu caranya yakni dengan memberikan kemerdekaan kepada guru dan sekolah untuk bergerak. Nadiem menginginkan USBN menjadi ujian akhir sekolah yang hanya diselenggarakan oleh sekolah sendiri tanpa ada keterlibatan pemerintah. Ujian sekolahnya pun tidak lagi terbatas pada ujian tulis namun penilaian kompetensi siswa yang lebih komprehensif seperti portofolio dan penugasan lain seperti karya tulis atau projek kelompok. Penggantian UN dengan assessment akan efektif pada 2021 mendatang. “Kami ingin UN tidak lagi membuat repot orangtua dan siswa sebagai basis seleksi ke jenjang sekolah berikutnya. Sama halnya dengan UN nanti siswa mengerjakan asesmen dan survey ini dengan berbasis computer,” ujarnya.

Terkait program zonasi dalam PPDB, Nadiem ingin agar bisa dilakukan secara fleksibel di mana zonasi bukan satu-satunya pertimbangan dalam menerima peserta didik. Nantinya komposisi penerimaan melalui zonasi kuotanya minimal 50%, jalur afirmasi minimal 15%, jalur perpindahan maksimal 5% dan jalur prestasi 30% disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. “Kami ingin dengan komposisi ini maka akan bisa mengakomodasi perbedaan kualitas dan akses di setiap daerah,” katanya.

Nadiem pun memberikan kemerdekaan kepada guru dengan menyederhanakan penulisan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sebelumnya berlembar-lembar halaman menjadi satu lembar saja. Dengan ini maka guru pun bisa lebih memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran anak didiknya. “Format RPPnya pun bisa dengan bebas dibuat guru,” tegasnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana menjelaskan salah satu output dari Merdeka Belajar adalah adanya penguatan karakter siswa. Peserta didik bisa mengeksplorasi kemampuan dan potensi diri. “Melalui Merdeka Belajar pula Mendikbud ingin sekolah mampu mendeteksi secara dini apabila terjadi kekerasan di tempat Pendidikan,” ujarnya.

Ade menuturkan, Merdeka Belajar disusun tidak hanya akan bermanfaat bagi guru tetapi juga sekolah. Bagi guru mereka tidak lagi dibebankan urusan administrative yang malah mengganggu tugas mereka dalam mengajar. Sementara sekolah pun kini diberikan tongkat kepercayaan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar hingga evaluasi siswanya. ‘’Sekolah dipercaya untuk menyelenggarakan pendidikan hingga ujian,’’ katanya kepada KORAN SINDO.

Menurut dosen Universitas Indonesia ini, dengan adanya perubahan UN menjadi asesmen kompetensi dan survey karakter akan memudahkan proses pemetaan kondisi pendidikan yang berlangsung di tanah air. Sebab, jelasnya, asesmen kompetensi dan survey ini diselenggarakan pada saat pertengahan masa sekolah sehingga hasil yang didapat bisa dikumpulkan sebagai evaluasi kekurangan atau kelemahan selama penyelenggaraan pendidikan untuk selanjutnya dibuat perbaikan.

Merdeka Belajar ini dibuat untuk menghargai kerja keras siswa selama dia bersekolah. Menurut Ade, tingkat keberhasilan siswa tidak bisa diukur hanya dengan ujian beberapa jam saja. Namun yang perlu dikedepankan di dalam system pendidikan adalah proses perbaikannya itu sendiri. Melalui Merdeka Belajar ini pula pemerintah ingin mengapresiasi prestasi siswa yang memiliki bakat-bakat berbeda melalui portofolio tertentu. “Pendidikan lebih menekankan pada anak didik adalah memiliki keunikan dan potensi yang berbeda-beda. Sehingga pendidikan dapat meningkatkan kualifikasi khusus kepada anak didik,” katanya. (Neneng Zubaidah/Binti Mufaridah)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1262 seconds (0.1#10.140)